Menuju konten utama

Warisan Diktator Stroessner: Kuburan Massal dan Orang Hilang

Tujuh kali pemilu ia curangi agar tetap duduk di singgasana.

Warisan Diktator Stroessner: Kuburan Massal dan Orang Hilang
Alfredo Stroessner. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dalam jepretan foto hitam putih, ia berdiri tegap mengenakan seragam dinasnya. Berbagai ornamen mulai dari bintang jasa militer sampai tanda kehormatan lainnya melekat di dada. Ia adalah Alfredo Stroessner, Presiden Paraguay selama 35 tahun. Bersama Fidel Castro, Stroessner menjadi salah satu pemimpin negara terlama di Amerika Latin.

Stroessner dilahirkan pada 1912 di Encarnacion, selatan Paraguay. Ayahnya seorang imigran Jerman bernama Hugo Stroessner. Di usia 17 tahun, Stroessner bergabung ke dinas militer. Pada 1932 sampai 1935, Stroessner turut menyaksikan bagaimana Perang Chaco yang melibatkan Bolivia dan Paraguay meletus.

Dampak dari perang itu sangat besar: ketidakstabilan politik, 100 ribu nyawa melayang, dan perekonomian ambru.. Akan tetapi, bagi Stroessner Perang Chaco dan segala kehancurannya memberikan berkah tersendiri; ia dipromosikan menjadi kapten sebelum akhirnya berpangkat mayor di usia 28.

Belum lama setelah Perang Chaco berakhir, Paraguay kembali didera krisis berupa perang sipil pasca jatuhnya pemerintahan Higinio Morinigo. Lagi-lagi konflik ini membuat korban berjatuhan serta mengakibatkan sepertiga populasi Paraguay mengungsi ke negara lain. Dengan jabatan letnan kolonel, Stroessner memiliki peran penting dalam meredam keributan yang terjadi dalam negeri. Atas upayanya meredam konflik tersebut, Stroessner pun naik pangkat jadi jenderal.

Baca juga: 17 Juli 1979: Komunis Sandinista Gulingkan Diktator Somoza

Tiga tahun kemudian, Stroessner membantu Federico Chavez mendapatkan jabatan presiden. Sebagai imbalannya, Stroessner ditunjuk menjadi panglima angkatan bersenjata Paraguay. Namun kepercayaan Chavez tersebut dibalas dengan aksi kudeta yang dilancarkan pada 1954. Walhasil, Stroessner menggantikan Chavez menjadi presiden.

Selama menjabat, Stroessner tak ragu menyingkirkan siapapun yang dianggap pembangkang. Metodenya macam-macam; mulai bui, penyiksaan, hingga pembunuhan. Ditambah lagi, keberadaan media diberangus. Bagi Stroessner, kekuasaannya adalah harga mati yang tak bisa digugat. Kurang lebih sekitar 1.700 orang diringkus selama Stroessner memimpin. Dari semua tahanan, nama Carlos Levi Rufinelli—pemimpin oposisi Partai Liberal—kiranya jadi yang tersohor akibat dijebloskan ke penjara sampai 19 kali.

Paraguay di bawah Stroessner juga dikenal sebagai tempat pelarian para eks-Nazi usai Perang Dunia II berakhir. Stroesser dengan tangan terbuka mempersilahkan mereka untuk tinggal di Paraguay dengan memberikan visa dan paspor. Salah satunya ada nama Josef Mengele, ilmuwan Nazi yang memimpin percobaan gas beracun di Auschwitz.

Stroessner bisa lama memerintah karena beberapa faktor, yakni kuatnya aliansi bersama Partai Colorado, kemampuan mengeksploitasi kelemahan oposisi, hingga kepahlawanannya di Perang Chaco maupun perang sipil. Belum lagi, manuvernya merekayasa hasil pemilu selama tujuh kali berturut-turut.

George Landau, mantan Duta Besar AS untuk Paraguay menjelaskan bahwa Stroessner ibarat "Tuhan bagi pemerintahannya." Landau menambahkan, "Seperti banyak diktator lainnya, dia percaya dirinya tak tergantikan."

Dalam suatu kesempatan, Stroessner pernah berkata bahwa dirinya ingin pensiun dari jabatan dan mengisi waktu dengan berburu dan memancing. Keinginan itu baru terkabul pada 1989: ia dikudeta oleh Jenderal Rodriguez. Lima tahun setelah Stroessner turun jabatan, untuk kali pertama Paraguay dapat menyelenggarakan pemilu yang demokratis.

Keterlibatan Paraguay dalam Operasi Burung Kondor

Selain dikenal akan bertangan besi, rezim Stroessner juga dekat dengan Paman Sam, khususnya secara militer. Pada 1965, misalnya, Paraguay mengirimkan bantuan militer untuk Amerika yang sedang berperang di Republik Dominika. Namun yang terpenting dari semuanya, keterlibatan Paraguay dan AS dalam Operasi Burung Kondor.

Kendati sudah dipraktekkan sejak akhir 1960an, Operasi Burung Kondor baru diinisiasi secara resmi pada 1975 di Santiago, Cile. Saat itu para kepala intelijen, pimpinan militer, serta pejabat pemerintahan berkumpul dalam sebuah forum untuk mendiskusinya cara-cara melenyapkan pengaruh kiri di Amerika Latin. Negara-negara yang hadir adalah Argentina, Cile, Uruguay, Paraguay, Brazil, serta Bolivia.

Operasi ini digelar sebagai respon dari kemenangan gerakan kiri di Amerika Latin pada tahun 1960-1970an lewat pemilu. AS yang saat itu mengkampanyekan anti-komunisme (serta tak ingin kepentingan politiknya di Amerika Latin diusik) mulai khawatir. Berangkat dari situasi tersebut, AS lantas mengajak, mendanai, dan mendukung terciptanya operasi gabungan beberapa negara Amerika Latin untuk menghalau pengaruh kiri.

Baca juga: Aksi Ibu-ibu Berani Gulingkan Diktator Militer Argentina

Mulanya, Operasi Burung Kondor ditujukan sebagai sarana tukar informasi intelijen antar negara. Namun, seiring waktu, operasi ini berubah menjadi organisasi yang mengidentifikasi, mencari, serta melenyapkan siapapun yang dipandang memusuhi pemerintahan sayap kanan maupun kediktatoran militer fasis yang didukung CIA serta menlu AS Henry Kissinger.

Menurut sejawaran Greg Grandin dalam bukunya Kissinger's Shadow: The Long Reach of America's Most Controversial Statesman (2015), Kissinger menyarankan kepada menteri luar negeri rezim junta militer untuk bertindak cepat dalam menangkal pengaruh kiri. "Apabila harus ada yang diselesaikan, lakukan dengan cepat," tulis Grandin menirukan ucapan Kissinger.

Operasi Burung Kondor menghilangkan 30 ribu warga Argentina selama Perang Kotor, menggulingan presiden sosialis Allende dan mengerek Jenderal Pinochet di Cile, hingga tewasnya tokoh oposisi Cile Orlando Letelier dalam ledakan bom mobil di Washington DC.

Lambat laun operasi ini memicu perlawanan. Kelompok-kelompok hak asasi manusia mulai memprotes tindakan represif pemerintah, penyiksaan dan pembunuhan. Semenjak saat itu, hak asasi manusia menjadi isu utama yang dibawa kelompok sipil dalam melawan kebijakan-kebijakan represif pemerintahan militer.

Infografik Alfredo Stroessner

Empat dekade kemudian, negara-negara mantan pelaku Operasi Burung Kondor seperti Brazil, Argentina, dan Paraguay mulai menyelidiki keterlibatan pejabat masing-masing dalam operasi maut itu. Misalnya, pada 2013, jaksa di Roma memeriksa sekitar 35 mantan pejabat Cile, Bolivia, Peru, hingga Uruguay yang dituduh melakukan kejahatan terhadap warga Italia dalam Operasi Burung Kondor.

Baca juga: 'Castro Jadi Titik Tolak Pemberontakan Klasik Amerika Latin'

Pada 2016, pengadilan Argentina menuntut 21 mantan pejabat militer atas dugaan partisipasi dalam Operasi Burung Kondor. Menurut Kepala Kejaksaan Argentina Pablo Ouvina, mereka diduga melakukan “ribuan kejahatan termasuk penculikan, penyiksaan, pembunuhan, serta penghilangan (manusia).”

Paraguay sendiri melakukan penelusuran serupa dalam pada 2009. Aktivis hak asasi manusia Paraguay Martin Almada mengaku telah memperoleh akses ke arsip militer Paraguay dan menemukan keterlibatan negeri itu dalam Operasi Burung Kondor maupun penindasan lawan-lawan politik di era Stroessner. “Kami menemukan beberapa informasi menarik mengenai Operasi Burung Kondor,” pungkasnya seperti dilansir The Guardian.

Sementara mantan presiden Paraguay Fernando Lugo, telah meminta maaf kepada masyarakat Paraguay atas kejahatan yang dilakukan Stroessner di masa lalu. Pemerintahan Lugo juga berjanji untuk mencari kuburan massal lawan-lawan politik Stroessner. “Banyak kerabat tahanan yang hilang tidak tahu di mana orang yang mereka cintai dimakamkan. Mungkin keberadaan dokumen-dokumen ini dapat memberikan petunjuk,” tegas Almada.

Baca juga artikel terkait DIKTATOR atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf