tirto.id - Ratusan massa aksi yang tergabung dari Walhi Jawa Barat (Jabar) bersama jaringan masyarakat sipil menggeruduk Kantor ATR/BPN Jabar dalam memperingati Hari Tani, pada Rabu (24/9/2025) siang. Aksi ini menuntut pemerintah untuk mengedepankan hak petani dengan tidak memperpanjang izin Hak Guna Bangunan (HGB) perusahaan yang sudah berakhir.
Pantauan Tirto, massa memusatkan aksi unjuk rasa di depan Kantor Wilayah ATR/BPN Jabar, jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung. Massa merupakan gabungan dari Perkumpulan Inisiatif, LBH Bandung, STKS, Sahabat WALHI, mahasiswa, Kelompok Tani Margawindu, dan Paguyuban Cemerlang Sumedang.
Sekitar pukul 10.30 WIB, perwakilan massa aksi sempat melakukan audiensi dan masuk ke dalam kantor ATR/BPN Jabar. Lalu satu jam kemudian, perwakilan kantor pertanahan itu menyampaikan hasil audiensi langsung di hadapan massa.
Berdasarkan informasi Walhi Jabar, konflik agraria yang menuntut untuk segera diselesaikan berkaitan dengan nasib petani Sumedang. Hal itu menyangkut dua lahan eks perkebunan.
Pertama, lahan eks PT Chakra di Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan, seluas 217 hektar, dengan HGU yang berakhir sejak 1997. Selama lebih dari dua dekade, lahan ini telah dikelola 30 KK petani secara mandiri dan produktif.
Kedua, lahan eks PT Subur Setiadi yang HGB-nya berakhir pada 2023. Warga menolak keras perpanjangan izin karena menilai perusahaan tersebut tidak pernah memberi kontribusi nyata bagi masyarakat sekitar.
Salah satu warga yang menolak perpanjangan itu, Ella Siti Romlah (53), yang sehari-sehari bekerja sebagai petani. Ia ikut mendesak supaya para petani diberi hak untuk menggarap lahan, terlebih saat ini perusahaan sudah tidak memiliki izin HGB.
Warga Desa Cimarias, Sumedang, itu mengaku berangkat secara rombongan bersama sekira 200 ratus petani. Ella bersama rekan-rekan seperjuangannya menuntut supaya perkebunan bisa digarap kembali oleh masyarakat. Terlebih saat ini kontrak HGB dari PT Subur Setiadi sudah habis.
"Iya, [perharap izin PT Subur Setiadi] tidak diperpanjang. [Petani] ingin punya tani perkebunan [sendiri]," kata Ella.
Ia menambahkan, saat perkebunan dipegang perusahaan, warga sama sekali tidak diperbolehkan berkebun di area tersebut. Padahal, Perkebunan itu hanya menggarap beberapa titik lahan.
"Tidak tahu sama PT Suburnya tidak digarap. Tapi sama warga tidak boleh digarap. Kalau sekarang kan sudah habis kontraknya, sampai [tangal] 23. Tapi sekarang masih ada penggarapan. Masih digarap sama PT Subur Setiadi," sambung Ella.
Manager Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Kelola Rakyat dan Desk Disaster Walhi Jabar, Arif Destriad, menuturkan momentum peringatan Hari Tani tidak boleh berhenti sebagai seremoni. Dia bilang, peringatan Hari Tani dilakukan atas lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Oleh sebab itu, Hari Tani semestinya jadi pengingat agar negara, khususnya ATR/BPN sebagai eksekutor kebijakan, untuk konsisten menjalankan reforma agraria demi kesejahteraan petani. Atas dasar itu, Walhi Jabar bersama para petani memperjuangkan hak-haknya pada hari ini.
"Hari ini pihak perusahaan HGB-nya sudah habis dan dia sedang masa pengajuan, ini yang menjadi dasar kenapa warga menolak. Karena dia [perusahaan] tidak memberikan manfaat. [Serta] dampak bagi warga, bahkan dia tidak ada izin desa yang seharusnya itu ada," jelasnya.
Sehingga hal itu mendorong warga dari dua desa untuk memperjuangkan hak atas tanahnya. Menurutnya, dari kondisi lahan 500 hektare, seluas 400 hektare ini dikuasai oleh perusahaan. "Dan warga malah tinggal di pinggir-pinggir jurang," sesal Arif.
Ia merincikan, sejak tahun 90-an, tanah tersebut sebetulnya merupakan lahan garapan. Tanah pertanian. Namun beberapa waktu kemudian, tiba-tiba sudah dikuasai perusahan. Para warga pun dilarang untuk bertani di sekitar lahan tersebut.
"Karena mereka [Perusahaan] menganggap bahwa itu punya mereka sehingga warga dilarang. Warga sempat ada yang dipenjara, sempat ada yang dipanggil gitu kan. Memang ini yang jadi harusnya perhatian dari kementerian ATR dan tim pelaksana percepatan reforma agraria," tandasnya.
Dalam aksinya, massa menuntut Tim GTRA Provinsi Jawa Barat mengeluarkan tiga keputusan penting. Pertama, surat dukungan dan rekomendasi TORA untuk lahan Margawindu (eks PT Chakra). Kedua, surat penolakan perpanjangan HGB PT Subur Setiadi.
Lalu ketiga, massa aksi mendesak redistribusi objek TORA (LPRA) untuk lahan di Desa Cimarias dan Cinanggerang. Seluruh dokumen itu diminta ditembuskan langsung ke Kementerian ATR/BPN.
ATR/BPN Tak akan Perpanjang HGB Perusahaan

Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Jabar, Yuniar Hikmat Ginanjar, memastikan tuntutan para petani di Sumedang bakal segera diproses. Ia mengharapkan massa aksi untuk tetap tenang selama proses itu berjalan.
"Tenang bapak ibu, BPN belum memperpanjang proses HGU PT Subur Setiadi. BPN Jabar dan kabupaten, harus menyelesaikan masalah masyarakat dulu. Masyarakat harus dapat haknya. Ini butuh waktu, tapi insyaallah minggu depan bakal diselesaikan," ungkap Hikmat disambut sorak sorai massa aksi.
"Sekarang Pak Dony, bupati [Sumedang] juga sudah mengajukan jangan diperpanjang karena ada masalah. BPN insya Allah akan bertindak jadi wasit seadil-adilnya. Tidak akan ujug-ujug perpanjangan HGU. Harus ada win win solution," lanjutnya.
Masuk tirto.id


































