tirto.id - Sebuah video yang diunggah di kanal Youtube pada 18 Julis 2015 silam menampilkan Kota Jeddah, Arab Saudi, bertepatan dengan perayaan Idul Fitri. Kontras dengan suasana yang semestinya tenang, apalagi di salah satu kota suci di Tanah Arab, video itu justru memperlihatkan pelecehan seksual yang dilakukan sekelompok pemuda kepada dua perempuan Saudi yang sedang berjalan seperti biasa. Gerombolan pemuda itu terus mengganggu dengan mengelingi, berteriak-teriak, dan sesekali terlihat sengaja membenturkan diri ke kedua korban.
Video lain, yang diposting pada 25 Juli 2015, juga menampilkan fenomena serupa. Seorang perempuan di sebuah ruang publik digodai terus-menerus, sepanjang jalan di wilayah Taif, Mekah, oleh dua pemuda Saudi. Di satu momen, salah seorang pelaku bahkan nekad untuk meraba-raba korban. Korban dari kedua video memiliki kesamaan penampilan. Sebagaimana aturan yang diterapkan perempuan Saudi pada umumnya, mereka memakai gamis longgar, jilbab tertutup, dan ada yang melengkapinya dengan burka.
Cuitan resmi dari Emirate of Mecca atau otoritas keamanan Mekah pada tanggal 26 Juli, atau sehari setelah kejadian asusila dilakukan, menyatakan bahwa pelaku pelecehan seksual di Taif telah ditangkap dan akan dihukum sesuai aturan. Dalam laporan The Huffington Post pada 8 Agustus 2015, investigasi pada kasus di Jeddah sedang berlangsung dan akan ada pemasangan 100 kamera pengawas di tempat kejadian perkara serta di titik-titik lain.
Sejak diposting di Yotube, video pelecehan seksual di Jeddah telah ditonton oleh lebih dari 1,5 juta orang. Komentarnya terdiri dari netizen sedunia yang mengecam keras kejadian tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, Youtube menjadi salah satu kanal yang populer dipakai oleh perempuan Saudi untuk mengebar luaskan pelecehan sosial di publik.
Sebagaimana Noura binti Afeich tulis di Al-Monitor, “mengunggah foto dan video yang merekam aksi (pelecehan seksual) telah sedikit memberi pencerahan pada topik sensitif yang kerajaan (Saudi) harap bisa hindari.”
Noura berkata bahwa baju tertutup yang harus dikenakan perempuan Saudi terbukti tak membantu melindungi diri dari pelecehan seksual. Kerajaan Saudi selalu menekankan bahwa perlindungan itu pertama dan utamanya berasal dari laki-laki si muhrim perempuan yang menemani saat berada di ruang publik. Sejak lama negara kaya minyak itu bangga dengan peraturan untuk memisahkan dunia laki-laki dan perempuan.
Namun, sekali lagi Noura menegaskan dalam tulisannya, itu semua tak bekerja dengan maksimal. Perempuan di Saudi tetap saja diperlakukan tak senonoh di tempat kerja, mall, dan jalanan kota. Sementara itu, saat ada kasus mencuat, pihak keluarga lebih memilih untuk tak melaporkannya ke pihak kepolisian. Alasannya klasik: takut membongkar aib keluarga.
Dengan mengunggah video ke internet, yang bagi Noura cukup mengerikan karena sebagian besar direkam sendiri oleh pelaku, para korban bisa mendapat kelegaan yang lebih. Meski didiskriminasi dan suara serta eksistensi mereka dianggap kelas dua, internet dan media sosial membuka kanal agar dukungan dari dunia internasional bisa diraih. Beberapa kasus memang akhirnya bisa ditangani dengan proporsional berbekal dari video sebagai barang bukti.
Pelecehan Seksual di Saudi
Di tengah iklim yang lebih condong membuat korban malu untuk melapor, data pelecehan seksual di Saudi dalam dua-tiga tahun belakangan memang cukup mengkhawatirkan. Rata-rata ada enam kasus pelecehan seksual yang dilaporkan setiap hari, demikian data statistik yang diterbitkan oleh Kementerian Negara dan Kehakiman Arab Saudi.
Pada 2013 dan 2014, ada total 3,982 kasus pelecehan yang dibawa hingga pengadilan. “Pangsa” terbesar untuk pengalaman traumatik ini terjadi di ibukota Saudi, Riyadh, yakni sebanyak 1.199 kasus. Sementara di Mekah terjadi 494 kasus, di Madinah 275 kasus, dan di wilayah provinsi-provinsi sebelah Timur dilaporkan ada 335 kasus.
Ini adalah kasus yang terungkap ke publik. Diyakini bahwa kasus yang terkubur menjadi rahasia lebih banyak lagi. Sudah menjadi jamak perempuan, tidak hanya di Saudi, bahkan termasuk di negara sekular sekali pun, enggan melaporkan pelecehan atau bahkan kekerasan yang mereka alami kepada pihak berwajib.
Dalam riset Thomson Reuters Foundation yang dirilis pada November 2013, Arab Saudi menempati posisi ketiga sebagai negara Arab terburuk untuk tempat tinggal perempuan. Riset tersebut disusun berdasarkan jawaban dari 336 ahli gender yang berpartisipasi sebagai responden sekaligus penilai. Pertanyaan-pertanyaan yang tersusun dalam riset didasarkan pada CEDAW atau Konvensi untuk Menghilangkan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan PBB yang telah ditandatangani dan diratifikasi oleh 19 negara Arab.
Arab Saudi berada di belakang Mesir yang menempati posisi pertama (negara terburuk) akibat revolusi tahun 2011 lalu menyisakan tragedi pelecehan dan kekerasan seksual massal pada perempuan Mesir yang turun ke jalan. Peringkat kedua ditempati oleh Irak yang dalam catatan Reuters menjadi tempat yang nyaman bagi perempuan sejak invasi militer Amerika Serikat pada tahun 2003. Selain rentan pada kekerasan seksual, perempuan Irak juga menjadi korban perdagangan manusia dan dipaksa melacurkan diri di Suriah, Yordania, hingga Uni Emirat Arab.
Pada 2014 silam Arab News pernah membuat laporan tentang kegelisahan dan ketakutan perempuan di Jeddah sebab kasus pelecehan seksual meningkat. Farah Zaman, seorang narasumber, mengaku pernah ketakutan saat ia sedang menumpang taksi menuju tempat kerja, lalu sebuah mobil Jeep tiba-tiba mengganggu taksi dari arah depan, menghentikan mobil, dan mencoba mengganggunya. Kata Farah, fenomena itu lazim ia temui dengan korban para perempuan yang sedang berjalan kaki di trotoar.
Dalam tulisannnya, lanjut Noura, ia mengutip survei yang menunjukkan bahwa 78 persen responden perempuan Saudi yang berusia 18-48 tahun mengaku pernah mendapat pelecehan seksual secara langsung. 92 persen responden kemudian mengiyakan bahwa pelecehan seksual pada perempuan memang sedang jadi tren di Saudi.
Hasil lainnya menyebutkan bahwa 27 persen responden mengaku pernah mendapat pelecehan secara verbal, 26 persen dilecehkan melalui telepon (tarqim), 24 persen dilecehkan lewat cara pandang, dan 15 persen pernah dilecehkan dengan cara disentuh bagain tubuhnya.
Reaksi Pria Saudi Atas Pelecehan
Apakah kaum adam di Saudi merasa bersalah? Mari mengutip riset King Abdul Aziz Centre for National Dialogue yang dipublikasikan pada tahun 2014 lalu dan melibatkan 992 narasumber. Hasilnya, 86,5 persen responden laki-laki mengatakan bahwa faktor utama mengapa pelecehan seksual begitu tinggi di Saudi adalah karena perempuan-perempuan di negara itu memakai riasan wajah yang berlebihan. Ini artinya, di mata mayoritas responden laki-laki, para korban malah dianggap sebagai pemicu tindakan asusila.
Bagian lain dalam riset tersebut mengungkapkan bahwa 91 persen responden, yang semua berumur di atas usia 19 tahun, percaya bahwa faktor kunci mengapa fenomena pelecehan seksual begitu masif adalah “kurangnya iman dan takwa di kalangan masyarakat Saudi”. Sementara itu 80 persen responden meyakini bahwa faktor penyebab lain adalah kurang tegasnya hukuman mati bagi pelaku dan tidak adanya hukum anti-pelecehan yang memadai sebagai upaya preventif.
Penelitian ini memunculkan keresahan yang hebat bagi para feminis dan pemerhati perempuan sedunia. Alih-alih melindungi korban, si korban justru menjadi pihak yang disalahkan. Noura juga menjadi pihak yang sangat prihatin atas kondisi ini. Di negara yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan dalam kehidupan bernegaranya, ternyata masih menyisakan rasa takut bagi para perempuan Saudi saat sedang berada di luar rumah.
“Pelecehan (seksual) di Arab Saudi telah menjadi fenomena yang serius. Puncak gunung es kini mulai terungkap akibat munculnya kegelisahan dari pada korban untuk menunjuk sang pelaku,” katanya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS