tirto.id - Nasib Santoso agak mirip dengan Kahar Muzakkar. Keduanya dicap akan mendirikan negara Islam di Indonesia. Mereka bergerilya di pedalaman Sulawesi. Santoso akhirnya tewas di hutan Tambarana, Poso, Sulawesi Tengah, pada 18 Juli 2016 oleh pasukan Raider Yonif 515 Kostrad dari Jawa Timur. Sementara Kahar Muzakar tewas tak jauh dari Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, pada 3 Februari 1965, oleh pasukan raider Yonif 330 Kostrad dari Jawa Barat.
Pembeda penting antara Santoso dan Muzakkar adalah soal pemakaman. Pemakaman Santoso dihadiri ribuan orang pada 23 Juli 2016. Sementara pemakaman Muzakkar nyaris tidak terdengar karena pihak militer merahasiakan makamnya. Keluarga ataupun pemujanya tak bisa mengantarkan idolanya ke tempat peristirahatan terakhir. Meski demikian, pamor Muzakkar terbilang besar. Anak-anak Muzakkar sukses menjadi politisi di tanah kelahiran Kahar, di Luwu.
Ada kesamaan sikap bagaimana menguburkan jenazah para pemberontak, baik Republik Indonesia maupun pemerintah Hindia Belanda jelang abad 20. Makam-makam mereka rata-rata disembunyikan. Tak hanya Kahar Muzakkar, makam Kartosuwiryo (pemimpin Negara Islam Indonesia) maupun Soumokil (pemimpin Republik Maluku Selatan) di masa setelah kemerdekaan Indonesia juga tak diketahui letaknya.
Pemerintah Kolonial Memulai
Beberapa pemberontak di zaman Belanda memiliki nasib yang beragam. Ada yang makamnya jelas, bahkan ada yang dijadikan tugu peringatan, tapi ada pula yang tidak diketahui di mana jasadnya disemayamkan.
Misalnya Kapitan Jonker yang dihabisi VOC karena dituduh berkomplot dengan bangsawan Banten untuk melawan VOC di Betawi. Jonker adalah mitos sekaligus legenda bagi serdadu-serdadu kolonial Hindia Belanda (KNIL) Ambon. Makam Jonker hilang oleh abrasi, tetapi petilasannya berdiri megah berkat para pemujanya.
Petilasan itu tak tergusur meski sudah dikepung tumpukan-tumpukan peti kemas di daerah Cilincing, tak begitu jauh dari rumah hasil rampokan si Pitung. Menurut penduduk setempat, petilasan Jonker pernah dikunjungi petinju Ambon. Mereka berharap kekuatan Jonker bisa masuk ke tubuh sang petinju agar tahan dari pukulan lawan dan mampu merobohkan lawan.
Tak jauh dari petilasan Jonker, ada petilasan Mayor Dotulong, seorang tokoh legendaris bagi orang-orang Manado yang jadi serdadu KNIL. Makam Dotulong sendiri sebenarnya ada di Minahasa. Dua petilasan itu bernasib lebih baik daripada petilasan Mbah Priok, penyebar agama Islam dari Sumatera, di daerah Koja yang digusur Pelindo.
Pada 1700-an, pemerintah kolonial tak menyembunyikan jejak musuhnya. Pieter Erberveld, yang dipancung pada 1721, bahkan dibuatkan tugu peringatan. Tujuannya agar menjadi peringatan bagi semua orang sehingga tidak ada yang coba-coba merebut kekuasaan dari VOC.
Tokoh pembangkang berikutnya adalah Pitung. Makamnya tak jelas, meski ada koran kolonial menulis makamnya di sekitar Pasar Baru yang sudah sangat ramai. Sebagian orang mempercayai makam Pitung ada di sekitar Kebayoran.
Pemerintahan pendudukan Jepang memiliki watak yang agak berbeda. Tentara fasisme zaman Jepang dikenal menguburkan musuhnya secara serampangan setelah membantainya. Salah satu pejuang Indonesia yang jasadnya tidak ditemukan adalah Supriyadi. Semua orang Indonesia yang pernah belajar sejarah mengenai masa pendudukan Jepang (1942-1945) menjadikan makam Supriyadi sebagai salah satu misteri sejarah Indonesia. Supriyadi diperkirakan dieksekusi diam-diam oleh militer Jepang.
Selain Supriyadi, Kiai Haji Zaenal Mustofa, pemimpin pesantren di Sukamanah, Tasikmalaya, yang melawan militer Jepang, juga tak diketahui secara jelas kuburnya. Begitupun Achmad Mochtar, dokter yang dieksekusi oleh serdadu Jepang setelah dipaksa mengaku mencampur vaksin dengan racun yang menyebabkan tewasnya 900 romusha di Klender. Makam Achmad Mochtar baru ditemukan di Ereveld Ancol beberapa tahun silam.
Banyak korban pembantaian militer Jepang di Indonesia yang dikubur secara serampangan. Musuh-musuh militer Jepang itu biasanya dieksekusi beramai-ramai. Bisanya dengan memenggal kepala atau menusuk dengan bayonet, lalu dikuburkan dalam satu lubang. Selama beberapa tahun, tak diketahui jejak-jejak pembantaian ini.
Pemerintah Republik Melanjutkan
Pemerintah Indonesia pada awal kemerdekaan berlaku sama dengan pemerintah kolonial maupun militer pendudukan Jepang. Kartosuwiryo, setelah diadili dan divonis mati, akhirnya dikirim ke sekitar pulau Onrust. Begitupun Soumokil. Eksekusi kedua pemberontak itu sempat difoto, bahkan foto-fotonya sudah beredar di dunia maya. Namun, jejak kedua tokoh itu tak diketahui lagi.
Baca:
Beberapa orang yang dianggap "musuh negara" memang tak jelas makamnya. Sebutlah Dipa Nusantara Aidit atau Musso. Banyak orang menduga bahwa penguasa sengaja menyembunyikan makam mereka. Jika makamnya dirahasiakan, orang-orang bernasib malang itu akan dilupakan semua orang Indonesia.
Makam musuh penguasa tak boleh diketahui karena punya potensi menghidupkan kembali gerakan perlawanan. Apalagi orang Indonesia punya tradisi ziarah. Ziarah dianggap bisa menanam bibit pemberontakan. Kita masih ingat bagaimana Amerika Serikat memakamkan Osamah Bin Laden. Bukan di daratan, tapi di Samudera Hindia.
Suatu kali, keluarga Kahar Muzakkar bertanya kepada Jenderal M. Jusuf, Panglima daerah Sulawesi, tentang makam Muzakkar. Jenderal Jusuf tak mau memberitahu. Menurut Jusuf, jika letak kuburan Muzakkar diketahui masyarakat, makamnya akan disembah dan dikeramatkan.
Itulah mengapa beberapa makam yang dianggap musuh negara tak pernah jelas letaknya. Ada ketakutan bahwa jika makam-makam ini diketahui, lantas dikeramatkan, maka pemberontakan bisa terulang lagi. Menghilangkan atau mengaburkan sebuah makam, dengan kata lain, dianggap sebagai langkah melenyapkan orang yang dimakamkan tersebut dari sejarah.
========
Keterangan foto: Kartosuwiryo sebelum dieksekusi mati
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti