tirto.id - Bagi umat manusia, salah satu perjalanan paling mendebarkan, sekaligus menantang, adalah apa yang terbentang antara Rusia hingga Cina. Atau sebaliknya.
Pada 1891, Tsar Alexander III dan anaknya, Tsarevich Nicholas, memerintahkan untuk membangun jalur kereta api yang menghubungkan Moskow dengan Soviet Timur Jauh (Soviet Far East), kawasan Soviet paling ekstrem yang berbatasan dengan Cina dan Korea Utara. Ketika jalur itu resmi dipakai pada 1916, nama yang dipacak untuknya adalah Jalur Kereta Trans-Siberia. Jalur ini menjadi jalur terpenting yang menghubungkan Rusia dengan Eropa dan Asia. Pula, menjadi jalur yang mengesankan bagi para pengembara karena perjalanan ribuan kilometer dengan kereta api bisa menghadirkan banyak kisah.
Ada banyak para pengembara yang mencicipi jalur romantik ini. Salah satu yang pertama --bahkan sebelum Trans-Siberia resmi dibuka-- adalah Annette Meakin. Bersama ibunya, mereka menjadi perempuan Inggris pertama yang pergi ke Jepang dengan menggunakan kereta api Trans-Siberia. Kisah perjalanannya dimaktubkan dalam buku berjudulA Ribbon of Iron (1901).
Kisah perjalanan nyaris serupa dilakukan oleh Paul Theroux, lebih dari tujuh dekade setelah perjalanan Meakin. Theroux melakukan pengembaraan dari London, ke Eropa, Timur Tengah, India, hingga Asia Tenggara dengan Trans-Siberia. Perjalanan ini kemudian dibukukan dengan judul The Great Railway Bazaar: By Train Through Asia (1975).
Buku ini dengan segera menjadi klasik. Dalam buku itu, Theroux berkisah tentang para pengelana asal Australia, pencarian diri, pemikiran tentang agama, hingga pertemuan dengan para penumpang kereta lain. Bagi Theroux, kereta api yang menempuh ribuan kilometer, adalah dunia yang dimampatkan dalam gerbong-gerbong besi dan baja, lengkap dengan manusia dan segala cerita yang mengiringinya.
"Semuanya terasa mungkin di kereta: makanan enak, pesta minuman keras, kunjungan dari penjudi, tipu daya, tidur malam nan nyenyak, dan monolog dari orang asing yang mirip kisah cerita pendek Rusia," tulis Theroux, takjub.
Pada 2017, Famega Syavira berpikir bahwa pergi dari Indonesia ke Eropa dengan jalur darat adalah perjalanan yang menyenangkan sekaligus menantang. Ia harus jumpalitan mengakali rancangan perjalanan, sekaligus berhitung agar bujet yang ia punya bisa pas. Dalam rancangan perjalanan menelusuri 50 kota di 15 negara itu, Famega mustahil tak memasukkan perjalanan dengan Trans-Siberia. Walau baginya, moda transportasi hanyalah medium.
"Yang penting saya sampai ke Eropa melalui jalan darat. Naik kereta, bus, atau menumpang mobil orang, tidak masalah," tulisnya.
Famega menuliskan catatan perjalanan dengan kisah menarik dan detail. Ada cerita tentang orang-orang Mongol yang amat bangga terhadap Jengis Khan, Gurun Gobi yang teramat luas, para pria muda Rusia yang lebih suka vodka ketimbang tersenyum, hingga supir-supir taksi gelap yang agresif. Tirto akan menayangkan serial tulisan perjalanan Famega, dan ini jilid pertama. Selamat membaca.
===========
Saya memutuskan memulai perjalanan darat dari Indonesia ke Eropa. Rencana awal saya adalah: melakukan perjalanan menuju Eropa dengan menyusuri jalur kereta api Siberia di Rusia. Ini adalah jalur kereta terpanjang di dunia yang menghubungkan Eropa dan Asia. Jalur utamanya membentang dari Moskow ke Vladivostok (kota di ujung timur Rusia, dekat dengan Korea Utara) sepanjang lebih dari 9.000 kilometer. Setelah riset, ternyata bukan tidak mungkin melakukan perjalanan darat (dan laut) dari Indonesia ke Eropa.
Langkah pertama adalah memikirkan cara keluar dari Indonesia tanpa kapal terbang. Saya menemukan cara yang paling praktis, yaitu menyeberang dengan kapal feri dari Dumai, Riau. Kapal ini akan melewati selat Malaka selama 2,5 jam dan berlabuh di Malaka, hanya beberapa ratus meter dari Gereja Christ yang terkenal itu. Dari Dumai juga ada pilhan untuk menuju Port Klang di Selangor, dekat Kuala Lumpur. Dari sana, perjalanan akan dilanjutkan dengan bis dan atau kereta menyusuri Indochina: Thailand, kemudian Laos, dan Vietnam. Total perjalanan sampai Hanoi sekitar 3.600 kilometer.
Dari Vietnam menyeberang ke Cina, termasuk dengan kereta dari Nanning ke Beijing (2.600 km sekali jalan) dan ke balik tembok besar sampai Mongolia. Dari Mongol ke Rusia, saya akan menyusuri jalur kereta. Dari Ulan Ude hingga St. Petersburg. Dari Negeri Beruang Merah itu, saya bisa naik bus atau kereta untuk masuk ke wilayah Schengen. Tinggal pilih saja negara Eropa mana yang akan dikunjungi. Kalau beruntung, kaki saya mungkin bisa menapak hingga Afrika dengan menyeberang dari Spanyol.
Kedengarannya mudah, bukan?
Tapi masalahnya ada pada detail. Pertama, sebagai warga negara Indonesia saya (dan anda semua) butuh empat visa. Untunglah kita bebas visa di Asia Tenggara, sehingga mudah memasuki Malaysia, Thailand, Laos, dan Vietnam. Ada empat visa yang harus diurus sebelum berangkat, yaitu visa Cina, Mongolia, Rusia, dan visa Schengen untuk wilayah Eropa. Urusan visa ini cukup membuat repot karena harus bolak-balik ke empat Kedutaan dan melengkapi semua syarat-syarat yang berbeda dari setiap negara, termasuk mendapatkan undangan resmi dari Kementrian Luar Negeri Mongolia di Ulan Bator.
Setelah visa beres, kerumitan muncul dari perencanaan. Bagaimana saya menyusun rencana perjalanan? Dari 15 negara dan 50 kota itu, di mana saya menginap? Anggap saja perjalanan ini adalah perjalanan menyusuri abjad. Bagaimana saya bisa menetapkan kapan akan sampai di kota F, padahal belum tahu kapan sampai di kota E? Lalu, apa moda transportasi yang akan membawa saya ke kota D, sedangkan saya belum tahu apakah bus dari kota C bisa datang tepat waktu karena kebetulan di kota B ada festival tahun baru yang membuat semua bus penuh --dan mungkin terlambat.
Rumit, kan?
Karena sonder jadwal pasti itu, sulit untuk memesan tempat tinggal dan angkutan jauh-jauh hari. Internet juga menghasilkan banjir informasi, yang malah membuat saya jadi panik. Apa aktivitas seru di Luang Prabang? Apa yang sebaiknya dikunjungi di Ulan Bator? Apa kuliner paling sedap di Krasnoyarsk? Kisah menarik apa yang tertinggal di Yekaterinburg selain eksekusi Tsar dan rumor menghilangnya Anastasia?
Memikirkan hal itu, saya jadi teringat perjalanan sebelumnya ke Shiraz, Iran. Saya melewatkan kesempatan melihat masjid Nasir Al Mulk karena lebih memilih piknik bersama Akamshi (anak kampung Shiraz) ke pinggiran kota. Pikniknya seru karena saya jadi bisa melihat kehidupan sehari-hari anak muda Iran di balik tembok vila pribadi mereka yang sangat berbeda dengan keseharian yang ditampakkan di ruang publik.
Tapi sampai saat ini saya selalu agak menyesal ketika melihat foto masjid Nasir Al Mulk yang megah nan anggun di media sosial. Apakah seharusnya saya pergi ke masjid itu seperti semua orang yang pergi ke Shiraz?
Lalu saya teringat perjalanan Marco Polo diragukan kebenarannya, karena si pejalan dari Venesia ini tidak menyebutkan tembok besar Cina dalam catatannya. Marco Polo juga tidak menyebutkan pemakaian sumpit dan tradisi perempuan Cina yang mengikat kakinya. Beberapa hal itu yang membuat para sejarawan ragu kebenaran cerita Marco Polo. Mana ada orang berkunjung ke Cina tanpa pergi ke Tembok Besar? Teori ngawur saya berkata: mungkin Marco Polo lebih memilih piknik dengan Kubilai Khan daripada ke Tembok Besar? Mungkin saja.
Kata Chairil Anwar, nasib adalah kesunyian masing-masing maka izinkan saya mengutipnya: perjalanan adalah kesunyian masing-masing. Prioritas dan minat orang pasti berbeda-beda dan tidak ada yang sama dari setiap perjalanan. Saya memutuskan untuk tidak terlalu terikat dengan rencana. Entah besok ada di mana, entah naik apa, dan tinggal di mana.
Yang penting saya sampai ke Eropa melalui jalan darat. Naik kereta, bus, atau menumpang mobil orang, tidak masalah. Yang saya pastikan hanya: besok saya akan ada di kota pantai cantik di Thailand, Krabi, untuk menikmati pasir putih, matahari, dan air laut yang hangat. Karena saya tidak akan melihat pantai sampai setidaknya belasan ribu kilometer ke depan.
*) Tirto akan menayangkan serangkaian catatan perjalanan Famega Syavira, yang menempuh petualangan menuju Eropa dengan jalur darat selama tiga bulan.
Penulis: Famega Syavira Putri
Editor: Nuran Wibisono