Menuju konten utama

Nasib Tunawan di Ibukota

Jumlah mayat tanpa identitas atau tunawan di Jakarta, pada tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta merupakan pihak yang bertanggung jawab atas peristirahatan terakhir mayat-mayat ini. Berapa besaran biaya yang mesti dikeluarkan untuk mengurus mayat tanpa nama ini?

Nasib Tunawan di Ibukota
Warga mencoba mengenali jasad seorang pria yang tertabrak kereta api di sekitar Stasiun Palmerah, [ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna]

tirto.id - Barangkali tidak ada yang lebih beruntung dari pada Leroy Black. Pria asal New Jersey ini meninggal dan dikenang sebagai dua invidiu berbeda. Istrinya menulis Leroy sebagai ayah dan suami teladan, sementara kekasihnya menganggap Leroy sebagai musisi yang baik dan dicintai kerabatnya. Satu kabar duka dari dua orang berbeda ini menghiasi lembar obituari dari koran Jum'at of Atlantic City. Tapi kita tahu, dalam duka akibat kematian, tidak semua orang seberuntung Leroy.

Perpisahan mengajarkan duka dan duka akibat kematian merupakan yang paling pedih. Barangkali duka akibat berpisah dengan kekasih tak sepedih karena kematian. Tapi tetap saja, rasanya sama-sama menyebalkan, seperti kena sikut di dada setelah seharian lari maraton dikejar anjing gila. Kau dibuat kelelahan hanya untuk berakhir nyeri tanpa bisa berbuat apa-apa. Kematian memberikan duka bagi mereka yang ditinggalkan, kecuali kau bukan siapa-siapa, atau mati tanpa meninggalkan identitas apa-apa.

Seno Gumira Ajidarma, penulis yang terlalu gemar dengan senja itu, boleh berkelakar bahwa yang paling mengerikan di Jakarta adalah menjadi tua di jalan. Seno, seperti banyak kelas menengah yang numpang tinggal di Jakarta, barangkali belum pernah mengetahui rasanya mengurus orang mati atau berhubungan dengan orang mati di Jakarta. Untuk mati di Jakarta, itu bisa jadi perkara rumit.

Kau bisa menemukan cinta palsu, tapi untuk menemukan makam palsu, kau butuh kerja keras. Setidaknya kau perlu belajar dari Djafar Muchlisin, ‎Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman (DPP) Pemprov DKI Jakarta, yang kini sedang lintang-pukang bertikai dengan penipu kubur dan mayat-mayat tanpa identitas di Jakarta. Mereka yang membuat makam palsu dan juga mati tanpa meninggalkan wasiat bagi sanak keluarga.

Ini bukan cerita pendek di halaman sastra minggu koran nasional. Ini lebih ajaib, kisah tentang makam-makam kosong yang dibuat atas nama rupiah. Djafar sejauh ini telah menemukan 399 makam yang diduga fiktif. Dari angka itu, 255 makam sudah ditertibkan.

Tunawan Terus Meningkat

Lantas bagaimana dengan mayat-mayat tanpa identitas? Mayat tanpa identitas biasa disebut sebagai tunawan. Sejak tiga tahun terakhir, jumlah tunawan di Jakarta meningkat.

Pada 2013, ada 1.889 tunawan yang ditemukan di Jakarta. Angka itu naik tahun berikutnya menjadi 2.190 tunawan. Lantas pada akhir tahun lalu, ditemukan 2.668 tunawan. Dari data yang disediakan oleh Penyedia Taman Pemakaman Umum dan Pemulasaraan Jenazah DKI Jakarta, diketahui bahwa Rumah Sakit Cipto Magunkusuomo (RSCM) merupakan tempat terbanyak destinasi awal para tunawan ini.

Mayat-mayat tanpa identitas ini datang dari berbagai tempat di Jakarta. Sebelum dikuburkan, biasanya mayat ini dikumpulkan di beberapa tempat seperti panti sosial, RSCM dan RSUD. Setelah diperiksa, diotopsi, dimandikan dan dikafani, mayat-mayat tersebut dikuburkan. Namun, jika ada indikasi mayat tersebut merupakan korban kejahatan, maka penyelidikan bisa dilakukan hingga dirasa cukup sebelum akhirnya dikuburkan.

Dari data Pelayanan Pemulasaraan Jenazah Tunawan yang dimiliki Pemda DKI, terungkap sepanjang 2015, setiap bulan ditemukan rata-rata 210 mayat tanpa identitas. Tertinggi pada Desember lalu dengan 257 tunawan, sementara yang paling rendah pada Januari 2015 dengan 181 tunawan.

Pada 2013, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk satu tunawan mencapai Rp300.000. Uang itu digunakan untuk biaya pemakaman, pengkafanan, dan juga antar hingga pemakaman.

Jika angka itu tidak berubah, maka pada 2015, Pemda DKI mengeluarkan biaya Rp800.400.000 untuk 2.668 tunawan. Angka ini tertinggi sejak tiga tahun terakhir karena pada 2013 ada 1.889 tunawan (menghabiskan Rp. 566.700.000), sedangkan pada 2014 ada 2.190 tunawan (menghabiskan dana Rp 657.000.000). Para mayat tanpa identitas itu mendapatkan kehormatan terakhir dengan dimakamkan selayaknya manusia.

Mengurus mayat tanpa identitas tidak semudah yang dibayangkan. Setidaknya tidak seperti gambaran dalam film-film koboi Djenggo. Seusai duel sampai mati dengan adu cepat pistol, tentu ada yang mati. Mayat bergeletakan di jalan, kemudian dimasukkan dalam peti mati, dikubur, habis perkara.

Di Jakarta, jika kau mati, tubuhmu akan di bawa ke rumah sakit. Jika kau mati akibat kecelakaan, tubuhmu akan dibiarkan menunggu selama lima hari hingga ada yang menjemput. Jika tidak, tubuhmu dibawa ke pemakaman lantas dikuburkan dengan nisan tanpa nama.

Jika kau mati karena kejahatan, tubuhmu akan diotopsi dan diperiksa rekam jejak. Namun, jika tak muncul juga keluarga yang mengklaim tubuhmu, nasibmu sama. Masuk liang kubur yang hanya setengah meter, dikubur dengan nisan tanpa nama. Ini bukan cerita muram seperti dalam kisah yang pernah ditulis sastrawan Martin Aleida dalam bukunya “Mati Baik-baik Kawan”. Kisah ini nyata.

Kepala Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Selatan, Muhammad Iqbal menyebut, setiap bulan ada 250 orang yang meninggal dan membutuhkan makam di Jakarta. Itu yang punya identitas jelas dan lengkap. Padahal sisa lahan untuk makam yang masih tersedia di Jakarta tinggal 10 persen. Itupun yang kedaluwarsa, karena belum membayar uang retribusi. Kalau makam yang benar-benar lowong sudah habis.

Baca juga artikel terkait PEMAKAMAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Arman Dhani
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho

Artikel Terkait