Menuju konten utama

Membisniskan Kematian

Jumlah orang yang meninggal tak lagi sebanding dengan luas lahan pemakaman. Bisnis pun hadir memanfaatkan fenomena ini. Hasilnya, kematian yang semakin mahal.

Membisniskan Kematian
Pekerja membongkar makam fiktif di tempat pemakaman umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta. [Antara Foto/Aprillio Akbar]

tirto.id - “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.”

Tapi agaknya, sebelum tenang meninggalkan nama, para calon mayat harus terlebih dulu memikirkan di mana batu nisannya akan diletakkan. Ini karena angka kematian per tahun yang tinggi tak berbanding lurus dengan lahan peristirahatan terakhir. Mereka yang raganya masih memiliki jiwa harus berebut lahan pemakaman untuk peristirahatan terakhirnya. Kini, mereka bahkan booking dari jauh-jauh hari sebelum malaikat pencabut nyawa mendatanginya.

Gevi (45) merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang sudah mempersiapkan lahan peristirahatan baginya dan keluarga. Sekitar 2013, Gevi sudah mulai memesan kapling pemakaman untuk kedua orang tuanya yang mulai sakit-sakitan. Harga pemesanan saat itu masih berkisar Rp 2 jutaan per kapling. Tiga tahun kemudian, harga kapling pemakaman melonjak. Ketika Gevi hendak memesan kapling pada 2016, harganya sudah melonjak jadi Rp5 juta.

“Pesan dari jauh hari supaya nanti satu keluarga bisa dekat-dekatan, kalau harga yang saya itu memang wilayahnya khusus,” katanya kepada tirto.id, Minggu (31/7/2016).

Selain membayar biaya booking, Gevi juga mengaku masih harus membayar biaya kebersihan sebanyak Rp 125 ribu per tahun. Meski mahal dan banyak pungutan ini itu, Gevi tak keberatan. “Dari pada kuburnya tidak dibersihkan, dan tidak dapat tempat,” ujar Gevi.

Wanita karier satu ini mungkin hanya sedikit contoh dari sekian pemesan makam fiktif di Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang sedang ramai dibicarakan. Pemesan makam fiktif yang ingin makamnya berada berdekatan dengan makam keluarga lainnya biasanya menemui calo untuk melakukan transaksi. Setelah menyepakati harga di kisaran Rp 1,5-5 juta, prosesnya dilanjutkan dengan pembuatan gundukan makam fiktif, berikut nisan bernama tapi tanpa tanggal kematian.

Sebelumnya, Dinas Pertamanan dan Pemakaman Pemprov DKI Jakarta telah membongkar makam-makam yang diduga pesanan dan tak berjasad di berbagai TPU di Jakarta.

Dari lima wilayah penertiban, Dinas Pertamanan dan Pemakaman sudah membongkar setidaknya 376 makam yang diduga fiktif. Jumlah ini terus berlanjut karena masih akan dilakukan penertiban ke total 67 TPU di Jakarta. Menurut Djafar Muchlisin, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman Pemprov DKI Jakarta, praktik dari jual beli makam palsu ini kebanyakan didalangi oleh calo yang merupakan PNS pengawas pemakaman.

Rencananya, Dinas Pertamanan dan Pemakaman Pemprov DKI Jakarta akan melakukan penertiban hingga tiga bulan ke depan. Setelahnya baru akan melakukan pembaharuan data pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Pemakaman Gratis

Kematian jelas membawa banyak kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan, praktik jual beli makam fiktif, atau pungli lainnya yang berkaitan dengan kematian seharusnya tak elok dilakukan. Tapi nyatanya, praktek serupa sudah tumbuh subur semenjak tahun 2005-an. Tak tanggung-tanggung, pungli yang dilakukan oknum PNS Pengawas Pemakaman ini bisa digunakan untuk membayar tiga kali cicilan rumah mungil atau dua kali cicilan mobil.

Setidaknya, itulah yang terungkap dalam rekaman suara PNS Pengawas Pemakaman yang pernah dipublikasikan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Poernama pada April 2016 lalu. Saat itu, Ahok langsung merotasi 26 staf TPU Dinas Pertamanan dan Pemakaman ke Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta.

Padahal, sebenarnya tarif pemakaman ini sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang retribusi daerah. Dimana, terdapat empat tarif pemakaman yang dikenakan untuk warga. Untuk Blok AA I biaya yang dikutip Rp 100 ribu, Blok AA II Rp 80 ribu, Blok A I Rp 60 ribu, dan A II Rp 40 ribu. Para ahli waris juga tak perlu repot membiayai gali-tutup lubang kubur, listrik, pengeras suara, kursi, dan tenda karena semua itu disediakan secara cuma-cuma.

Pembayaran sejumlah di atas kemudian dilakukan secara online melalui Bank DKI yang tersedia di Kantor Kelurahan. Sebelum itu, ahli waris mendatangi kelurahan setempat membawa surat keterangan kematian dari RT/RW. Biaya pemakaman gratis juga bisa didapatkan warga yang kurang mampu dengan total bantuan Rp 885 ribu meliputi biaya retribusi selama 3 tahun sebesar Rp 100 ribu, pemulasaran jenazah Rp 100 ribu, kain kafan Rp 300 ribu, ramuan Rp 85 ribu, dinding ari atau peti Rp 200 ribu, dan angkutan jenazah Rp 100 ribu.

Guna mendapat subsidi cuma-cuma tersebut, ahli waris harus menyerahkan surat pemeriksaan jenazah dari rumah sakit atau puskesmas, surat keterangan kematian dari kelurahan, fotokopi KTP almarhum atau ahli waris, fotokopi Kartu Keluarga, dan surat keterangan tidak mampu atau kartu keluarga miskin.

Bisnis Pemakaman

Pemesanan lahan banyak dilakukan untuk mengantisipasi semakin sempitnya lahan pemakaman. Data tahun 2014 menyebutkan rata-rata kematian di Jakarta sebanyak dua orang per hari. Ini artinya, ada 60 orang meninggal setiap bulannya. Kekurangan lahannya diperkirakan mencapai 19-20 hektare. Jumlah tersebut terus meningkat, bahkan menurut Kepala Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Selatan, Muhammad Iqbal pada tahun 2016 ini rata-rata orang meninggal per bulan mencapai 250 orang. Sedangkan sisa lahan pemakaman di tiap-tiap TPU rata-rata hanya berkisar kurang dari 10 persen, itu pun makam kadaluarsa, bukan lahan kosong.

Kurangnya lahan pemakaman membuat sejumlah orang khawatir tak mendapat tempat peristirahatan terakhir memunculkan praktik-praktik bisnis baru. Lazimnya, bisnis berhubungan dengan yang hidup, tapi analogi tersebut tak berlaku lagi, kini, bisnis sudah merambah bahkan pada yang mati.

Kurangnya lahan pemakaman inilah yang kemudian digarap oleh sejumlah pebisnis. Salah satunya adalah San Diego Hills, pemakaman mewah milik Grup Lippo. Pemakaman yang berlokasi di Karawang ini dinobatkan sebagai pemakaman terindah di Indonesia karena memiliki fasilitas seperti restoran, kapel, masjid, kolam renang, tempat bermain anak, danau, dan lainnya.

San Diego Hills memiliki branding tersendiri untuk menggaet kalangan atas membeli tempat peristirahatan terakhir yang nyaman. Namanya mencuat karena banyak artis dan pejabat membeli pemakaman di sana, misalnya saja Olga Lidya.

Sejak peluncurannya pada 2008, pemakaman mewah tersebut telah terjual sebanyak 58.000 dan baru digunakan sebanyak 51.000. Ketika pertama kali diluncurkan, harga kapling baru berkisar Rp2-8 juta saja. Namun, kini harganya sudah melonjak tajam.

Setelah San Diego Hills, satu-satu mulai bermunculan konsep taman pemakaman yang serupa. Adalah Al-Azhar Memorial Garden, sebuah taman pemakaman mewah berbasis syariah khusus untuk umat muslim yang dibuka di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Makam ini diusung oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI) dan dikelola oleh PT. Nusantara Prima Sukses Sejati dan dilengkapi dengan taman, masjid, dan playground juga lounge untuk istirahat para peziarah.

Tak jauh beda dengan San Diego Hills, Al-Azhar Memorial Garden juga mematok harga fantastis untuk setiap kapling yang dipesan, walau bisa dibilang lebih murah dari pendahulunya. Terdapat tiga macam pilihan dan harga yang menyertainya: Pertama, tipe single dengan luas tanah 4,5 meter persegi seharga Rp 21,9 juta. Kedua, tipe double dengan luas tanah 13,65 meter persegi yang dibanderol dengan harga Rp 72 juta, terakhir, tipe untuk family, dengan fasilitas empat jenazah dengan tanah seluas 26,56 meter persegi dan harga Rp 199 juta.

Di zaman yang serba mahal seperti sekarang, bahkan kematian pun terasa sangat mahal.

Baca juga artikel terkait TPU atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti