Menuju konten utama

Atas Dasar Ramah Lingkungan, Kompos Jenazah Legal di New York

Pemborosan pemakaian logam dan kayu dalam pemakaman konvensional menambah isu baru selain sedikitnya ketersediaan lahan.

Atas Dasar Ramah Lingkungan, Kompos Jenazah Legal di New York
Ilustrasi Makam. foto/istockphoto

tirto.id - Mengawali tahun 2023, Gubernur New York Kathy Hochul memberikan kejutan bagi warganya berupa pengesahan peraturan yang melegalkan mekanisme reduksi organik alami (natural organic reduction atau NOR) sebagai salah satu prosedur pemulasaraan jenazah yang bisa dipilih setelah seseorang meninggal dunia.

Pengesahan tersebut menjadikan New York negara bagian keenam di Amerika Serikat yang melegalkan NOR. Sebelumnya ada Washington yang telah terlebih dahulu memberikan ‘lampu hijau’ pada NOR di tahun 2019, lalu menyusul Colorado dan Oregon pada 2021, kemudian Vermont dan California pada 2022.

Gagasan tentang NOR yang juga dikenal dengan istilah Terramation atau human composting datang dari Katrina Spade, pendiri organisasi nonprofit Urban Death Project (UDP) pada tahun 2014 yang berbasis di Seattle. Melalui organisasi ini, Spade mengampanyekan pengesahan legalitas prosedur pengurusan jenazah yang lebih efisien dan ramah lingkungan bagi warga Amerika Serikat.

Menurut data yang dihimpun UDP, setiap tahunnya prosedur pemakaman dengan menggunakan peti mati di Amerika Serikat akan turut menimbun benda-benda berikut di dalam tanah, yaitu: logam yang jumlahnya cukup untuk membangun jembatan Golden Gate, kayu yang jumlahnya cukup untuk membangun 1.800 unit rumah sederhana, dan zat kimia (untuk proses pembalseman) sebanyak delapan buah kolam renang ukuran Olimpiade.

Pemborosan pemakaian logam dan kayu dalam pemakaman konvensional tersebut masih ditambah lagi dengan semakin sedikitnya ketersediaan lahan yang bisa dijadikan tempat pemakaman.

Infografik Kompos Manusia

Infografik Kompos Manusia. tirto.id/Ecun

Bukan hanya terjadi di Amerika, menipisnya ketersediaan lahan pemakaman ini juga bisa ditemukan di tanah air, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Kekurangan lahan pemakaman ini terutama dirasakan selama gelombang pandemi COVID-19, ketika angka kematian naik secara signifikan antara tahun 2020 hingga 2021.

Proses kremasi yang merupakan alternatif tata cara pemakaman konvensional juga dinilai tidak terlalu ramah lingkungan karena menggunakan bahan bakar fosil dalam prosesnya.

Data UDP menyatakan bahwa setiap tahunnya, proses kremasi jenazah di Amerika Serikat bisa melepaskan emisi karbondioksida dalam jumlah yang kira-kira setara dengan emisi yang dihasilkan oleh sekitar 70 ribu kendaraan beroda empat.

Sementara jika menerapkan proses NOR, jenazah akan dibaringkan di atas serpihan kayu, alfalfa kering, dan jerami, dalam sebuah wadah berbentuk tabung memanjang yang terbuat dari logam.

Komposisi karbondioksida, nitrogen, oksigen, suhu dan kelembapan di dalam tabung diatur sedemikian rupa untuk memungkinkan perkembangbiakan mikroba yang bertanggung jawab pada proses pembusukan jenazah.

Setelah berselang 1 hingga 2 bulan, jasad yang disimpan di dalam wadah sudah sepenuhnya terurai menjadi tanah. Selanjutnya setelah melalui proses aerasi dan pemanasan untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit, petugas bisa ‘memanen’ tanah kompos padat nutrisi tersebut untuk diserahkan kepada pihak keluarga.

Menurut Spade, setiap jenazah yang menjalani mekanisme NOR dapat menghasilkan kira-kira 36 kantong tanah kompos dengan total volume sekitar 760 liter.

Selain bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman di kediaman keluarga mendiang, tanah kompos tersebut juga dapat didonasikan ke proyek penghijauan hutan, tergantung keputusan keluarga yang ditinggalkan.

“Pemulasaraan jenazah dengan cara seperti ini memungkinkan seseorang menjadi bagian langsung dari siklus kehidupan. Bagi saya dan banyak orang lainnya, ini merupakan hal yang indah. Alih-alih meninggalkan planet dalam kondisi rusak, setelah meninggal dunia kita bisa berkontribusi langsung pada gerakan untuk menghijaukan Bumi,” ujar Spade, yang mendirikan Recompose—badan usaha pemulasaraan jenazah dengan prosedur NOR; pada tahun 2017.

Di negara-negara bagian di Amerika Serikat yang sudah melegalkan NOR, siapa saja bisa mendaftarkan dirinya dan anggota keluarga untuk menjalani prosedur pemrosesan jasad menjadi kompos, dengan menyisihkan biaya sekitar 5.500 dolar AS atau setara dengan Rp 76 juta.

Mengacu pada data National Funeral Directors Association, harga ini lebih murah dibandingkan rata-rata biaya penguburan konvensional yang mencapai 7.848 dolar AS dan biaya kremasi sebesar 6.971 dolar AS.

Bagi mereka yang ingin menyimpan kenang-kenangan berupa abu dari mendiang orang terkasih namun tidak menginginkan prosedur kremasi konvensional, kini ada prosedur hidrolisis basa yang juga dikenal dengan nama Aquamation alias kremasi air.

Selama proses berlangsung, jasad disegel di dalam sebuah tabung dari baja antikarat. Tabung tersebut kemudian akan diisi larutan yang terdiri dari 95% air dan 5% natrium hidroksida—bahan yang biasa ditemukan dalam campuran sabun dan sampo. Setelah suhu larutan mencapai suhu tepat di bawah titik didih, proses kremasi pun dilakukan pada tekanan tinggi menyerupai tekanan atmosfer, sebagaimana dilansir oleh situs Smithsonian.

Dalam waktu 14 sampai 16 jam setelahnya, kombinasi larutan dan tekanan tinggi di dalam tabung akan mulai melunakkan dan melarutkan ikatan jaringan tubuh hingga menghasilkan kombinasi asam amino, peptide, garam, gula, dan sabun yang tercampur dengan air. Cairan hasil pemrosesan tersebut akan dialirkan ke saluran pembuangan dan tulang belulang yang tersisa akan diproses menjadi bubuk halus berwarna putih untuk kemudian diberikan kepada pihak keluarga.

TPU Karet Bivak

TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2019). tirto.id/ALfian putra abdi

Mendiang tokoh penerima Nobel Perdamaian dari Afrika Selatan, Desmond Tutu merupakan salah seorang pengguna layanan kremasi air ketika wafat pada tahun 2021. Di Afrika Selatan, prosedur ini mulai dikenal pada tahun 2019 dan Tutu memilihnya karena Aquamation dinilai sebagai salah satu alternatif pemulasaraan jenazah yang paling ramah lingkungan.

Bio-Response Solutions, perusahaan penyedia layanan Aquamation yang berbasis di Indiana, Amerika, menyatakan bahwa prosedur kremasi air bisa menghemat pemakaian energi hingga 90% bila dibandingkan dengan proses kremasi konvensional yang memanfaatkan bahan bakar fosil untuk menghasilkan api.

Selain hemat pemakaian energi, prosedur kremasi air juga lebih hemat biaya dibandingkan kremasi konvensional. Layanan Aquamation bisa diperoleh dengan merogoh kocek antara 1.500 hingga 3.500 dolar AS, tergantung perusahaan penyedia jasa yang menjadi pilihan.

Bisnis Lain Pemulasaraan Jenazah

Sejumlah perusahaan menawarkan jasa pemrosesan abu jenazah menjadi wujud baru yang unik dan menarik.

Salah satu yang memikat banyak peminat sejak diperkenalkan pada tahun 1998 adalah layanan pembuatan terumbu karang dari abu jenazah. Caranya adalah dengan menambahkan abu ke dalam campuran beton ramah lingkungan, untuk kemudian dicetak dan dibentuk menyerupai terumbu karang sungguhan lalu ditanam di dasar laut.

George Frankel, Kepala Eksekutif di Eternal Reef—perusahaan penyedia layanan pembuatan terumbu karang dari abu jenazah; seperti dikutip dari BBC menyatakan bahwa selama tahun 2021 perusahaannya telah menyebar lebih dari 2 ribu terumbu karang buatan di 25 lokasi di lepas pantai timur Amerika Serikat.

Biaya yang dikenakan untuk prosedur pembuatan terumbu karang di Eternal Reef berkisar antara 2.995 hingga 7.495 dolar AS, tergantung ukuran dan desain terumbu karang yang menjadi pilihan. Semakin besar ukuran dan semakin kompleks desainnya, harga yang dikenakan tentu saja akan bertambah mahal.

Alternatif lain menyimpan abu jenazah adalah dengan mengubahnya menjadi batu berlian sintetik yang bisa dikenakan sebagai perhiasan. Proses pembuatan berlian ini dilakukan di laboratorium dengan cara menekan abu jenazah di antara dua plat besi dalam temperatur tinggi. Tekanan ini akan membuat kandungan karbon pada abu mengkristal menjadi pecahan berlian. Selain dari abu, bahan baku berlian juga bisa diambil dari segenggam rambut.

Adelle Archer, co-founder dan CEO Eterneva—perusahaan penyedia jasa pembuatan berlian sintetik yang berbasis di Texas; menyatakan bahwa menciptakan benda yang indah dari abu jenazah ini juga bisa membantu seseorang bangkit dari kesedihan yang dirasakannya.

Seperti yang dialami salah satu klien Archer, seorang perempuan muda yang kehilangan ayahnya beberapa saat menjelang hari pernikahannya. Pada hari H, perempuan muda tersebut bisa merasakan kehadiran ayahnya karena ia mengenakan cincin bertatahkan berlian yang terbuat dari abu jenazah sang ayah.

Rentang harga yang dipatok untuk pembuatan berlian sintetik amat bervariasi, mulai dari 3 ribu hingga puluhan ribu dolar AS, ditentukan oleh ukuran, potongan, dan warna berlian yang diinginkan. Untuk membuat berlian berwarna merah misalnya, diperlukan proses penyinaran selama sekitar tiga minggu, sedangkan berlian berwarna hitam dihasilkan dari proses penyinaran selama dua bulan.

Kalau mau alternatif yang lebih fantastis lagi, kita juga bisa mengirim abu jenazah orang terkasih ke angkasa luar dengan cara menitipkannya pada roket. Layanan istimewa ini disediakan oleh Celestis, perusahaan memorial spaceflights yang berdiri pada tahun 1994.

Biayanya mulai dari 2.995 dolar AS (perjalanan ke angkasa luar lalu kembali lagi ke Bumi), mulai dari 4.995 dolar AS (perjalanan mengelilingi orbit Bumi untuk menebar abu jenazah), dan mulai dari 12.995 dolar AS (perjalanan ke Bulan ataupun area yang lebih jauh lagi, untuk kemudian abu jenazah ditebarkan di sana).

Beragamnya cara pemulasaraan jenazah mungkin saja memberikan alternatif yang lebih banyak untuk menghormati dan mengenang orang yang kita kenal. Namun, embel-embel ramah lingkungan tetap masih membuat orang segan menjadikan bagian dari orang yang mereka kenal sebagai kompos. Sepertinya kita masih perlu menunggu hal yang sudah diterapkan di beberapa negara bagian Amerika Serikat ini menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan, terutama di Indonesia.

Baca juga artikel terkait LAHAN MAKAM atau tulisan lainnya dari Nayu Novita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nayu Novita
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi