tirto.id - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas tengah melakukan pembangunan helipad yang salah satu tujuannya untuk memudahkan Presiden Prabowo Subianto berziarah ke makam kakeknya, RM Margono Djojohadikusumo. Helipad ini dibangun di bekas lapangan di Desa Kalisube, Banyumas, Jawa Tengah. Lokasinya sekira 2 kilometer dari kompleks Pemakaman Dawuhan tempat peristirahatan terakhir mendiang RM Margono Djojohadikusumo.
Dikutip dari Kompas.com, Kamis (6/11/2025), Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Banyumas, Kresnawan Wahyu Kristoyo, membenarkan proyek pembangunan helipad di Kalisube itu untuk memudahkan Presiden Prabowo berziarah ke makam keluarganya.
“Tujuannya salah satu di antaranya itu [memudahkan akses Presiden Prabowo],” kata Kresnawan.
Pembangunan helipad dilakukan bersamaan dengan peningkatan empat ruas jalan melalui program Instruksi Presiden (Inpres) Jalan Daerah (IJD) yang diusulkan Pemkab Banyumas.
Kepala Bidang Perencanaan dan Pembangunan Jalan DPU Banyumas, Rusli Kurnia, menjelaskan bahwa total anggaran IJD itu mencapai Rp44 miliar dan bersumber dari APBN, termasuk pembangunan helipad senilai sekitar Rp1,4 miliar.
Empat ruas jalan IJD Banyumas tersebut meliputi Banyumas–Mandirancan sepanjang 8,55 km, Kalisube–Binangun 2,25 km, Karangcegak–Limpakuwus 6,5 km, serta kawasan Curug Ceheng Kotayasa–Limpakuwus sepanjang 1,6 km.

Menurut Rusli, sebelumnya ketika Presiden Prabowo berkunjung menggunakan helikopter, pendaratan mesti dilakukan di Alun-Alun Banyumas yang jaraknya cukup jauh dari makam. Maka Pemkab Banyumas berinisiatif membuat helipad khusus untuk memudahkan kunjungan-kunjungan Prabowo selanjutnya.
Awalnya, lokasi helipad direncanakan di area persawahan. Namun, rencana awal itu dibatalkan karena lahannya masuk kawasan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD). Kemudian, dipilihlah lapangan desa sebagai lokasi baru. Kepala desa setempat pun menyebut bahwa Pemkab Banyumas akan mengganti lapangan warga.
“Kegiatannya pakai APBN. Kami mengusulkan satu rangkaian dengan pembangunan jalan, sekarang sudah mulai dikerjakan,” kata Kresnawan.
Dikritik
Di sisi lain, sejumlah kalangan menilai proyek pembangunan helipad itu sebagai langkah yang perlu diwaspadai. Salah satu alasannya karena ada penggunaan uang negara dalam proyek itu.
Mereka menilai pembangunan helipad untuk urusan pribadi presiden tidak mendesak. Bila dibiarkan, ia justru berpotensi menimbulkan persepsi bahwa anggaran negara digunakan untuk kepentingan pribadi pejabat publik. Apalagi, proyek ini muncul di tengah seruan Presiden Prabowo sendiri tentang efisiensi dan ketepatan penggunaan APBN.
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menegaskan bahwa setiap rupiah uang negara harus dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apabila fasilitas seperti helipad dibangun menggunakan APBN dengan justifikasi kepentingan publik yang lemah, hal ini berpotensi bertentangan dengan prinsip yang presiden sampaikan sendiri.
Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menilai proyek pembangunan helipad senilai sekitar Rp1,4 miliar di dekat makam kakek Presiden Prabowo itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mesti ditinjau ulang.
Menurut Askar, pemerintah daerah harusnya kembali pada prinsip dasar pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Kedua regulasi tersebut menegaskan bahwa penggunaan APBN dan APBD hanya untuk pelayanan publik, bukan untuk kepentingan pribadi pejabat publik.
“Sudah jelas disebutkan bahwa APBN disusun sesuai kemampuan keuangan negara dan hanya dapat digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan serta pemenuhan layanan publik. Jadi, tidak bisa pejabat publik–entah bupati, gubernur, bahkan presiden sekalipun–menggunakan APBN atau APBD untuk kepentingan pribadi,” kata Askar kepada wartawan Tirto, Kamis (6/11/2025).
Askar menilai, proyek helipad yang dibiayai dari APBN melalui program IJD tersebut seharusnya dijalan dengan dasar justifikasi publik yang kuat. Tanpa unsur itu, kata dia, proyek tersebut berpotensi bertentangan dengan prinsip tata kelola keuangan negara.
Pasal 11 UU Nomor 17/2003 menyatakan bahwa APBN adalah wujud pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Anggaran pendapatan berasal dari penerimaan pajak, bukan pajak, dan hibah, sedangkan anggaran belanja digunakan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan dan perimbangan keuangan pusat-daerah.
Askar menyoroti aspek urgensi dan prioritas pembangunan helipad tersebut. Menurutnya, tidak ada argumen kuat yang menunjukkan bahwa fasilitas itu memiliki fungsi publik di luar kepentingan ziarah pribadi presiden.

Karena itu, alasan bahwa proyek helipad ini “memudahkan ziarah” menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah proyek tersebut memiliki derajat kepentingan publik yang cukup untuk dibebankan lewat kantong negara?
Jika manfaatnya hanya dirasakan oleh satu orang atau kelompok kecil, pembangunan itu secara prinsip tidak memenuhi kriteria penggunaan APBN yang sahih.
“Kalau memang ada potensi konflik kepentingan, saya kira harus ditinjau ulang. Pemerintah daerah perlu memastikan seluruh penggunaan APBN memiliki dasar hukum dan manfaat publik yang jelas,” tegas Askar.
Tirto sudah mencoba meminta tanggapan dari Istana Kepresidenan lewat Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, dan Kepala KSP M Qodari. Namun pesan yang meminta penjelasan dari Istana soal proyek helipad ini tidak ditanggapi oleh keduanya.
Hindari Konflik Kepentingan
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, mengatakan bahwa proyek tersebut berpotensi menabrak prinsip dasar penggunaan APBN dan aturan mengenai konflik kepentingan yang diatur dalam peraturan terbaru pemerintah.
Bagus mengacu pada Peraturan Menteri PANRB Nomor 17 Tahun 2024 tentang Penanganan Konflik Kepentingan. Regulasi itu menegaskan bahwa setiap pejabat publik wajib mendeklarasikan potensi konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan atau pengajuan proyek pemerintah.
“Dalam Permen PANRB Nomor 17 Tahun 2024 itu jelas kalau alau ada keputusan pembangunan atau kebijakan pemerintah yang punya irisan dengan kebutuhan pribadi pejabat, dan tidak berdasarkan analisis kebutuhan publik mendalam, maka di situ ada konflik kepentingan,” ujar Bagus kepada wartawan Tirto, Rabu (5/11/2025).
Bagus menjelaskan bahwa penggunaan dana APBN sah jika fasilitas yang dibangun berfungsi sebagai infrastruktur publik yang mendesak atau memiliki nilai darurat, seperti fasilitas transportasi, kesehatan, atau tanggap bencana. Namun, apabila fasilitas itu diarahkan untuk kepentingan pribadi pejabat publik, ia justru berpotensi termasuk kategori konflik kepentingan.
Dia menambahkan, Permen PANRB terkait konflik kepentingan mengatur mekanisme transparansi, pelaporan, serta sanksi apabila pejabat publik tidak mendeklarasikan konflik kepentingan. Lebih jauh, dia menyoroti aspek efisiensi fiskal yang kerap digaungkan Presiden Prabowo.
Menurutnya, proyek-proyek yang rawan konflik kepentingan seharusnya dihindari karena menimbulkan persepsi negatif di publik. Bagus menekankan agar pemerintah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur dasar yang berdampak bagi masyarakat luas.
“Kalau alasannya hanya untuk memudahkan ziarah presiden ke makam leluhurnya, urgensinya dalam konteks pengadaan barang dan jasa masih sangat lemah. Harusnya prioritas diberikan kepada infrastruktur publik yang benar-benar dibutuhkan rakyat,” tandasnya.
Sementara itu, Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gurnadi Ridwan, menyatakan bahwa sudah jelas secara hukum dan prinsip tata kelola, APBN tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi pejabat publik, walaupun secara simbolik hal itu menyangkut presiden.
Instrumen seperti IJD pun sejatinya dimaksudkan untuk meningkatkan konektivitas, mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, dan memperbaiki infrastruktur publik.
Mandat itu, kata Gurnadi, bukan sarana melayani kebutuhan atau agenda pribadi pejabat negara. Selain itu, pembangunan helipad itu jelas berpotensi menimbulkan potensi konflik kepentingan dalam penggunaan anggaran publik.
Menurutnya, wajar bila nanti masyarakat mempertanyakan apakah rencana proyek helipad tersebut sudah sesuai dengan dokumen perencanaan, seperti RKPD atau DPA Dinas PUPR. Jika tidak, akan muncul kerawanan penyalahgunaan diskresi anggaran.
“Kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa menurun karena rendahnya kredibilitas dalam pengelolaan anggaran. Jika benar dilakukan, proyek semacam ini tidak sejalan dengan semangat efisiensi dan keadilan publik. Ini kontradiktif dengan kampanye pemerintah pusat selama ini,” tegas Gurnadi kepada wartawan Tirto, Rabu (5/11/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































