tirto.id - Si Jagur bukan seorang wali hingga diziarahi orang. Juga bukan laki-laki tampan hingga banyak perempuan menziarahinya. Ia hanya seonggok meriam tua dan sebuah legenda di sekitar kawasan Kota Tua Jakarta.
Sekalipun begitu, meriam ini bisa menggambarkan psikologis dalam imajinasi Achdiat Karta Mihardja dalam novel Keretakan dan Ketegangan (1993), “... Hamid lekas pergi ziarah ke kuburan Luar Batang, menghadiahkan kulhu dan fatehah kepada arwah Syekh Abdul Muhyi, sesudah singgah dulu menaburkan kembang boreh, mengelus-elus, merangkum-rangkum si Jagur, meriam suci buatan orang-orang Portugis itu.”
Jadi, tak hanya kuburan manusia yang diziarahi orang-orang. Dan ziarah tak hanya dilakukan rakyat jelata melainkan pula para penguasa. Seringkali, di balik ziarah, ada keinginan yang cepat dikabulkan. Ada yang ingin jadi pejabat, ada yang ingin kaya, ada juga yang pengin punya keturunan. Di masa lalu, Ki Jagur diziarahi untuk tujuan terakhir.
Jagur bukan satu-satunya meriam besar di zamannya. Hal istimewa meriam ini ada di pantatnya: sebuah patung tangan dengan jempol yang dijepit jari tengah dan telunjuk. Banyak orang tentu menganggap simbol tangan itu cabul. Namun, dulunya simbol itu seperti Lingg- Yoni dalam budaya Hindu, yang mengekspresikan simbol kesuburan.
Adolf Heuken, seorang paderi Katolik kelahiran Jerman dan penikmat sejarah kota, dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (1997) menulis bahwa patung kepalan tangan atau Mano in fica menjadi perihal istimewa dari meriam ini.
“Mano in fica ini simbol bersanggama. Karena alasan itulah Si Jagur dianggap keramat dan bisa mendatangkan kesuburan. Dahulu wanita-wanita menaburkan bunga- bunga di muka 'jimat' ini pada hari-hari Kamis. Setelahnya, mereka duduk di atas meriam itu.”
“Sepanjang abad 19 ada pelbagai pengembara yang menceritakan pemujaannya oleh kaum wanita,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (1996). Meriam Si Jagur, menurut Lombard, dulunya sering “didatangi wanita-wanita mandul di Jakarta untuk minta keturunan.”
Tentu saja orang-orang Betawi boleh punya pendapat beda dengan Lombard. Menurut catatan Alwi Shahab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), seorang bernama Abdurahman yang dulu tinggal di dekat meriam meyakini bahwa “hampir tak ada orang Betawi yang datang menziarahi Si Jagur karena bertentangan dengan akidah agama (Islam).” Menurut Shahab, peziarah ramai di hari Minggu, bisa ratusan orang, sampai-sampai di sekitar meriam penuh asap menyan.
Shahab menambahkan, “Para peziarah itu, biasanya setelah memberi uang pada kuncen (juru kunci), kemudian mendapat sebuah payung warna merah dan kuning. Biasanya si peziarah meletakkan payung ini di atas kelambu tempat tidur keluarga.”
Biasanya bila ada makam, ada pula penjual bunga. Di sekitar meriam, dulunya banyak penjual menyan dan bunga, yang mendapat keuntungan dari para peziarah meriam Ki Jagur. Tentu saja mereka “jadi pingsan saat meriam ini digusur.” Kejadian ini tatkala Perdana Menteri Mohammad Natsir dan Walikota Syamsuridjal dari Masyumi memindahkan meriam ke Museum Nasional, Medan Merdeka Barat.
Menurut Ensiklopedi Jakarta: buku 2. J-P - Volume 2 (2005), di masa Gubernur Jenderal Herman Daendels (1809), meriam ini ditempatkan di Museum Oud Batavia (Museum Wayang). Setelah sempat di Museum Nasional, “ia dipindahkan lagi dan ditempatkan di bagian utara Taman Fatahillah, di antara gedung kantor pos Jakarta Kota dan Kafe Batavia. Moncong meriam diarahkan ke arah Pasar Ikan, lurus ke arah Jl. Cengkeh.”
Sebelum zaman Daendels, meriam ini pernah nangkring di Kota Intan, sebelum Kasteel Batavia dihancurkan. Meriam ini dipakai sebagai “penjaga kota dan pelabuhan” di zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) alias Maskapai Dagang Hindia Timur Belanda.
Tercatat dalam beberapa literatur, meriam besar bertulis Ex me ipsa renata sum (“Saya lahir kembali dari diri saya”) ini bikinan Portugis di Makau, dekat daratan Tiongkok. Diyakini pula bahwa ahli cor meriam tersohor Manuel Tavares Bocarro, orang Portugis yang pernah tinggal di Goa (India), sebagai pembuat meriam ini.
Meriam ini pernah mangkal di Benteng Santo Jago de Barra yang juga jadi lokasi pabrikan meriam tersebut. Ia dipindahkan ke Benteng Portugis di Malaka. Setelah Malaka disikat VOC pada 1641, meriam seberat 3,5 ton ini diangkut VOC ke Kota Tua Batavia.
Sebagai tujuan ziarah keramat, cerita mistis tentu mengiringi meriam tersebut. Dari kisah putri raja Pajajaran yang kena penyakit aneh; kisah Raja Pajajaran bermimpi buruk dan mendengar suara gemuruh senjata api; penggawanya yang mencari gemuruh dan lantas berubah jadi meriam; hingga suami-istri yang berubah jadi meriam, dan lain-lain dan sebagainya.
Selain untuk perempuan yang pengin hamil, ada yang menyebut bahwa azimat meriam ini manjur buat kaum pria yang jomlo.
“Kalau pria bisa memeluk badan si Jagur, dipercayai bisa menyunting kekasihnya jadi istri atau masa depannya bakal berhasil,” tulis G. Malikmas dalam Catatan Anak Emas Soekarno (2002).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam