tirto.id - "Lagu kesayangan bapak?"
"Sepasang Mata Bola. Saya nyanyi keroncong dalam band. Benar! Tapi serentak sudah ke luar, ayo bye, bye."
"Mengapa Sepasang Mata Bola?"
"Itu nyanyian kroncong, nyanyian revolusi. Terus terang saja, kalau you mengalami sesuatu, terus pada waktu itu tercium bau eau de cologne, tiap kali you bawa cologne itu teringat situasinya waktu itu. Demikian juga dengan lagu, dengan musik. Saya mengalami musik-musik yang begitu."
Begitulah percakapan BJ Habibie yang tertuang dalam bukunya berjudul "Habibie, dari Pare-Pare lewat Aachen dan tulisan-tulisan lain" terbitan 1982.
Dalam berbagai kesempatan, setidaknya, lagu ini sering diakui Habibie sebagai lagu favoritnya. Begitu pula ketika karya Ismail Marzuki itu bergema di saat Habibie menerima anugerah Medali Emas Kemerdekaan Pers tepat di Hari Pers Nasional di Manado pada 2013 lalu.
"Wow! 'Sepasang Mata Bola'. Kalian insan pers yang cerdas, tahu ini salah satu lagu kesukaan saya," kata Habibie sambil tertawa usai menerima penghargaan dari Ketua Dewan Pers Bagir Manan, seperti dilansir Antara.
Seperti apa kisah di balik lagu yang disukai Habibie itu?
“Sepasang Mata Bola" merupakan karangan Ismail Marzuki pada tahun 1946, yang menjadi salah satu tembang paling mujarab untuk memantik semangat para pejuang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ambisi Belanda yang ingin berkuasa kembali.
Alwi Shahab dalam "Ismail Marzuki: Santri yang Melegenda Lewat Lagu Perjuangan (2016)", mengatakan, sang komponis merumuskan “Sepasang Mata Bola” dalam suatu perjalanan pada tahun 1946. Hal tersebut diungkapkan Yusuf Ronodipuro yang bersama Ismail menumpang kereta dari Jakarta menuju ibu kota RI kala itu, Yogyakarta.
Lirik lagu itu juga dinilai sebagai sisi lain yang menggambarkan suasana masa perjuangan yang di kemudian hari menjadikan Yogya sebagai dambaan para pejuang.
Hal ini juga diakui dalam "Victor Matondang, Sahabat Semua Orang" (1997). Ia menulis, komponis Ismail Marzuki menangkap suasana perjuangan di stasiun Yogya, Ibu kota sementara RI dalam lagu "Sepasang Mata Bola".
Kala itu, Yogyakarta memang menjadi ajang perang pejuang Republik melawan Belanda dan menjadi lokasi pertempuran heroik yang melegenda dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949. Simak saja beberapa potongan liriknya:
Hampir malam di Jogja
Ketika keretaku tiba
Remang-remang cuaca
Terkejut aku tiba-tiba
Dua mata memandang
Seakan-akan dia berkata
Lindungi aku pahlawan
Daripada si angkara murka
Sepasang mata bola
Dari balik jendela
Datang dari Jakarta
Menuju medan perwira
Meskipun dikenal sebagai seniman atau musisi, Ismail hampir selalu ada manakala terjadi pertempuran. Misalnya, di Jakarta pada awal September 1945 saat NICA (Belanda) datang, juga ketika meletusnya peristiwa Bandung Lautan Api di medio Maret 1946.
Sikap perlawanan juga pernah ia tunjukkan sewaktu Belanda mengambil-alih Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta dan menggantinya dengan nama Radio Omroep In Overgangstijd (ROIO) pada akhir 1946.
Barangkali kisah ini yang membuat Habibie terkagum-kagum dengan lagu "Sepasang Mata Bola" karya Ismail, ada sejarah yang tidak biasa di balik proses penggarapan liriknya. Di mana ia juga tumbuh dan berkembang di era kemerdekaan.
Mengukir Sejarah Singkat Memimpin Indonesia
Sama seperti semangat Ismail yang berjuang untuk kemerdekaan, Habibie juga pernah mengukir sejarah, meskipun singkat memimpin Indonesia, seperti mengendalikan dolar dari Rp16.800 menjadi Rp7.500 pasca-krisis 1998, membuka kebebasan pers, membebaskan tahanan politik dan membentuk undang-undang demokratis.
Menurut pengamat Hak Asasi Manusia (HAM) Andreas Harsono, BJ Habibie, yang ketika muda dipanggil dengan sebutan Rudy, merupakan tokoh yang memiliki visi besar bagi demokrasi Indonesia.
Kendati tidak sempurna, Habibie boleh dikatakan berhasil dalam mewujudkan visinya tersebut, terutama dalam menjalankan pemerintahan transisi pasca-Orde Baru. Sejumlah kebijakan penting telah dia buat, seperti pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers.
Habibie juga memberikan masyarakat kebebasan untuk berserikat dan berkumpul melalui pencabutan larangan pendirian serikat buruh independen. Hal ini dilakukan dengan meratifikasi Konvensi ILO No.87.
Selain itu, salah satu kebijakan krusial Habibie adalah penghapusan istilah "pribumi" dan "non-pribumi" melalui Inpres 26/1998 dan penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui Inpres 4/1999.
Kedua kebijakan itu sedikit banyak telah membuat warga etnis Tionghoa di Indonesia dapat bernapas lebih lega setelah menerima pelbagai intimidasi, bahkan sasaran kebencian dan kekerasan, selama masa Orde Baru.
Namun, yang menunjukkan Habibie adalah pemimpin yang "manusiawi" boleh jadi adalah responsnya ketika ditanya politikus Malaysia Anwar Ibrahim atas alasan di balik kebijakannya membebaskan sejumlah aktivis oposisi Orde Baru yang menjadi tahanan politik.
"Saya tanya apa yang mendorong Habibie membebaskan para tahanan politik. Dia jawab, 'Ini soal hati nurani, pertanggungjawaban kepada Allah,'" kata Ibrahim, dalam program Mata Najwa edisi 8 Februari 2014. "Ini bukan jawaban politisi, tapi manusia yang tersentuh nuraninya."
Tapi, kemarin, kabar duka menyelimuti media massa, Habibie berpulang dalam usia 83 tahun, ia menyusul sang pencipta lagu Ismail Marzuki. Selamat jalan Pak Habibie!
Editor: Agung DH