Menuju konten utama

Hari Demokrasi Internasional, Demokrasi Indonesia Dinilai Menurun

Salah satu poin yang disoroti terkait menurunya demokrasi ialah minimnya penerimaan aspirasi publik dalam perumusan peraturan.

Hari Demokrasi Internasional, Demokrasi Indonesia Dinilai Menurun
Seorang wanita meletakkan bunga saat aksi dukacita untuk pahlawan demokrasi di Jakarta, Minggu (28/4/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Tanggal 15 September diperingati sebagai Hari Demokrasi Internasional oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada peringatan pada tahun ini, demokrasi Indonesia dianggap menurun, salah satunya dilihat dari aspek supremasi hukum.

"Hari ini kita melihat dari beberapa ciri negara hukum, supremasi hukum yang kita cita-citakan itu ternyata kita mengalami banyak sekali distorsi, kejanggalan, kemunduran," kata Direktur LBH Jakarta Arief Maulana dalam konferensi pers di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (15/9/2019).

Salah satu poin yang disoroti ialah minimnya penerimaan aspirasi publik dalam perumusan peraturan. Saat ini, pemerintah dan DPR tengah mengebut pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di akhir periode. Padahal, masyarakat sipil sudah mengingatkan RKUHP masih menyimpan sejumlah persoalan salah satunya overkriminalisasi.

Minimnya pelibatan publik juga terjadi dalam pembahasan RUU lain, seperti RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba, RUU Sumber Daya Air, hingga Revisi UU KPK.

"Padahal dalam negara demokrasi, kuncinya adalah kedaulatan di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal mutlak," kata Arief.

Keberadaan undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga telah memakan sejumlah korban, para pejuang hak asasi manusia (HAM) tak luput jadi korban.

Selain itu, Arief juga menyoroti penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Dalam beleid itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bisa mencabut status badan hukum suatu ormas jika dinilai menyebarkan atau mengembangkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.

Penjelasan Pasal 59 ayat (4) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran Ateisme, Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertujuan mengganti atau mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

Namun, Arief menilai kebebasan berserikat dan berkumpul adalah bagian dari hak konstitusional warga negara, semestinya pembatasannya dilakukan lewat UU, tapi hak itu dibatasi secara sepihak melalui Perpu.

Selain itu, Perpu juga membuat jalan pintas bagi pemerintah untuk mencabut status ormas. Sebelumnya, tudingan menyebar ajaran yang bertentangan dengan pancasila harus dibuktikan di persidangan lebih dulu.

Urusan kegentingan yang menjadi latar belakang penerbitan Perpu pun dinilai tidak nemiliki dasar yang objektif.

"Kalau dilihat dalam konteks negara hukum, itu (Perpu Ormas) menggambarkan bagaimana situasi supremasi hukum negara kita," kata Arief.

Dia juga menyoroti soal militer yang mulai merasuk ke ranah sipil. Hal itu ditandai dengan ditandatanganinya puluhan MoU antara TNI dengan kementerian, termasuk MoU pengendalian unjuk rasa dengan Polri.

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Irwan Syambudi