tirto.id - Minggu (4/8/19), terjadi pemadaman listrik di wilayah Jabodetabek, serta sebagian Jawa Barat, Banten dan Jawa Tengah, sejak sekitar pukul 11.00 sampai malam hari. Di kawasan Kemang Timur, listrik baru menyala sekitar pukul 19.00. Waktu listrik menyala pun berbeda di setiap area.
PLN menyatakan pemadaman terjadi akibat gangguan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV Ungaran dan Pemalang. Direktur Pengadaan Strategis 2 Djoko Raharjo Abumanan mengungkapkan bahwa gangguan transmisi terjadi karena kelebihan beban listrik, khususnya di Jakarta, Bekasi, dan Banten.
Akibat dari gangguan SUTET di kedua lokasi tersebut, transfer listrik dari timur ke barat Pulau Jawa mengalami kegagalan dan menyebabkan gangguan di seluruh pembangkit di sisi tengah dan barat Pulau Jawa.
Plt Dirut PLN Sripeni Inten mengatakan gangguan transmisi mulai terjadi pada Minggu, pukul 11.45, dan langsung terasa pukul 11.45 detik ke-27 di Brebes. Pada pukul 11.48 detik ke-11 terjadi penurunan tegangan yang mengakibatkan gangguan di jaringan listrik Depok-Tasikmalaya.
“Pada saluran udara Ungaran-Pemalang terjadi gangguan pada sirkuit 1, kemudian disusul gangguan sirkuit kedua,” ujar Sripeni dalam konferensi pers di P2B Gandul, Cinere, Depok.
Blackout di kawasan Jabodetabek tersebut mengakibatkan beberapa gangguan pelayanan publik, salah satunya gangguan sinyal komunikasi. Beberapa provider penyedia layanan pun sempat mengungkapkan permohonan maaf mereka karena kekacauan jaringan telepon tersebut.
Keresahan Warga terhadap Gangguan Internet
Salah satu penduduk Jakarta yang cemas terhadap hilangnya sinyal internet adalah Kelsi Sawitri (26). Ia mengungkapkan bahwa beberapa menit sejak lampu mulai padam, ia sempat mengecek pemadaman melalui Twitter dan mendapati bahwa pemadaman tak hanya terjadi di tempat tinggalnya.
“Awalnya masih ada koneksi internet, untuk cari atau berbagi info. Tapi enggak sampai lima menit, internet mulai enggak stabil. Lama-lama jadi hilang koneksi total. Sinyalnya x (hilang),” ujar Kelsi.
Menurut Kelsi, pemadaman itu membuat dirinya tak bisa beraktivitas. Meski pemadaman berlangsung di akhir pekan, tapi bagi Kelsi, gangguan itu sangat berpengaruh. Apalagi bagi warga Jakarta yang terbiasa hidup dengan listrik.
“Tapi ya jadi mati gaya, enggak bisa ngapa-ngapain. Mau baca-baca di internet enggak bisa, karena internet mati. Sms enggak bisa, telepon enggak bisa, bahkan untuk cek pulsa enggak bisa. Mau baca buku juga mati, harus keluar kosan cari tempat yang terang,” tuturnya.
Kelsi tak seorang diri. Beberapa menit setelah PLN berhasil menyalakan kembali aliran listrik di area Jabodetabek, warganet mulai berkicau di Twitter mengeluhkan hilangnya sinyal ponsel dan internet. Beberapa mencoba melucu dengan mengunggah gambar manusia purba di zaman batu.
Tanpa Internet, Hidup Terasa Hampa
Anda barangkali menganggap Kelsi dan warga Jakarta berlebihan. Tapi, pengalaman seperti itu rupanya lumrah belaka. Berdasarkan sebuah riset Future Laboratory yang dikutip The Telegraph, orang cenderung cemas tatkala jauh dari internet atau ponsel.
Studi yang dilakukan terhadap ibu rumah tangga itu menemukan bahwa 36 persen responden cenderung merasa cemas ketika jaringan seluler mereka terputus karena mereka menggunakan gawai untuk berhubungan dengan keluarga.
Situs Psychology Today pernah memaparkan penelitian serupa yang dilakukan oleh Kantor Pos Inggris Raya yang bekerja sama dengan lembaga penelitian YouGov. Dalam observasi diketahui 53 persen dari pengguna ponsel di Inggris akan dilanda kecemasan saat ponsel mereka raib, kehabisan baterai atau pulsa, serta mengalami gangguan jaringan.
Sebanyak 55 persen dari 2.163 responden observasi ini mengaku cemas karena tak bisa berhubungan dengan teman atau keluarga ketika ponsel tak bisa digunakan.
Di dunia modern, ponsel dan internet memang mampu membuat kecanduan penggunanya. Bahkan di Amerika Serikat, dua per tiga orang tidur bersama ponsel pintar mereka.
Karena studi-studi tersebut, para peneliti akhirnya mengenal kata “Nomophobia”, singkatan dari no mobile phone phobia, yakni ketakutan saat tidak memiliki perangkat seluler, atau ketika ponsel tak bisa digunakan untuk berkomunikasi. Inilah fobia khas zaman digital.
Hubungan Internet dan Kecemasan
Internet dan kecemasan kini sulit dipisahkan. Laman Psychology Today menyebut internet sebagai tempat nyaman bagi orang-orang yang memiliki kecemasan sosial. Kemudahan interaksi di dunia maya (khususnya yang berbasis teks) membuat orang-orang tak lagi khawatir akan penilaian fisik atau perilaku saat berkomunikasi karena basis. Gangguan akses internet rupanya bisa dengan mudah mencemaskan penggunanya, terutama yang memiliki kecemasan sosial.
Alan Levinovitz adalah seorang dosen di James Madison University, Virgina, Amerika Serikat, yang hidup tanpa ponsel. Kepada Vox, ia menuturkan bahwa ia sering dianggap aneh oleh orang-orang karena pilihannya itu.
“Tapi, baru-baru ini orang-orang mulai mengajukan pertanyaan yang berbeda kepada saya—bukan mengapa, tetapi bagaimana saya bisa hidup tanpa telepon? Seolah-olah mereka bertemu dengan seorang biarawan atau anak-anak yang tersesat dan berkeliaran di kota besar,” ungkap Levinovitz kepada Vox.
Bagi orang-orang di sekitar Levinovitz, telepon pintar dengan segala kecanggihannya telah menjadi kebutuhan hidup. Padahal sebenarnya, tanpa ponsel dan internet hidup mereka biasa-biasa saja.
Adiksi ponsel dan internet pernah diulas dalam sebuah laporan The New York Times. Mengutip riset Pew Research Center dan Nielsen, laporan itu menyatakan bahwa 24 persen remaja selalu terhubung dengan internet dan sebagian besar orang dewasa menghabiskan 10 jam atau lebih dalam sehari untuk mengakses media elektronik, termasuk media digital.
Lalu mengapa ini bisa terjadi?
Psikolog Ellen Hendriksen menjelaskan di Psychology Today bahwa internet telah melindungi kita dari ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang menjadi akar kecemasan.
Internet telah memanjakan kita. Bayangkan, dulu kita mungkin akan berpusing-pusing ria ketika mendapat tugas dinas di daerah asing. Namun sekarang, hanya dengan sekali klik, Anda bisa tahu segalanya: jalan-jalan dengan aplikasi peta, menyusun perencanaan keuangan, hingga menyunting tulisan di ponsel. Ini masalah yang lain lagi namun tak kalah krusial: kerja-kerja di dunia modern semakin membutuhkan internet. Maka, kemampuan untuk pisah dari internet dan ponsel lambat laun jadi kemustahilan, jika bukan kemewahan tersendiri.
Editor: Windu Jusuf