tirto.id - Butuh 18 hari bagi 12 anak remaja dan seorang pelatih berusia 25 tahun untuk keluar dari gua Tham Luang. Mereka adalah tim akademi sepakbola lokal bernama Moo Paa yang terjebak di dalam gua karena cuaca buruk dan banjir menerjang beberapa area dalam gua.
Tiga belas orang tersebut pertama kali terendus pada 2 Juli oleh dua penyelam Inggris, dua kilometer dari bibir gua, di kedalaman sekitar 800 meter dari permukaan tanah. Lorong gua Tham Luang yang ada di kaki pegunungan Doi Nang Noi, Thailand utara, berkelok-kelok curam naik turun, membesar dan menyempit, gelap, tergenang air keruh dan perlu menyelam untuk menyusuri.
Rombongan yang terjebak di gua tidak mahir berenang dan menyelam, sehingga tim penyelamat harus melatih mereka. Pada 8 Juli, empat orang anak berhasil dikeluarkan dalam proses evakuasi yang memakan waktu sekitar 11 jam. Sampai Selasa (10/7) lalu, 13 orang tersebut sukses dievakuasi dan mendapatkan perawatan di sebuah rumah sakit di Chiang Rai untuk pemulihan kondisi fisik.
Operasi penyelamatan di Tham Luang telah menyedot perhatian dunia. Lebih dari 10.000 orang, termasuk 2.000 tentara, 200 penyelam, perwakilan 100 lembaga pemerintahan terlibat. Relawan lokal dari petani sampai mahasiswa berdatangan menyumbangkan waktu, tenaga dan keahlian untuk menyokong kerja tim penyelamat.
Diselimuti Mitos dan Politik
Terletak jauh dari pusat pemerintahan di Bangkok, kawasan Thailand utara berbatasan langsung dengan Myanmar. Andrew Alan Johnson, antropolog dari Princeton University dalam esainya dimuat di The Conversation menyebut, Tham Luang dan sebagaimana gua-gua di wilayah Thailand utara adalah gua yang dihormati dan dianggap sakral.
Budaya lokal Tham Luang punya cerita rakyat tentang roh penunggu gua, seorang putri kerajaan lokal bernama Jao Mae Tham yang bercinta-cintaan dengan seorang pria jelata. Kisah cinta keduanya tidak direstui oleh ayahnya. Akhirnya, sang putri bunuh diri setelah kekasihnya dibunuh tentara kerajaan. Darah Jao Mae Tham mengalir menjadi sungai Mae Nam Mae Sai, dan tubuhnya menjelma gunung Doi Nang Non.
Sedikit sekali hubungan antara kepercayaan lokal di Thailand utara, termasuk seputar gua Tham Luang, dengan agama Buddhisme. Sebaliknya, gua-gua di Thailand utara adalah tempat percampuran tradisi berbagai agama. Di ruang yang sama, terdapat tempat suci umat Buddha, petapa Hindu, hingga tempat tetirah kepercayaan lokal.
Lazimnya banyak cerita rakyat, legenda roh penunggu Tham Luang dapat dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap budaya penguasa, khususnya saat ia mengacu pada kekerasan yang pemimpin kerajaan untuk melindungi tahta dan garis keturunan.
Namun, insiden di Tham Luang baru-baru ini beserta proses evakuasi yang mengikutinya, nampaknya justru menjadi semen kekuasaan.
Thailand kini dipimpin oleh pemerintahan junta militer sejak kudeta 2014 dilancarkan oleh kelompok Angkatan Darat pimpinan Prayut Chan-o-chan. Kudeta tersebut merupakan respons tentara atas serangkaian aksi protes besar di Bangkok menuntut Perdana Menteri Yingluck Shinawatra mengundurkan diri. Sejak itu, Prayut duduk di kursi Perdana Menteri Thailand. Dalam perjalanannya, rezim militer yang mengklaim bakal mengakhiri krisis politik Thailand era Yingluck Shinawatra, justru melanggengkan penggunaan kekuasaan yang tidak terbatas dan makin menggurita dalam masyarakat Thailand.
Sebagaimana dikabarkan Reuters, Prayut kini rutin muncul dalam acara prime-time televisi Thailand bertajuk "Pembangunan Berkesinambungan Menurut Falsafah Kerajaan". Sepanjang acara, Prayut menyampaikan banyak topik, mulai dari "pentingnya kesederhanaan dan situasi ekonomi terkini dalam negeri".
Kebebasan sipil di Thailand pun jadi korban. Pasal penistaan raja dan keluarga makin sering dipakai sejak kudeta 2014 untuk membungkam kritik dan kebebasan berpendapat. Peringkat kebebasan sipil Thailand dari Freedom House hanya mencatatkan skor lima dari tujuh (sebagai catatan, laporan Freedom House memasang skor 1 untuk negara yang paling menjamin kebebasan sipil, dan 7 untuk yang paling sering mencederainya). Pada 2015, Prayut pernah secara sesumbar bahwa ia berkuasa penuh untuk membredel media dan menahan jurnalis.
Di bawah Prayut, agama Buddha di Thailand dikontrol habis-habisan melalui sebuah komite urusan agama bentukan Dewan Reformasi Nasional yang didirikan oleh Dewan Reformasi Nasional, sebuah badan bikinan junta militer untuk memuluskan kekuasaan Prayut.
Dilansir dari Reuters, sekitar 80 persen dari 40.758 kuil di Thailand kini diwajibkan menyerahkan laporan keuangan tahunan kepada negara untuk keperluan arsip. Prayut juga mendorong agar kuil-kuil mengaudit keuangan mereka sendiri. Di sisi lain, ada negosiasi yang terus berlangsung. Para biksu juga dipertimbangkan untuk bisa duduk di parlemen. Manuver ini dipandang sebagai cara junta militer meraup dukungan dari kalangan agamawan.
Dalam kasus misi penyelamatan Tham Luang, untuk pertama kalinya pemerintahan junta militer meraih dukungan publik sejak kudeta militer 2014. Personel militer dan sipil berjibaku atas nama kemanusiaan. Dalam esainya yang diterbitkan New Mandala, antropolog Edoardo Siani menyatakan bahwa apa yang terjadi di gua Tham Luang adalah pertarungan simbolik antara kepercayaan lokal (yang mewakili penduduk setempat) dan Buddhisme yang ditunggangi junta militer untuk mendisiplinkan populasinya.
"Operasi penyelamatan dituturkan sebagai kisah kepahlawanan a la Buddhis. Tim penyelamat dipuji-puji karena tak mementingkan diri sendiri, dan pengguna media sosial membagikan gambar para relawan dengan lingkaran cahaya terang berasal di kepala mereka, mengingatkan pada kesaktian (barami) orang-orang suci Buddhis. Para biksu pun diundang untuk berdoa di dalam gua. Jenderal Prayut meminta restu dari Pimpinan Tertinggi Sangha, dan doa-doa bersama diselenggarakan di Royal Plaza Bangkok," tulis Siani.
Dalam sebuah opini yang dimuat di The New York Times, pengamat politik Thailand, Pavin Chachavalpongpun, menilai bahwa operasi Tham Luang tidak hanya berhasil menyelamatkan nyawa 13 orang yang terjebak, tetapi juga sukses menyelamatkan muka pemerintahan junta militer di tengah gelombang ketidakpuasan sipil dan tekanan internasional.
Thailand akan menyelenggarakan pemilu pada 2019, empat tahun lebih lambat dari yang dijanjikan Prayut.
Partai-partai yang bersaing ditekan untuk tidak melakukan kampanye di jalan-jalan. Sebagaimana dicatat oleh The Economist, kini Thailand memiliki konstitusi yang disepakati melalui referendum terbatas. Konstitusi tersebut mengatur pendirian Majelis Nasional yang terdiri dari 250 anggota senat yang dipilih oleh para jenderal, dan sebuah Dewan Perwakilan dengan 500 anggota. "Sistem representasi proporsional yang akan digunakan dalam pemilu akan memangkas kekuatan partai-partai besar," tulis Economist seraya menjelaskan bahwa Perdana Menteri akan dipilih oleh anggota Majelis Nasional dan Dewan Perwakilan.
Pada 2017, Reuters melaporkan bahwa militer menguasai 143 dari 250 kursi parlemen. Jauh lebih banyak ketimbang rezim junta hasil kudeta 2006, di mana militer hanya menguasai 67 dari 242 kursi. Selain itu, 12 dari 36 anggota kabinet berasal dari militer. "Pada 2006," lapor Reuters, hanya ada empat perwira dari 37 anggota kabinet.
Atas nama kemanusiaan, misi penyelamatan melampaui ketegangan politik. Prayut memang mengunjungi gua dan menunjukkan kepeduliannya, termasuk kepada para sanak keluarga 13 orang yang terjebak di gua. Negara-negara Barat termasuk Uni Eropa yang pernah menjatuhkan sanksi kepada rezim Prayut pada 2014, tampak mengulurkan tangan dengan mengirim penyelam, tenaga medis, dan bantuan lainnya.
Politisasi Bencana?
Kritik pun tertuju kepada peliputan media. Selama 18 hari itu, berbagai media baik lokal maupun mancanegara terus meliput penyelamatan Tham Luang. Seperti yang dilaporkan The Irrawaddy, para pengamat media di Thailand mengecam sejumlah surat kabar dan lembaga penyiaran yang menunjukkan foto dan nama empat dari 13 orang sesaat setelah dievakuasi keluar gua.
Pesawat drone yang diterbangkan oleh sebuah media juga dikecam. Pasalnya drone tersebut beroperasi di dekat helikopter tim penyelamat. Masing-masing media yang mendapat kecaman akhirnya mengungkapkan permintaan maaf atas kejadian tersebut.
Thai Broadcast Journalists Association turut mengeluarkan pernyataan yang menyerukan kepada para jurnalis untuk mematuhi kode etik secara ketat dan menghormati privasi ketiga belas orang yang baru dievakuasi.
Politisasi bencana sebetulnya bukan hal baru. Mantan Presiden Chili Sebastian Pinera pernah dituding mendongkrak popularitasnya yang tengah karam melalui eksploitasi siaran bencana. Ketika itu, pada 2010, terjadi sebuah kecelakaan di area tambang San Jose, Copiapo, Chili. Sebanyak 33 pekerja tambang terjebak di dalam tanah sedalam 600 meter setelah rontoknya jalan masuk pertambangan pada 5 Juli 2010. Nasib 33 penambang sendiri akhirnya berhasil selamat setelah evakuasi selesai pada 22 Oktober 2010. Total, para penambang menghabiskan waktu 69 hari di bawah tanah.
Selama proses misi penyelamatan berlangsung, Sebastian Pinera hadir di lokasi tambang lebih dari tiga kali. Diwartakan CNN, ia berkomunikasi dengan para pekerja tambang yang terjebak, melambaikan surat para penambang dengan penuh rasa bangga di depan layar televisi, hingga mengabadikan surat tersebut ke dalam sebuah plakat piring dan memberikannya ke para keluarga pekerja tambang.
Saat itu kepemimpinan Pinere sedang disorot tajam. Tiga puluh empat orang Indian Mapuche, yang kerap ditangkap dengan tuduhan teroris, tengah mogok makan menuntut kemerdekaan. Penduduk di sejumlah daerah juga menyoroti keterlambatan pemerintah memulihkan infrastruktur Chili pasca-gempa bumi dan tsunami 2010.
Kehadiran Pinere di area pertambangan rupanya cukup menaikkan popularitasnya. Menurut lembaga riset Chili, Adimark GfK popularitas sang presiden meningkat 10 persen. Sebuah kenaikan yang cukup besar di tengah krisis politik di awal kepemimpinannya. Apakah hal yang sama akan berlaku untuk junta militer Thailand?
"Ini bukan soal popularitas militer. Tentara melakukan misi penyelamatan ini dengan tulus," aku juru bicara Kementerian Pertahanan Kongcheep Tantravanich kepada Reuters pada Rabu 11/7).
"Tentu saja (misi) ini menolong popularitas Prayut," ujar Kan Yuenyong, Direktur Siam Intelligence Unit, sebuah think tank yang berbasis di Bangkok. "Begitu ada banyak tentara yang terlibat, masyarakat memandang mereka sebagai sebuah unit yang bisa diandalkan. Khalayak masih menganggap Prayut sebagai serdadu."
Editor: Windu Jusuf