tirto.id - Suatu Sabtu malam, saya berjalan kaki dari halte Transjakarta Gatot Subroto LIPI menuju Apartemen Tamansari Semanggi, tempat tinggal seorang kawan. Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam, namun situasi jalan berjarak sekitar 400 meter yang saya lintasi cukup lengang saat itu. Seperti biasa jika hendak bepergian atau bertandang ke rumah kawan, saya mengenakan kaus, celana jeans, dan jaket, tanpa pulasan kosmetik di wajah.
Baru beberapa langkah dari ujung tangga jembatan penyeberangan yang saya lewati, dua orang laki-laki berpapasan dengan saya. Satu di antaranya berkata kepada saya, “Neng, sendirian aja?”
Sekitar seratus meter berikutnya, ada satu laki-laki duduk di atas motor, persis di sisi kios di tepi jalan. “Mbak, mau dianterin nggak?” begitu celetuknya kepada saya.
Jangankan menyahuti, meliriknya pun saya enggan. Saya lurus melangkah ke depan, lagi-lagi bergeming menanggapi ucapan laki-laki asing kedua.
Kondisi yang membuat risi sialnya saya alami beberapa meter sebelum masuk pelataran apartemen. Yang terakhir ini tanpa verbal, hanya bunyi siulan dari bibirnya. Saya berdecak kesal seraya memelototinya sebelum akhirnya laki-laki tersebut memalingkan muka.
Pengalaman tidak mengenakkan ini tentu saja bukan cuma saya yang pernah merasakannya. Catcalling, demikian istilah yang sering dipakai untuk merujuk pada tindakan verbal atau siulan yang bermaksud menggoda atau melecehkan perempuan.
Baca juga:Dedi Mulyadi, Catcalling, dan Ragam Pelecehan Perempuan
Selain hal-hal serupa yang saya ceritakan tadi, ada pula tindakan lain yang termasuk pelecehan verbal kepada perempuan. Dalam Panduan Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Umum dan Kendaraan Umum (2014), dikatakan bahwa julukan merendahkan seperti “si Bohay” atau “Tante Montok” juga digolongkan sikap melecehkan perempuan.
Komentar berkonotasi seks atau cerita pengalaman seksual yang diutarakan tanpa diminta menjadi contoh-contoh lain pelecehan verbal terhadap perempuan.
Baca juga:Kekerasan Dianggap Kewajaran, Korban Kerap Disalahkan
Di AS, berdasarkan catatan yang dirilis di situs Stop Street Harassment, 65 persen perempuan dinyatakan pernah mengalami pelecehan di jalan alias street harassment pada tahun 2014. Sementara, hasil studi peneliti dari kelompok anti-pelecehan, iHollaback, dan Cornell University pada tahun yang sama menunjukkan, 84 persen perempuan dari 42 negara pernah mengalami pelecehan di jalan sebelum menginjak 17 tahun. Bentuk pelecehan yang paling sering mereka terima ialah catcalling.
Bagaimana dengan situasi dalam negeri? Survei dari YouGov menempatkan Jakarta sebagai kota kelima di dunia dengan tingkat pelecehan verbal terhadap perempuan paling tinggi, khususnya di transportasi umum. Empat kota di atasnya ialah Mexico City, Delhi, Bogota, dan Lima.
Hal-hal tidak menyenangkan seperti ini jamak dialami perempuan, tetapi tidak semuanya sadar bahwa yang mereka terima merupakan pelecehan seksual. Melapor kepada yang berwajib pun jadi sulit lantaran di Indonesia, belum ada regulasi yang spesifik mengatur mengenai catcalling atau street harassment. Ditambah lagi sulitnya menggandeng saksi saat kejadian, kasus pelecehan verbal yang dialami perempuan pun jarang berekor sanksi untuk si pelaku.
Cara Tak Biasa
Aneka reaksi dapat ditunjukkan perempuan yang mengalami catcalling atau street harassment. Diam dan memelototi pelaku—seperti yang saya lakukan—, berteriak, atau mengomeli pelaku kerap menjadi opsi yang diambil perempuan ketika kejadian tak menyenangkan itu menimpanya.
Namun, cara yang dilakukan Noa Jansma, pelajar dari Amsterdam, dalam mengantisipasi catcalling bisa dibilang tidak biasa. Lewat akun @dearcatcallers yang dibuatnya di Instagram, Jansma mencoba melakukan proyek bermuatan kampanye anti-catcalling. Selama sebulan, ia mendokumentasikan gambar-gambar pelaku catcalling bersama dirinya.
“#dearcatcallers ... after following me for straight 10 minutes "sexy girl Where you goin'?? Can I come with you?" demikian caption yang disertakan Jansma dalam fotonya bersama seorang laki-laki catcaller berkulit hitam.
Kampanye Jansma ini pun menarik perhatian media dan khalayak luas. Kini, akunnya yang baru berisi 29 foto tersebut telah diikuti oleh 264 ribu orang.
Masih dari jagat Instagram, akun @byefelipe hadir untuk menyuarakan kampanye serupa. Bedanya, akun ini menyoroti pelecehan verbal yang terjadi di dunia kencan online. Tidak hanya petikan ucapan merendahkan saja yang dicantumkan di berbagai post dalam akun @byefelipe. Sejumlah balasan menohok kepada pelaku yang bisa ditiru para followers ketika mengalami pelecehan sejenis pun ditampilkan dalam akun tersebut.
Baca juga:Pelecehan Verbal dan Visual, Sisi Remang Dunia Kencan Online
Upaya mengatasi pelecehan seksual juga dapat dilakukan dengan melibatkan teknologi. Di Pakistan, aplikasi anti-pelecehan, women’s safety app, diluncurkan awal Januari tahun ini seiring dengan tingginya angka kejahatan terhadap perempuan. Melalui aplikasi ini, polisi dapat melacak lokasi pelapor dengan mudah berkat bantuan GPS.
Baca juga:Mencegah Pelecehan terhadap Perempuan lewat Teknologi
Contoh lain cara mengampanyekan sikap antikekerasan dan pelecehan terhadap perempuan bisa dilihat pula dari aksi komedian perempuan, Adrienne Truscott, pada 2016 lalu. Bagi sebagian orang yang melek isu gender, candaan perkosaan dianggap tak layak ditampilkan di depan umum. Namun, Truscott justru dengan berani mengangkat tema itu dalam pertunjukannya yang berjudul Asking for It.
Tidak hanya sampai di situ aksi berani yang dilakoni Truscott. Dalam pertunjukannya, ia hanya mengenakan sepatu hak tinggi, jaket denim, dan bra pink di atas panggung. Truscott melontarkan monolog satir yang menyerang logika orang-orang patriarkis tentang perkosaan.
Pandangan umum yang berlaku, perkosaan terjadi lantaran perempuan mengenakan pakaian yang mengundang hawa nafsu. Truscott memilih tak memakai celana dalam aksi panggungnya untuk menunjukkan bahwa bukan korban atau perempuanlah yang patut disalahkan atas perkosaan yang menimpanya, melainkan pikiran jahat si pelaku.
Temuan studi dari Mesir misalnya, mengafirmasi cara pandang seperti Truscott ini. Di sana, perempuan-perempuan yang memakai kerudung dan pakaian tertutup pun menjadi sasaran pelecehan seksual laki-laki.
Ketika Menghadapi Pelecehan di Jalan
Saat seseorang menjadi korban atau saksi pelecehan yang terjadi di jalan, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk menghadapinya. Jika tak berani menghadapi pelaku secara langsung, korban bisa meminta bantuan atau melaporkan insiden yang menimpanya ke orang yang ada di dekatnya.
Bila kita tidak mengalami langsung pelecehan di jalan, tetapi menyaksikannya, hal yang bisa kita lakukan ialah menatap atau memarahi pelaku. Perhatian kepada korban juga tidak kalah pentingnya. Pelecehan yang diterima korban, baik verbal, visual, maupun fisik, akan meninggalkan perasaan tidak nyaman, bahkan dapat membuat takut atau trauma.
Memberikannya minum, menenangkannya, atau membawanya ke tempat lebih aman merupakan tindakan-tindakan yang berguna untuk meredakan ketakutannya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani