tirto.id - Upaya evakuasi terhadap 12 remaja anggota tim akademi sepakbola Moo Pa dan seorang asisten pelatih berusia 25 tahun, yang terjebak di dalam sebuah gua di Thailand, mulai mendapat hasil positif pada Minggu (8/7/2018).
Setelah terjebak di dalam gua selama 16 hari, sebanyak 4 remaja berhasil dievakuasi dalam kondisi hidup. Keempat remaja itu bersama 9 orang lainnya terjebak di dalam Gua Tham Luang, Provinsi Chiang Rai, Thailand utara, sejak 23 Juni 2018. Mereka terperangkap setelah hujan deras membuat gua itu dibanjiri air.
Kepala tim evakuasi, Narongsak Osotthanakorn, menyatakan proses penyelamatan pada hari Minggu kemarin memberi hasil di luar dugaan. Para remaja yang dievakuasi dipilih berdasar kondisi kesehatan mereka, demikian dilansir Channel News Asia.
Remaja pertama berhasil dievakuasi pada sekitar pukul 17.40, Minggu sore, waktu Thailand. Sekitar 10 menit kemudian, remaja kedua berhasil dievakuasi keluar dari gua. Sedangkan remaja ketiga dan keempat dibawa keluar dari gua pada pukul 19.40 dan 19.50, Minggu malam. Usai dievakuasi, mereka segera diangkut dengan helikopter menuju Rumah Sakit Chiang Rai Prachanukroh.
“Misi kami hari ini berhasil melebihi harapan semula,” kata Narongsak, yang kini menjabat Gubernur Provinsi Phayao, dalam konferensi pers usai misi penyelamatan.
Akan tetapi, pada Minggu malam, operasi penyelamatan terpaksa dihentikan sementara lantaran persediaan oksigen bagi para tim penyelamat di dalam gua telah merosot. Upaya evakuasi sembilan orang lainnya juga terganggu oleh hujan yang mulai turun pada sekitar pukul 22.46, waktu Thailand.
Narongsak menyatakan setidaknya perlu waktu sekitar 10 jam lagi (atau lebih) untuk mempersiapkan operasi evakuasi selanjutnya. Ia mengklaim kondisi remaja dan pelatihnya, baik secara psikis maupun fisik, masih kuat dan siap menyelam keluar gua bersama tim penyelamat, meski baru akan dievakuasi pada Senin (9/7).
Sehari berikutnya, upaya evakuasi kembali dilanjutkan. Kali ini, empat anak berhasil dikeluarkan dari dalam gua pada pukul 11 siang (waktu Thailand). Total, sampai sekarang, sudah delapan anak yang sukses diselamatkan. Lima orang masih tinggal di gua.
Media Thailand, Bangkok Post, melaporkan bahwa posisi anak-anak beserta pelatihnya sudah diidentifikasi oleh tim evakuasi. Titik posisi mereka sekitar 500 meter dari areal di dalam gua yang dikenal dengan sebutan Pantai Pattaya.
Narongsak sebelumnya memang telah memperkirakan bahwa operasi penyelamatan itu akan membutuhkan waktu 2-4 hari. Dia optimistis, semua anak dan pelatihnya bisa dievakuasi keluar dari gua dengan selamat.
Aslinya Sukarelawan
Operasi penyelamatan Tham Luang melibatkan tim besar yang terdiri atas 90 penyelam profesional dari lintas-negara. Menurut Narongsak, sekitar 50 penyelam asing terlibat dalam misi penyelamatan itu. Sementara 40 penyelam lainnya berasal dari Thailand. Operasi penyelamatan ini juga melibatkan 13 ahli selam gua internasional dan lima pasukan elit Angkatan Laut Thailand.
Di antara komposisi tersebut, muncul beberapa nama yang kiprahnya menarik perhatian publik selama misi penyelamatan berlangsung. Mereka adalah dua warga Inggris bernama Rick Stanton (56) dan John Volanthen (47)—pihak yang pertama kali menemukan lokasi di mana rombongan SSB terjebak di dalam gua pada 2 Juli silam.
Kedatangan mereka di Thailand bermula kala otoritas negara tersebut menghubungi British Cave Rescue Council (BCRC) sehubungan dengan permintaan bantuan untuk menyelamatkan 13 orang di Tham Luang. Alasan Thailand meminta pertolongan ke Inggris cukup sederhana: mereka butuh peralatan dan SDM yang mumpuni dalam mengatasi situasi sedemikian rupa. Mendengar proposal mendadak itu, BCRC pun segera mengiyakan. Maka, ditunjuklah tiga orang yaitu Stanton, Volanthen, dan satu personel lagi yang beridentitas Robert Harper.
“Mereka bisa bekerja secara efektif. Mereka benar-benar seperti ‘A-Team,’” kata Bill Whitehouse, Wakil Ketua Dewan BCRC seperti dilansir The Washington Post. “Mereka punya keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan. Tentu saja salah satu hal pertama yang harus mereka lakukan adalah membuat pedoman penyelamatan sehingga nantinya bisa diikuti personel lainnya.”
Namun, yang menarik ialah dua dari tiga nama yang ditugaskan BCRC—Stanton dan Volanthen—sebetulnya hanya berstatus sukarelawan di BCRC. Mereka tidak mengecap pendidikan menyelam gua secara formal. Mereka tidak berlatih di markas Angkatan Laut. Mereka menjadi penyelam gua atas dasar rasa suka.
Stanton, misalnya, sehari-hari bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran. Debutnya dalam selam-gua terjadi ketika umurnya masih 17 tahun. Gairah Stanton untuk menyelam kian membuncah saat ia menyaksikan acara televisi berjudul Underground Eiger yang berisikan kisah petualangan alam. Setelah menonton acara tersebut, ia tersadar bahwa “gua-gua itu adalah tempatku.”
“Aku hanya tertarik dengan gua, jalan berliku di dalamnya dan ujungnya,” kata Stanton. “Aku pikir itulah yang memotivasiku.”
Sama seperti Stanton, rutinitas Volanthen juga jauh dari urusan menyelam. Ia bekerja sebagai konsultan teknologi dan informasi di Bristol. Perkenalannya dengan dunia menyelam terjadi ketika ia bergabung dengan klub selam di universitas. Semenjak saat itu, ia dibuat jatuh cinta. Menurutnya, menyelam gua merupakan kegiatan yang “memunculkan adrenalin dalam wujud apapun.”
Bukti Konco Kenthel
Thailand bukanlah misi perdana bagi Stanton dan Volanthen. Delapan tahun silam, mereka terlibat dalam upaya penyelamatan penyelam asal Perancis, Eric Establie, yang terjebak di gua bawah tanah Ardeche, selatan Perancis. Setelah delapan hari hilang, Establie akhirnya berhasil ditemukan oleh keduanya.
“Mereka penyelam, sama seperti aku. Jadi, aku begitu yakin bahwa mereka akan menyelamatkanku,” terang Establie perihal kesuksesan Stanton dan Volanthen.
Atas kontribusi tersebut, keduanya diberi medali perunggu Royal Humane Society dari Kerajaan Inggris. Semenjak itu, reputasi mereka moncer. Sebagaimana dicatat Guardian, setahun kemudian mereka sukses memecahkan rekor dunia dengan menyelami gua terpanjang di Pozo Agul, Spanyol.
Walaupun begitu, tak semua misi yang ditujukan pada keduanya diterima begitu saja. Mereka berusaha tak terlampau nekat dalam urusan penyelamatan. Pada Februari 2014, contohnya, mereka diminta kepolisian Norwegia untuk membantu mengangkat jenazah dua caver yang berada di kedalaman 100 meter di bawah tanah dalam jaringan gua yang dikenal sebagai Steinugleflaget. Namun, keduanya tidak menyanggupi misi itu. Alasannya, medan terlalu berbahaya dan berpotensi besar membahayakan regu penyelamat. Misi pun dibatalkan.
Dengan segala pencapaian yang ada, tak heran apabila banyak pihak yang meyakini keduanya mampu menyelamatkan 13 orang yang terjebak di Tham Luang. Andy Eavis, mantan pimpinan British Caving Association, menyebut keduanya “penyelam gua terbaik di dunia sejauh ini.” Musuh mereka di Thailand bukanlah kemampuan yang minim, melainkan “aliran air yang kompleks.” Akan tetapi, perkara itu, jelas Eavis, bakal diatasi dengan baik oleh Stanton-Volanthen.
Senada dengan Eavis, Neil Bennett, penyelam profesional dari NZ Diving mengatakan dipilihnya Stanton-Volanthen ke Thailand didasari pertimbangan bahwa keduanya, selain punya keterampilan teknis di atas rata-rata, juga memiliki pemahaman dan koordinasi yang kuat, mengingat sudah lama saling kenal satu sama lain.
“Dalam situasi di Thailand yang medannya cukup ekstrem dan bermasalah, Anda harus bekerja dengan rekan yang Anda kenal baik dan punya kemampuan setara dengan Anda. Anda tidak bisa turun ke sana sendirian. Itu sama saja bunuh diri. Anda harus bekerja sebagai tim,” paparnya.
“Baik Volanthen maupun Stanton adalah penyelam yang sangat cakap yang telah menetapkan pencapaian dalam sejumlah sistem gua besar di sekitar Eropa. Kehadiran dan pengalaman mereka sangat cocok untuk situasi yang dihadapi dalam sistem gua Thailand.”
Pada akhirnya, yang terpenting bagi keduanya adalah menyelamatkan rombongan yang terjebak di Tham Luang. Tugas masih jauh dari selesai. Masih ada lima orang lagi yang menunggu tuah dari pengalaman Stanton-Volanthen menjelajahi dunia bawah tanah.
"Sebagai perwakilan dari ketigabelas keluarga, saya tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjelaskan perasaan kami dan betapa senang serta bersyukurnya kami," kata Salisa Promjak, bibi dari Prajak Sutham, salah satu anak yang berhasil dikeluarkan, kepada CNN. “Hanya kata-kata ‘terima kasih’ rasanya tidak cukup untuk menjelaskan semua perasaan yang kami miliki untuk para penyelam.”
Editor: Windu Jusuf