tirto.id - Kamis, 12 September 2019, sekitar pukul 13.00, The Habibie Center yang terletak di Kemang Selatan, Jakarta, sepi pengunjung. Menurut Budi (55), orang-orang sedang melayat. Saat saya sedang berkunjung, Kamis (12/9/2019), upacara pemakaman Presiden ke-3 RI itu memang tengah berlangsung di TMP Kalibata.
“Biasanya ramai,” ujar Budi, penjaga The Habibie Center. Dia sudah bekerja di tempat ini sebagai satpam sejak 1988.
Kepergian Habibie meninggalkan duka bagi Budi. Habibie di matanya adalah orang baik yang egaliter. “Kalau makan, ya, bareng makan. Di hotel pun, security diajak makan bareng,” kenangnya. “Bapak jarang marah deh kayaknya.”
Habibie juga gemar menyekolahkan para karyawannya sekaligus menekankan pentingnya pendidikan. Budi sendiri pernah ditawari sekolah, tapi ditolak karena sudah berkeluarga.
“Kalau yang lajang pada sekolah, sampai lulus.”
The Habibie Center dan Keberagaman
Dari situs resminya, The Habibie Center tercatat didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie pada 10 November 1999. Melalui lembaga tersebut, Habibie menawarkan sejumlah agenda untuk mengembangkan dan mencapai masyarakat yang demokratis.
Salah satu program yang dibikin The Habibie Center adalah 'Cerita', yang visi utamanya adalah menyebarkan nilai yang dipegang Habibie semasa hidupnya: keberagaman. Program tersebut mulai berjalan sejak 2017, sebagai reaksi atas munculnya polarisasi yang berbasis pada identitas dan ras karena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta.
William Umboh Ikhsan Salim (33), seorang penari dan MC, adalah salah satu yang pernah turut serta dalam program itu. Ia tertarik karena konsep acaranya menarik: mempertemukan orang-orang dengan latar belakang agama, ras, usia, hingga pekerjaan yang beragam. Mereka diminta bercerita satu sama lain.
“Awalnya saya enggak punya ekspektasi saat mengikuti acara ini. Namun ternyata ada hal yang kami luput adalah bagaimana sebenarnya kami enggak pernah melihat cerita orang lain, sehingga puzzle-nya tak pernah utuh,” ungkap Willilam.
“Kami melihat asumsi, atau berdasarkan prasangka [dalam menilai sesuatu atau seseorang]. Tetapi ternyata perbedaan dan identitas yang banyak, melengkapi satu sama lain.”
Setelah mengikuti program ini, William mencoba jadi pribadi baru, yang mau mendengar dan menghargai kisah orang lain.
“Nilai-nilai yang bisa diambil dari Habibie adalah ketika kita mau percaya dengan kekuatan diri sendiri dan orang lain. Itu yang ditekankan berkali-kali oleh Pak Habibie,” aku William.
Pesan Habibie
Kepala Departemen Politik The Habibie Center, Bawono Kumoro, mengatakan Habibie sempat berpesan agar institusi ini mengevaluasi demokrasi di Indonesia yang telah berjalan 21 tahun. Bagi Bawono, pesan ini sama sekali tak berlebihan karena faktanya kualitas demokrasi di Indonesia stagnan.
“Dia [Habibie] melihat itu juga. [Misalnya] penurunan indeks kebebasan berpendapat dengan adanya UU ITE. Berpendapat sedikit jadi masalah hukum,” tutur Bawono kepada reporter Tirto.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, meski Indeks Demokrasi Indonesia naik pada 2018, tapi variabel kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul serta berserikat turun. Salah satu penyebabnya adalah masih adanya ancaman/penggunaan kekerasan untuk menghalau kebebasan berpendapat.
Habibie sempat berpesan agar ada konferensi skala besar untuk mengevaluasi demokrasi Indonesia secara komprehensif, kata Bawono. Habibie ingin kegiatan itu dihadiri orang-orang dengan latar belakang beragam, dari mulai masyarakat biasa, para ahli, anggota legislatif, bahkan pemerintah.
Pada era Habibie, yang sebetulnya hanya memerintah satu tahun lebih sedikit (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), sejumlah regulasi untuk menumbuhkan demokrasi dibuat. Salah satunya adalah Undang-Undang Pers yang menghapus SIUPP (Surat Izin Usaha Perusahaan Pers) “dan media tidak bisa lagi diberedel.”
Aturan lain yang dibentuk oleh Habibie kala itu adalah UU Otonomi Daerah (UU Nomor 22 Tahun 1999) serta UU Partai Politik (UU Nomor 2 Tahun 1999). Karena UU Partai Politik, puluhan partai berdiri di luar partai tradisional PDI, Golkar, dan PPP.
Dalam buku Detik-Detik yang Menentukan, Habibie mengatakan, “kesempatan harus diberikan kepada siapa saja untuk dapat mendirikan partai politik, asal tidak melanggar UUD 1945 dan memenuhi kriteria yang nanti disusun.”
Menurut Bawono, tiga aturan itu adalah aturan fundamental di bidang politik dan hukum yang dapat memajukan demokrasi.
“Itulah yang membuat kami, generasi 90-an, bisa merasakan kebebasan berekspresi. Tanpa ada tiga Undang-Undang itu, saya kira kita tidak bisa menghirup udara kebebasan berekspresi dan berpendapat seperti sekarang,” pungkasnya.
Dengan segala yang diupayakan ini, peneliti politik Made Supriatma memuji Habibie sebagai “peletak dasar-dasar demokrasi Indonesia.” “Di bawahnya,” kata Made, “tumbuh kebebasan pers, pembebasan tahanan politik, reformasi di tubuh militer dan kepolisian, dan pemberian otonomi kepada daerah.”
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika & Rio Apinino