tirto.id - Diraba, dicium, dan diserang. Itulah yang dialami tiga jurnalis olahraga perempuan asal Brazil. Video rilisan AJ+ baru-baru ini memberitakan maraknya pelecehan terhadap jurnalis perempuan yang meliput acara-acara olahraga.
Muak dengan kondisi tersebut, sejumlah jurnalis perempuan Brazil merilis pernyataan bahwa sudah semestinya mereka bekerja dengan tenang dan aman di bidang olahraga, sebuah topik yang mereka geluti sehari-hari. Sebagaimana diberitakan Intercept, sebanyak 50 jurnalis perempuan Brazil menggalang dukungan melawan pelecehan dan diskriminasi gender di stadion, jalan, dan ruang redaksi lewat kampanye dengan tagar #DeixaElaTrabalhar atau "Biarkan Dia Bekerja".
Video kampanye tersebut pertama kali diunggah di media sosial Facebook dan Twitter pada Minggu (25/3/2018). Laporan BBC menyebutkan video kampanye itu juga diputar saat pertandingan sepakbola di Stadion Maracana yang berkapasitas 79.000 penonton di Rio de Janeiro di hari yang sama. Pada Kamis (5/4/2018), video tersebut ditonton 964.000 kali di Facebook dan 828.000 kali di Twitter.
Menurut Intercept, kampanye #DeixaElaTrabalhar ditayangkan di setiap saluran televisi nasional di Brazil dan turut disiarkan saluran TV kabel olahraga seperti SporTv, ESPN, Fox, dan Esporte Interativo. Sejumlah selebriti pun mendukung gerakan ini dengan membagikan video kampanye #DeixaElaTrabalhar.
“Kami tahu kami harus berseru lebih keras,” ujar Bibiana Bolson, salah satu juru kampanye kepada Guardian. Ia menuturkan bahwa pelecehan seksual terjadi pada semua jurnalis—baik yang bekerja di televisi, radio, maupun media cetak. “Ini kisah yang sama dalam pakaian yang berbeda,” tegas Bolson.
Dari Ludah hingga Layangan Ciuman
Awal bulan Maret, salah satu tim sepakbola tertua Rio de Janeiro, Vasco da Gama bersiap-siap melawan Universidad de Chile untuk pertandingan di Copa Libertadore, kejuaraan tahunan Amerika Selatan. Interceptmelaporkan, Bruna Dealtry, wartawan Esporte Interativo, meliput keriuhan penggemar Vasco da Gama di luar stadion. Perempuan berumur 31 tahun itu berbicara di depan kamera televisi sambil mengarungi kerumunan suporter. Saat ia sedang berjalan, seorang penggemar Vasco mencium Dealtry tanpa seizin sang jurnalis.
“Pertama kalinya hal seperti itu terjadi pada saya,” kata Dealtry. Sehabis kejadian itu, ia tetap bekerja dan siaran terus berlangsung. Tapi peristiwa tersebut membuat Dealtry dan rekan-rekan kerjanya sesama perempuan merasa jijik.
Bibiana Bolson, jurnalis ESPN, juga pernah mengalami hal serupa. “Pada saat Euro Cup, ketika kami menyalakan kamera, mereka mulai mencium, memegang, dan memeluk tubuh kami. Ini pengalaman yang brengsek,” tuturnya pada BBC.
Bolson mengaku pernah disoraki tak paham sepakbola dan olahraga hanya karena ia perempuan. Perlakuan itu ia terima ketika meliput sebuah pertandingan olahraga di Brazil. “Laki-laki itu meludah ke arah saya,” kata Bolson.
Sebelum #DeixaElaTrabalhar, sekelompok jurnalis membuat kampanye #JournalistsAgainstHarassment atau #JornalistasContraoAssédio. Gerakan ini bertujuan menghentikan pelecehan di dunia jurnalistik secara umum. Sebagaimana dikabarkan Intercept, kampanye ini berangkat dari peristiwa pemecatan Giulia Pereira, pemagang situs berita nasional iG, beserta editor perempuannya. Mereka dipecat sebab Pereira berbicara soal Biel, bintang muda pop yang berkali-kali melecehkannya ketika wawancara.
Inisiator kampanye #JournalistsAgainstHarassment, Janaina Garcia, mengeluh kesulitan meyakinkan rekan kerja dan atasan untuk mendukung gerakan itu. “Mereka bilang gerakan itu ‘terlalu proteksionis’, karena kasusnya melibatkan jurnalis,” kata jurnalis portal berita UOL itu. “Lalu apa masalahnya?”
Hukum Brazil sebenarnya telah melarang perbuatan pelecehan seksual sejak tahun 2001. Koalisi LSM World Organisation Against Torture (OMCT) menjelaskan bahwa pihak yang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan seksual dari orang lain akan dikenai hukuman dua tahun penjara. Tapi menurut Bloomberg, aturan ini hanya mengatur interaksi antara atasan dan bawahan. Nyatanya, 4 dari 10 perempuan di Brazil mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, jalan, bis, dan sekolah berdasarkan survei Datafolha.
Jurnalis Perempuan Tak Aman
Tidak hanya di Brazil, riset menunjukkan pelecehan terhadap jurnalis perempuan juga terjadi di negara lain. International Womens Media Foundation (IWMF) dan International News Safety Institute (INSI) mengadakan survei (PDF) tentang pelecehan dan kekerasan terhadap pekerja media perempuan tahun 2013 sampai 2014. Sebanyak 1.078 responden, 977 orang di antaranya mengidentifikasi diri sebagai perempuan, turut serta dalam penelitian ini.
IWMF dan INSI menyebutkan 47,9% atau 327 orang dari 683 responden jurnalis mengaku pernah mengalami pelecehan seksual saat bekerja. Dari 999 kasus yang dilaporkan, 20,2% (202 kasus) berkaitan dengan “komentar yang tak diinginkan atas penampilan dan pakaian, 18,6% (186 kasus) berhubungan dengan pernyataan atau suara yang tidak senonoh, 16,9% (169 kasus) berkaitan dengan candaan yang bersifat seksual, 15,5% (155 kasus) berhubungan dengan pelanggaran batas jarak pribadi, dan 14,7% (147 kasus) berhubungan dengan kontak fisik yang tidak diinginkan.
Laporan tersebut menjelaskan bahwa pelecehan seksual banyak terjadi di kantor (42,2% atau 181 dari 429 kasus di mana lokasi disebutkan) dan di lapangan (32,4% atau 139 dari 429 kasus). Dari 512 kasus, pelaku kekerasan seksual sebagian besar dilakukan oleh rekan kerja, bos, dan supervisor (55,3%) dan narasumber (16,4%). Dilihat dari jenis kelamin, mayoritas pelaku adalah laki-laki 93,8% (270 dari 288 kasus). Kurang dari seperlima responden (16,9% atau 117 dari 693 orang) mengaku melaporkan insiden pelecehan seksual yang mereka alami.
International Federation of Journalist (IFJ) pernah mengadakan riset tentang pelecehan seksual terhadap jurnalis pada 2017. Sebanyak 400 jurnalis perempuan di 50 negara turut serta dalam penelitian ini.
Hasilnya, 48% jurnalis mengalami kekerasan gender di tempat kerja. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan verbal (63%), kekerasan psikologis (41%), pelecehan seksual (37%), kekerasan ekonomi (21%), dan kekerasan fisik (11%.) Pelaku kekerasan terdiri dari orang dalam dan luar tempat kerja. Sebanyak 45% pelaku kekerasan berasal dari luar tempat kerja yang terdiri dari politisi, pembaca dan pendengar, dan 38% adalah orang dalam seperti bos dan supervisor.
Dari kasus kekerasan yang terjadi, sepertiga atau 66,15% responden tidak melapor secara secara formal. Sementara itu, jurnalis perempuan yang melaporkan kasusnya sebagian besar kecewa karena tindakan lanjut untuk menghukum pelaku ternyata tak setimpal. IFJ juga menekankan minimnya kebijakan perusahaan untuk mengurangi kekerasan dan pelecehan seksual (26%).
Kondisi jurnalis perempuan Indonesia saat bekerja, menurut Endah Lismartini, dinilai masih aman dan kondusif. Tapi Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tersebut menekankan bahwa bukan berarti kasus pelecehan seksual yang menimpa wartawan perempuan tidak terjadi.
Endah menjelaskan belum ada kasus terkait pelecehan seksual yang dilaporkan ke AJI tahun ini. Laporan terakhir masuk tahun 2017. Endah enggan memaparkan lebih lanjut sebab korban meminta untuk tidak dipublikasikan. Sementara itu, ada dua kasus yang cukup ramai dibicarakan tahun 2016, terjadi di Medan dan Ngawi. Pelakunya adalah narasumber (Medan) dan atasan (Ngawi).
"AJI mendorong perusahaan media membuat ruang kerja yang nyaman untuk jurnalis perempuan," ujar Endah ketika dihubungi Tirto. Misalnya, ketika wartawan perempuan harus pulang kerja malam hari, perusahaan menyediakan fasilitas antar-jemput. “Ruang redaksi yang terbuka supaya tidak ada sekat dan terang juga diperlukan. Kalaupun ruangan tertutup, biasanya ada kaca transparan,” ujarnya. Hal-hal terkait ruangan ini perlu diperhatikan karena pelaku kekerasan seksual biasanya adalah atasan tempat jurnalis perempuan bekerja.
Selain pelecehan seksual, diskriminasi terhadap wartawan perempuan juga terjadi. “Diskriminasi secara halus itu terjadi. Misalnya, ada seorang jurnalis perempuan yang bilang kalau mau wawancara narasumber biasanya ganti foto profil yang lebih cantik. Dan ternyata itu biasanya lebih efektif,” katanya. “Beberapa perusahaan juga kalau misalnya liputannya berat, bisa enggak kirim laki-lakinya aja,” aku Endah.
Jika ada permintaan semacam itu, tanggapan media pun berbeda-beda. Endah menuturkan jika si atasan paham perspektif gender maka ia akan melakukan negosiasi. Sebaliknya, media akan menuruti permintaan narasumber jika atasan kurang mengerti soal kesetaraan gender.
“Jika mau melapor, bisa ke AJI, menemui ke bidang gender. Di AJI Jakarta bisa, langsung ke AJI Indonesia juga bisa,” pungkasnya.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf