Menuju konten utama

Seriuskah Vatikan Menangani Kasus Kekerasan Seksual Para Imamnya?

Selama 70 tahun terakhir, lebih dari 300 pastor di Pennsylvania, Amerika Serikat, melakukan kekerasan seksual. Korbannya ribuan.

Seriuskah Vatikan Menangani Kasus Kekerasan Seksual Para Imamnya?
Pendeta Agung Ronald Gainer, uskup Katolik Roma dari keuskupan Harrisburg, Pennsylvania, membahas pelecehan seksual anak oleh para pendeta pada Rabu, 1 Agustus 2018. Uskup itu meminta maaf kepada para korban dan mengatakan keuskupan itu memposting daftar online 71 imam dan lainnya di gereja yang dituduh melakukan pelecehan. AP Photo / Mark Scolforo

tirto.id - Selama beberapa dekade terakhir, Gereja Katolik terus dilanda kasus kekerasan seksual yang melibatkan sejumlah pemukanya. Namun, 2018 tampaknya akan jadi tahun paling sulit bagi Gereja Katolik.

Di Australia Juli lalu, Uskup Agung Adelaide Philip Wilson mundur dari jabatannya dan didakwa karena menyembunyikan tindak kekerasan seksual terhadap anak di dalam gereja antara 2004 sampai 2006. Sebulan kemudian, muncul lebih dari 35 laporan kasus pelecehan seksual di sebuah institusi Katolik bernama Tarekat Marist Brothers di Chili.

Kini giliran negara bagian Pennsylvania di Amerika Serikat menyetor kasus serupa dengan jumlah pelaku dan korban yang sangat besar.

Dewan juri pengadilan Pennsylvania pada Selasa (14/8) merilis laporan investigasi yang menemukan fakta bahwa lebih dari 300 pastor melakukan pelecehan dan kejahatan seksual yang menyeret lebih seribuan korban anak-anak, baik laki-laki dan perempuan, selama 70 tahun terakhir.

Laporan dewan juri menuturkan kasus-kasus itu secara detail. Seorang pastor, misalnya, memperkosa seorang gadis muda di rumah sakit. Sebelum diperkosa, korban diikat dan dicambuk dengan tali kulit. Seorang pastor lainnya mengaku melakukan hubungan seks oral dan anal dengan setidaknya 15 anak laki-laki—satu di antaranya masih berusia tujuh tahun. Pastor lain dikisahkan mengumpulkan urin, rambut kemaluan dan darah menstruasi dari gadis-gadis yang disiksa di rumahnya.

Ada pula pastor yang menghamili seorang gadis dan mendorongnya untuk melakukan aborsi. Tanpa rasa bersalah, ia masih melayani kegiatan keagamaan di Gereja. Yang lebih menyakitkan, laporan tersebut menuturkan kisah-kisah para uskup yang secara aktif membela para pelaku yang notabene adalah rekan-rekannya sendiri.

Mereka membujuk para korban untuk tidak melapor ke penegak hukum. Laporan setebal 900 halaman itu mencakup enam dari delapan keuskupan Katolik di Pennsylvania; Allentown, Erie, Greensburg, Pittsburgh, Scranton dan Harrisburg. Jika ditotal, keenam-enamnya melayani lebih dari 1,7 juta umat Katolik.

Jumlah korban diperkirakan lebih dari 1.000 mengingat banyak berkas yang hilang atau masih belum diserahkan ke tim dewan juri selaku investigator. Beberapa kasus bahkan tidak dapat diajukan ke meja hijau lantaran peristiwanya sudah lama terjadi serta pelakunya pun sudah tua dan pensiun dari aktivitas pelayanan di gereja. Banyak dari korban bergulat dengan luka batin, melampiaskannya dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang, alkohol, hingga bunuh diri.

Sebanyak 23 anggota dewan juri, termasuk di antaranya penganut Katolik, terlibat dalam investigasi besar ini. Dilansir dari The New York Times, umat Katolik di Pennsylvania bereaksi keras menanggapi dirilisnya laporan tersebut. Puluhan pastor kemudian muncul dan menghadap dewan juri. Sebagian besar mengakui tindakan mereka di masa lalu.

Kardinal Daniel DiNardo, selaku presiden Konferensi Uskup AS, turut menyerukan agar para uskup dan pastor yang mengundurkan diri diselidiki. Dugaannya, mereka terseret dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.

"Ini bencana moral," kata DiNardo. "Ini menjadi malapetaka bagi para banyak imam yang setia, mengejar kekudusan, serta melayani dengan integritas. Mereka ikut tercemar oleh kejadian seperti ini." keluhnya.

Budaya kekerasan seksual di lingkungan institusi Gereja Katolik pertama kali terungkap saat tim Spotlight dari koran Boston Globe merilis 600 cerita korban pada 2002 silam. Sejak itu, Spotlight bagai membuka tirai yang selama ini ditutup rapat-rapat. Berbagai kasus serupa lantas dilaporkan terjadi di berbagai penjuru dunia, dari Austria, Jerman, Belanda, Spanyol, Swiss, Irlandia, Republik Dominika, hingga Brasil.

Vatikan Tak Serius

Bungkamnya para pemuka gereja yang mengetahui praktik kekerasan seksual secara luas di lingkungannya justru jadi penyebab mengapa kasus-kasus ini terus muncul di dalam Gereja Katolik.

Para imam dalam Gereja Katolik Roma hidup dalam selibat, dituntut untuk hidup dalam kemurnian sehingga tidak menikah seumur hidup. Tapi rupanya banyak pula yang tak kuat melajang seumur hidup. Beberapa imam bahkan saling menjaga rahasia bahwa mereka telah melanggar sumpah selibat.

Menurut Des Cahill, salah seorang anggota komisi pelecehan seksual asal Australia, anak yang jadi korban pun takut buka mulut karena khawatir bakal berdosa.

Beberapa pihak menyatakan bahwa penghapusan aturan selibat akan sangat membantu Gereja Katolik Roma memberantas penyalahgunaan otoritas. Wacana penghapusan selibat bahkan sudah jadi topik diskusi selama 20 hingga 30 tahun terakhir.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa penghapusan praktik selibat bukan solusi untuk memberantas kekerasan seksual. Kolumnis Washington Post Elizabeth Bruenig, misalnya, mengatakan bahwa penyalahgunaan wewenang (termasuk yang berujung kekerasan seksual) sudah jadi penyakit di institusi-insitusi besar, tak terkecuali lembaga agama.

Bruenig menyarankan reformasi hukum yang mampu memberi kesempatan luas bagi para korban untuk memperoleh keadilan meski peristiwa yang menimpanya sudah lama lewat. Umat Katolik secara umum pun didesak menuntut otoritas gereja untuk bersedia bekerjasama dengan penegak hukum.

Pada Februari 2018 lalu, setelah terkuaknya skandal di chili, Paus Fransiskus memperbarui keanggotaan sebuah komisi yang mengurusi kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para pemuka agama Katolik. Diwartakan Reuters, Kardinal AS, Sean O'Malley dari Boston didapuk jadi ketua.

Komisi baru itu diisi oleh para akademisi, psikolog, para imam dan biarawati. Ada sepuluh anggota yang bukan berstatus imam atau pemuka agama Katolik; delapan di antaranya perempuan, termasuk tiga biarawati. Mereka berasal dari berbagai negara: Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Ethiopia, India, Italia, Tonga, Jerman, Brasil, Polandia, Afrika Selatan, Filipina, dan Zambia.

Infografik Pelecehan seks di gereja katolik

Komisi ini bertugas menyelenggarakan program penyuluhan untuk melindungi anak di bawah umur dan orang dewasa yang rentan jadi korban kekerasan seksual di lembaga-lembaga Katolik seluruh dunia.

Komisi yang sama sebetulnya telah menjalankan tugas selama satu periode (tiga tahun) yang berakhir pada Desember 2017 lalu. Namun, performa komisi ini masih jauh dari harapan. Malahan, dua anggotanya yang penyintas mengundurkan diri. Alasannya, mereka frustrasi karena minimnya perubahan yang telah dicapai. Para Pejabat Vatikan pun enggan bekerjasama.

Tiga tahun lalu, Vatikan juga pernah mengumumkan pembentukan sebuah pengadilan khusus untuk mengadili para uskup yang dituduh melakukan kekerasan seksual atau yang menutupi kasus-kasus serupa. Namun hingga detik ini, pengadilan tersebut malah tak pernah berdiri.

Institusi-institusi keagamaan telah lama disalahgunakan oleh para predator seksual. Di Cina, seorang bhiksu senior dilaporkan oleh rekan-rekannya karena telah melakukan kekerasan seksual terhadap para bhikuni. Beberapa korbannya mengalami gangguan jiwa dan ingin bunuh diri. Di Lebak, Banten, pelakunya adalah seorang ustaz sekaligus pimpinan sebuah pondok pesantren. Korbannya? Seorang murid berusia 14 tahun yang dipaksa sang ustaz melakukan hubungan seksual. Jika menolak, ia diancam tak naik kelas.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf