tirto.id - Sebuah video yang beredar pada 2013 menunjukkan suasana di dalam pesawat jet pribadi menjelang pendaratan. Tak ada yang janggal dari tayangan tersebut di menit awal, sampai akhirnya tampak para biksu, lengkap dengan jubah oranye mereka.
Si perekam mengarahkan kameranya ke seorang biksu berkacamata yang menenteng tas bermerek mahal. Biksu yang kala itu berusia 33 tahun itu bernama Wirapol Sukphol. Dia berasal dari Thailand.
Video tersebut sontak menggegerkan publik negeri gajah putih, yang 95 persen penduduknya beragama Buddha. Pasalnya, gaya hidup Wirapol dkk bertolak belakangan dengan citra umum para biksu yang disumpah untuk hidup sederhana dan selibat.
Usut punya usut, Wirapol memang biksu yang bermasalah. Catatan kriminalnya menumpuk, mulai dari dugaan pelecehan seksual terhadap perempuan di bawah umur, hingga terlibat dalam perdagangan narkoba dan penggelapan uang jemaat.
Status biksu Wirapol segera dicabut begitu video di dalam pesawat itu tersebar luas. Saat itu, ia melarikan diri ke California, AS, di mana ia membangun sebuah rumah mewah dengan dekorasi khas daerah kelahirannya di Ubon Ratchathani, Thailand. Dibangun pula replika patung Buddha zamrud layaknya di Istana Kerajaan Bangkok. Masih di California, Wirapol masih berlagak sebagai biksu dan memanfaatkan rumahnya sebagai pusat pengajaran Buddhis.
Pada 2017 lalu, ia diekstradisi dari AS dan pengusutan kasus kriminalnya berlanjut. Pada 9 Agustus 2018, Pengadilan Bangkok menjatuhkan hukuman 114 tahun penjara kepada Wirapol. Dakwaannya berlapis, mulai dari 42 tuduhan penipuan, pencucian uang, dan kejahatan siber.
Dilansir dari media lokal Khaosodeng, pengadilan menuntut Wirapol mengembalikan uang sebesar 28,6 juta baht atau senilai 12 miliar kepada para jemaat penyumbang yang merasa ditipu. Oktober nanti, pengadilan juga akan memutuskan vonis terkait dakwaan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang melibatkan Wirapol. Pelecehan inilah yang juga menjadi puncak pelucutan status Wirapol sebagai biksu kala itu.
Dalam putusan pengadilan, Wirapol yang kini berusia 39 tahun terbukti menyalahgunakan kedudukannya sebagai biksu untuk menipu jemaat. Dengan dalih pembangunan tempat ibadah, Wirapol menyalahgunakan uang sumbangan untuk membeli barang-barang mewah.
Meski begitu, Wirapol bakal menghabiskan hukuman di penjara selama 20 tahun saja. Ia diuntungkan oleh sistem hukum Thailand yang menetapkan masa hukuman maksimum 20 tahun penjara kepada terdakwa yang dinyatakan bersalah atas beberapa tindak pidana yang sama.
Imperium Wirapol
Diwartakan Chiang Rai Times, Wirapol meniti jalan sebagai seorang biksu sejak usia lima tahun, meninggalkan dunia kanak-kanak dan memilih bermeditasi, bergaul dengan para biksu-biksu senior di kuil. Di usia remaja, ia makin dikenal karena kuat meditasi dan rajin berziarah ke hutan-hutan Thailand, Myanmar, dan Kamboja.
Setelah ditahbiskan sebagai biarawan Buddha pada 1999, Wirapol menggelari dirinya "Luang Pu", sebuah titel di Thailand yang diperuntukkan bagi para biksu senior yang dihormati.
Pada 2003, ia ditugaskan untuk melayani umat di desa Ban Yang, distrik Kanthararom Si Sa Ket, Thailand. Di desa inilah Wirapol membangun kerajaannya.
Gaya Wirapol yang karismatik mendatangkan ribuan pengikut. Ia bahkan dianggap punya kekuatan supranatural. Berkat loyalitas dan sumbangan jemaatnya, Wirapol berhasil membangun Wat Pa Khanti Tham, sebuah vihara pertama di desa tersebut.
Wat Pa Khanti Tham adalah vihara megah dan mewah. Di dalamnya terdapat danau, jaringan bangunan bawah tanah, serta patung Buddha setinggi 18,5 meter yang diklaim terbuat dari batu giok yang diimpor langsung dari India. Strukturnya mengandung 9.000 kilogram emas hasil sumbangan jemaat. Belakangan klaim itu tak terbukti karena patung tersebut ternyata terbuat dari beton berwarna.
Setelah video gaya hidup mewah Wirapol tersebar, kasus penipuan dan sederet tindak kriminal lainnya mulai tercium. Penyelidik menyita aset Wirapol senilai 770.000 dolar AS, termasuk mobil Porsche, Mercedes Benz dan beberapa rekening bank.
Di media-media lokal, tersebar foto-foto Wirapol dalam berbagai pose dan kesempatan, mulai dari pelesiran ke piramida di Mesir hingga pemandangan sang biksu duduk di kokpit miniatur pesawat di Kansas, Amerika Serikat. Wirapol memang diduga tertarik membeli pesawat pribadi setelah mengunjungi pabrik pesawat di Kansas.
Perilaku tak terpuji dari biksu atau biarawan bukanlah hal baru di Thailand. Godaan kehidupan modern dengan gelimang harta dan wanita, berjalan seiring dengan kehidupan masyarakat urban yang haus siraman rohani. Para jemaat di kota yakin bahwa sumbangan ke kuil-kuil di desa bakal diganjar kesuksesan dan keberkahan.
Tantangan Reformasi Buddhisme di Thailand
Ajaran Buddhisme sangat sentral dalam kehidupan sosial dan politik di Thailand. Biksu sangat dihormati. Namun, selama beberapa tahun belakangan, sejumlah biksu dikecam karena melanggar sumpah. Beberapa di antaranya didakwa skandal pemerasan uang, ketahuan berhubungan seks, terlibat kasus narkoba, judi, bahkan pembunuhan.
Dilansir dari Channel News Asia, pada 2017 lalu pemerintahan junta militer Thailand menggagas pemberlakuan kartu khusus untuk setiap biksu yang punya catatan kriminal. Kebijakan ini diharapkan mencegah tindakan kriminal.
Pemerintahan junta militer juga dipusingkan oleh sekte Buddha bernama Dhammakaya. Jika dibandingkan dengan kuil-kuil Buddha pada umumnya, vihara sekte Dhammakaya yang terletak di pinggiran Kota Bangkok nampak lebih mencolok dan megah. Kebanyakan pengikutnya pun orang kaya.
Maret lalu, selama berminggu-minggu polisi menggeledah kuil Dhammakaya untuk menemukan barang bukti terkait sebuah kasus penggelapan senilai 33 juta dolar AS yang melibatkan kepala biara. Namun, sang kepala biara hingga kini tak tersentuh.
Asia Times menuturkan bahwa sejak berkuasa lewat jalan kudeta pada 2014 lalu, junta militer Thailand makin sering melakukan aksi bersih-bersih yang menyasar kasus korupsi di institusi keagamaan. Pasalnya, pemerintahan sipil sebelumnya kerap menjalin hubungan mesra dengan sejumlah pemuka agama Buddha demi mengamankan suara dalam Pemilu.
Setiap tahunnya, pemerintah Thailand melalui Jawatan Nasional Buddhisme (NOB) mengucurkan dana sekitar 150 juta dolar AS ke kuil-kuil Buddha di seluruh Thailand yang menjadi rumah bagi lebih dari 300.000 biksu. Sebagian besar uang tersebut dititipkan ke kuil-kuil terkemuka di Bangkok untuk didistribusikan lagi ke kuil-kuil kecil di pedalaman. Di titik inilah korupsi marak terjadi. Pada awal Agustus 2018, misalnya, polisi menangkap 10 pejabat yang diduga kongkalikong dengan biksu senior menggelapkan dana 10 juta dolar AS dari NOB.
Sejak Jenderal Prayut Chan-ocha menjabat Perdana Menteri Thailand, kuil-kuil di negeri seribu pagoda tersebut sering di-sweeping dengan alasan pemberantasan korupsi. Seorang kepala biara senior Phra Buddha Issara bahkan dicokok karena diduga memalsukan tandatangan Ratu dan mendiang Raja Thailand untuk jualan jimat keberuntungan serta mencuri senjata dari polisi.
Cara-cara yang ditempuh junta militer ini terhitung berani dalam konteks masyarakat Thailand. Berbagai skandal buruk yang melibatkan pemuka agama Buddha, dari biksu sampai kepala biara senior, pelan-pelan terkuak.
Namun, para pengamat politik skeptis dengan langkah Prayut yang mereka nilai sebagai cara junta militer mempertahankan kekuasaan. Masalahnya, hubungan Prayut dan Issara pernah sangat dekat. Ketika Issara ditangkap, Prayut bersusah-payah menyangkal kedekatannya itu.
"Penangkapan para biksu ini jelas dirancang supaya negara mampu mengontrol biksu sehingga mereka tetap setia pada junta militer, khususnya jelang tahun politik," ujar Paul Chambers, dosen spesialis politik Thailand di Naresuan University kepada The Guardian.
"Ini cara mereka menunjukkan bahwa negara benar-benar di atas sangha (tatanan Buddha di Thailand) Buddhis."
Editor: Windu Jusuf