Menuju konten utama

Kekerasan Dianggap Kewajaran, Korban Kerap Disalahkan

Ada lebih dari 300 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2015. Angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi karena kerap dianggap sebagai hal yang wajar.

Kekerasan Dianggap Kewajaran, Korban Kerap Disalahkan
Seorang pengunjuk rasa yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan aksi damai di perempatan Kantor Pos Besar, Yogyakarta, Jumat (8/3). FOTO/ANTARA/Noveradika.

tirto.id - Pelecehan seksual terhadap perempuan, pemerkosaan, penganiayaan, dan tindak kekerasan lainnya kepada perempuan menjadi salah satu isu yang selalu muncul di masyarakat. Ini cukup ironis karena terjadi di tengah masyarakat yang katanya modern yang tumbuh di atas prinsip demokrasi, rasionalitas dan humanisme.

Kekerasan memang dapat menimpa siapa saja. Baik laki-laki maupun perempuan. Baik anak kecil maupun orang tua. Akan tetapi pada realitasnya, kekerasan lebih banyak menimpa perempuan termasuk anak-anak.

Dalam siaran pers dan Rangkuman Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2016 tentang Kondisi Hak Asasi Perempuan 2016 mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Catatan Tahunan (CATAHU) kekerasan terhadap perempuan (KtP) angka kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2015 mencapai 321.752 kasus atau meningkat 9 persen dari tahun sebelumnya.

Jumlah kasus tersebut dihimpun dari tiga sumber. Kasus dari Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama sejumlah 305.535 dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Sisanya berasal dari Unit Pelayanan dan Rujukan, dan dari divisi pemantauan yang mengelola pengaduan lewat surat dan email.

Dari 321.752 kasus tersebut, 16.217 ditangani oleh lembaga-lembaga pengada layanan berbasis masyarakat maupun pemerintah, dan sisanya berujung pada cerai gugat atau cerai talak di Pengadilan Agama.

Berdasarkan data itu, kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang mencapai 11.207 kasus. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan adalah kekerasan fisik. Persentasenya mencapai 38 persen. Kekerasan seksual menempati urutan kedua dengan 3.325 kasus. Ada juga kekerasan psikis terhadap perempuan. Jumlah kasusnya mencapai 2.607 dan kekerasan ekonomi mencapai 971 kasus yang dialami perempuan.

Kekerasan juga terjadi di ranah komunitas. Menurut Komnas Perempuan, jumlahnya mencapai angka 5.002 kasus. Dalam ranah ini, kekerasan seksual menempati peringkat pertama dengan 3.174 kasus. Ada juga kekerasan fisik yang mencapai 1.117 kasus dan kekerasan lain seperti kekerasan psikis 176 kasus, kekerasan ekonomi 64 kasus, buruh migran 93 kasus, dan perdagangan perempuan 378 kasus.

Infografik Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia

Pada 2016, sejumlah kasus kekerasan seksual banyak menyita perhatian publik mulai dari perkosaan dengan pelaku berkelompok juga perkosaan yang berujung pembunuhan. Misalnya kasus Y (14) seorang siswi kelas II SMP Negeri 5 Rejanglebong. Remaja ini ditemukan tanpa nyawa dengan tulang pinggang patah serta luka di sekujur tubuhnya setelah sebelumnya diperkosa 14 pemuda.

“Ini merupakan tragedi kemanusiaan dan ada yang salah di dalam kehidupan kita sehingga harus diperbaiki,” ujar Wakil Bupati Kabupaten Rejnglebong, Iqbal Bastari saat mengikuti solidaritas sosial terhadap kasus Y oleh mahasiswa STIPER Rejanglebong di Curup, Bengkulu, seperti dilaporkan Antara.

Menurut kacamata Komnas Perempuan, ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan bahkan menjadi pemicu semakin tingginya kekerasan. Komisioner Komnas Perempuan, Riri Khariroh kepada wartawan Tirto mengungkapkan beberapa faktor pendorong tingginya kekerasan pada perempuan.

Misalnya, anggapan di masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan itu sesuatu yang wajar dan dapat diterima. Ini menjadi pemicu tingginya kekerasan kepada perempuan. Bahkan para korban seringkali mendapat stigma sebagai perempuan yang tidak baik atau reviktimisasi.

“Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa kekerasan terhadap perempuan itu bukan masalah serius yang harus diperhatikan karena kuatnya budaya patriarki. Misalnya, pelecehan seksual di tempat umum. Kalau ada perempuan yang mengadukan kasusnya, aparat penegak hukum tidak sensitif terhadap korban, dan masyarakat cenderung menyalahkan korban, entah karena cara berpakaiannya yang dianggap salah atau tingkah lakunya yang dianggap menggoda laki-laki,” papar Riri.

Selain itu, ada juga kebijakan diskriminatif yang ditujukan kepada perempuan. Perempuan dibatasi hak-haknya untuk bergerak. Bahkan, perempuan dikontrol atas tubuh dan seksualitasnya.

Dalam rumah tangga di Indonesia terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang di dalam rumah tangga. Istri harus patuh dan menuruti suami. Karena suami dianggap sebagai pemimpin sehingga seolah-olah ia boleh melakukan kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual.

“Ada juga penafsiran agama yang bias gender, misalnya penafsiran ayat nusyuz, bahwa kalau perempuan membangkang kepada suami maka boleh dipukul,” lanjut Riri.

Hal-hal itu membuat kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai hal yang wajar, ditambah lagi dengan tak tak dijeratnya pelaku kekerasan, juga penegakan hukum yang lemah di Indonesia.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani