tirto.id - Ibu Siami geram setelah mendengar keterangan anaknya bahwa ia dipaksa memberikan contekan saat ujian nasional berlangsung. Kepada pihak sekolah, ia melaporkan seorang guru yang diduga menjadi otak di balik kejadian tersebut. Tak dinyana, pelaporan ini mengundang kemarahan warga. Mereka meminta Ibu Siami dan keluarga pindah dari kampung itu.
Peristiwa yang menimpa Ibu Siami diliput oleh salah satu media daring. Di berita yang diunggah ke situs media tersebut, identitas Ibu Siami dan anaknya banyak dicantumkan. Keterangan seperti apa pekerjaan Ibu Siami, di mana ia dan si anak tinggal, dan nama sekolah anak Ibu Siami tertera dan menjadi konsumi pembaca. Identitas itu tidak hanya muncul di satu tapi juga di sejumlah artikel berita lainnya.
Identitas anak yang terlibat masalah hukum juga muncul di tayangan berita salah satu stasiun televisi swasta nasional. Wartawan televisi tersebut mewartakan kasus seorang siswi MTs di Jawa Barat yang diduga diperkosa oleh kepala sekolah tempat ia menimba ilmu.
Dalam tayangan berita, wajah korban dan keluarganya telah dikaburkan. Ketika diwawancarai, nama korban dan kakaknya pun tampil sebagai inisial. Namun, fakta bahwa korban menyebutkan namanya sendiri ketika mengisahkan ancaman yang diterimanya justru tak disamarkan. Selain itu, berita yang sama juga menampilkan sorotan gambar laporan ke polisi yang memuat sejumlah identitas.
Kedua berita di atas ditampilkan Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam presentasi yang disampaikan di Dewan Pers pada Kamis, (12/04/18). Selain dua berita itu, ia mencontohkan sejumlah berita lainnya yang dinilai KPAI melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Retno mengatakan bahwa pasal 19 ayat 1 undang-undang tentang SPPA mengandung ketentuan bahwa identitas anak sebagai pelaku, korban, serta saksi wajib dirahasiakan dalam berita media cetak dan elektronik. Dalam ayat 2, identitas anak yang dimaksud diperjelas menjadi nama anak pelaku, korban serta saksi, nama orang tua, alamat rumah, wajah, dan hal-hal lainnya yang mengungkapkan jati diri anak pelaku, korban, maupun saksi. Pelanggar UU ini bisa dipenjara paling lama 5 tahun dan didenda maksimal Rp500 juta.
Retno menilai berita yang tidak sesuai aturan memberikan dampak pada anak baik sebagai pelaku, saksi, atau korban. Bagi anak pelaku, ia menerima stigma negatif yang disandang seumur hidup sebab berita tentangnya dapat diakses oleh siapapun di media daring dan Youtube. Karena identitasnya sudah dikenali, pelaku anak pun berpotensi ditolak oleh lingkungan tempat tinggal dan sekolah, sulit mengembangkan diri, apalagi mendapatkan pekerjaan.
Sementara itu, anak korban beserta keluarga merasa tertekan dan malu. Mereka juga berpotensi mendapat ancaman dan intimidasi dari pihak pelaku yang bisa membahayakan keselamatan.
“Beberapa kasus pelecehan seksual bahkan korban terusir dari kampungnya karena masyarakat menganggap pelaku adalah orang yang dihormati,” kata Retno.
Anak saksi yang identitasnya dibuka dalam berita turut berpotensi mendapatkan ancaman dan intimidasi dari pihak pelaku. Ada pula yang memutuskan tidak mau bersaksi. Dalam beberapa kasus, keluarga anak korban memutuskan mencabut laporan dan memilih 'berdamai'.
Leo Batubara, Anggota Pokja Pengaduan dan Etika Pers Dewan Pers, mengatakan berita-berita tentang anak yang disampaikan Retno melanggar dua pasal dalam Kode Etik Jurnalistik, yakni pasal 4 dan 5. Pada pasal 4 Kode Etik Jurnalistik dijelaskan bahwa wartawan Indonesia tidak boleh membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Sementara itu, pasal 5 menjelaskan bahwa wartawan Indonesia dilarang keras menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila maupun menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Dalam hal ini, identitas yang dimaksud adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Sementara itu, seseorang masuk dalam kategori anak jika ia berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
“Kalau Dewan Pers melakukan sosialisasi di 34 provinsi, masyarakat banyak mengadukan media melanggar pasal 5 Kode Etik Jurnalistik. Kemudian tapi hanya terproyeksi hanya mengeluhkan dalam lisan,” kata Leo.
Kasus Hukum Anak dalam Berita
Sejumlah aturan telah dibuat agar produk jurnalistik melindungi anak yang terlibat masalah hukum. Yadi Hendriana, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, mengatakan jurnalis televisi berpegang teguh pada empat pedoman. Empat peraturan tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
Dibandingkan Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) memuat ketentuan detail soal peliputan anak. “Pertama, pers dilarang menayangkan wajah, identitas, dan keluarga korban. Kedua, [jangan melakukan] tayangan rekonstruksi baik oleh polisi maupun secara grafis, ini berbahaya,” katanya.
Selain itu, aturan lainnya yang tercantum adalah hindari melakukan wawancara anak (baik korban maupun teman serta keluarga), kekerasan verbal saat menyunting wawancara, siaran langsung dalam kondisi tidak terkontrol, dan penggunaan materi tayang CCTV secara detail. Saat mengumpulkan informasi, jurnalis juga diminta agar tidak mewawancarai tersangka dan polisi yang menerangkan modus terlalu rinci.
Menurut Eko Bambang dan Luviana dalam Jurnalisme Peduli Anak: Panduan bagi Jurnalis Meliput Isu Anak (2007), wartawan perlu memahami prinsip-prinsip dasar sebelum membuat liputan anak selain menguasai kode etik jurnalistik dan pedoman siaran. Hal ini dikarenakan jurnalis bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, mulai dari tahapan membangun cerita, mengungkap sebuah latar belakang, dan bagaimana melakukan pendekatan yang lebih etis terhadap narasumber sehingga tidak meninggalkan dampak yang merugikan.
Beberapa prinsip dasar dalam meliput anak sudah dikeluarkan oleh berbagai lembaga, salah satunya International Federation of Journalist (IFJ). Organisasi jurnalis internasional tersebut memberi panduan umum bagi jurnalis saat meliput isu anak. Pertama, wartawan harus berusaha mempelajari standar akurasi berita dan belajar soal sensitivitas isu soal anak. Kedua, jurnalis mesti menghindari eksploitasi dan sensualisme serta program yang mengganggu dan merusak anak. Ketiga, wartawan diharapkan konsisten untuk tetap menuliskan informasi hak-hak anak di media.
Keempat, jurnalis harus menghindari visualisasi gambar yang mengidentifikasi anak secara berlebihan dan gambar seksual anak di media. Kelima, wartawan diharapkan memberikan kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi keinginan atau opini mereka untuk mengekspresikan keinginan lewat media. Keenam, jurnalis tidak boleh mengekspos anak secara berlebihan. Terakhir, wartawan didorong mengajak organisasi yang memiliki perhatian pada persoalan anak untuk bekerjasama dalam memberikan informasi tentang hak-hak anak.
Menurut Eko Bambang dan Luviana, prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang sebagian besar tertuang dalam kode etik jurnalistik cukup memenuhi peran sebagai pedoman dalam melakukan peliputan. Tapi, prinsip-prinsip tersebut tidak memadai untuk peliputan yang lebih spesifik termasuk tentang anak.
Mereka mengatakan bahwa ketika jurnalis meliput isu anak maka ia perlu memiliki perspektif terkait persoalan anak. Sudut pandang ini dianggap penting sebab anak belum mampu mengenali permasalahan seperti orang dewasa. Anak dianggap belum sanggup membuat keputusan untuk diri sendiri sehingga kesalahan yang terjadi tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya seorang. Di sisi lain, anak merupakan generasi yang akan hidup di masa depan. Oleh karena itu, persoalan yang menimpa anak, termasuk berita yang melanggar kode etik dan aturan lain, sudah sepatutnya menjadi perhatian wartawan.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf