tirto.id - Setelah runtuh pada Mei 1998, rezim Orde Baru meninggalkan segudang masalah perekonomian. Mulai dari nilai tukar rupiah yang anjlok, utang menumpuk, inflasi melambung hingga kemiskinan. Semua persoalan itu diwariskan ke Bacharuddin Jusuf Habibie alias B.J. Habibie, mantan menteri serta wakil presiden era Soeharto.
Menurut Lepi T. Tarmidi dalam kajian berjudul Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran (2003), krisis moneter kala itu bukanlah imbas dari fundamental ekonomi RI yang lemah. Melainkan akibat utang swasta luar negeri jangka pendek maupun menengah yang menggunung melampaui utang pemerintah.
Permasalahan tidak pada sektor rupiah dalam negeri, melainkan luar negeri. Khususnya nilai tukar dolar AS yang mengalami overshooting akibat serbuan mendadak dan bertubi-tubi. Pada saat yang sama, utang swasta jatuh tempo dan devisa terbatas untuk membayarnya. Di sisi lain, sistem perbankan nasional terbilang lemah.
Sejak 1981 hingga 1991, total seluruh utang luar negeri Indonesia meningkat rata-rata 13% per tahun. Jika dirinci, utang sektor swasta naik 20% per tahun, pemerintah 13% per tahun dan Badan Usaha Milik Negara 4% per tahun.
Menurut Dumadi Tri Restiyanto dalam Kegagalan Pembangunan Ekonomi Indonesia Akibat Terperangkap Kegagalan Pendekatan Teori Ekonomi Pembangunan (2006) ada banyak faktor yang memengaruhi tingkat utang swasta melesat begitu cepat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat tidak dibarengi dengan kesiapan teknologi, SDM, serta industri hulu. Akibatnya, Tanah Air ketergantungan impor dan nilai tukar rupiah atas dolar AS anjlok.
Usai nilai tukar rupiah merosot dan utang membludak, cadangan devisa Indonesia menjadi catatan buruk berikutnya.
Studi yang dikembangkan Siti Romida Harahap menyebutkan cadangan devisa Indonesia merosot pada awal tahun 1998. Penurunan ini berkaitan dengan defisit neraca pembayaran yang diakibatkan defisit lalu lintas modal bersih karena pasokan dolar AS di pasar valuta asing berkurang.
Terlepas dari segudang warisan masalah Orde Baru dan krisis moneter, dalam masa jabatannya yang singkat B.J. Habibie memberi secercah harapan bagi perekonomian Indonesia untuk bangkit.
Berdasarkan data World Bank, laju PDB pada 1998 terjun bebas setelah kontraksi -13,1%. Setahun B.J. Habibie menjabat, pertumbuhannya tercatat naik jadi 0,8% pada 1999. Selain itu, pemerintahannya berhasil menahan tekanan inflasi dan membawa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali menguat.
Inflasi yang sebelumnya menyentuh 58,5% melandai ke level 20,5%. Kemudian mata uang Indonesia juga kembali bertaring. Nilai tukar rupiah yang sempat rata-rata senilai Rp10.013/USD menguat ke level Rp7.855/USD.
Meski mencatat prestasi yang cukup gemilang, Pada sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1999, laporan pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak. Selama 1,5 tahun menjabat presiden, ia pernah mengambil sejumlah keputusan penting, seperti memisahkan Bank Indonesia dari komposisi kabinet pemerintah agar independen. Lalu memilih untuk melepas Timor Timur.
Gus Dur Gagal Penuhi Ekspektasi
Pada Oktober 1999, tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Menurut Ahmad Nurhuda dalam studi berjudul Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001) (2021), Gus Dur sebenarnya lebih beruntung karena diwarisi keadaan ekonomi yang relatif lebih stabil dari B.J. Habibie. Namun situasi tersebut juga meletakkan ekspektasi besar di pundak Gus Dur.
Terlepas dari pro dan kontra yang menyertainya, masa kepemimpinan Gus Dur sarat dengan kebijakan-kebijakan kontroversial. Seperti keinginannya membuka hubungan dagang ke Israel. Lalu, perihal impor 400 unit mobil mewah untuk mendukung pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Group 15 (KTT G-15) di Jakarta pada Mei 2001 silam.
Perkaranya, pemerintah hanya mematok bea masuk impor sebesar 5%, jauh lebih kecil dari ketentuan seharusnya yang mencapai 75%.
Di lain pihak, jika Soeharto dan B.J. Habibie cenderung akrab dengan IMF dan mengandalkannya sebagai pemberi utang, lain halnya semasa Gus Dur. Arus utang-piutang antara RI-IMF relatif surut.
Hal itu terlihat dari data yang ditampilkan World Bank. Kurun 1999-2001, utang Indonesia tercatat berkurang semasa Gus Dur menjabat, dari yang sebelumnya USD151,81 miliar pada 1999 berkurang ke level USD132,71 miliar di 2001.
Berdasarkan data National Single Window for Investment (NSWI) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi asing di Indonesia juga cenderung menurun saat Gus Dur menjabat. Pada 1999 penanaman modal asing tercatat USD35,3 miliar dari 509 proyek, lalu anjlok 70% hingga hanya USD11,2 miliar dengan total proyek 658.
Penurunan PMA paling besar tercatat di sektor industri barang kulit dan alas kaki (-97,26%), industri karet dan plastik (-98,12%), serta industri logam (-58,68%).
Tak berhenti di situ, tren penurunan berlanjut hingga periode selanjutnya, di mana pada tahun 2001 realisasinya hanya tercatat USD7,96,1 miliar dari 468 proyek.
Lebih lanjut, dalam penelitian berjudul Ekonomi Politik Pemerintahan Gus Dur: Studi Tentang Relasi Ekonomi dan Politik dalam Pemerintahan Baru di Indonesia (2000), Sutrisno dan Kacung Marijan menyimpulkan bahwa pemerintahan Gus Dur belum mampu memberikan perubahan yang berarti bagi kinerja ekonomi politik Indonesia.
Penelitian itu membuktikan bahwa Gus Dur belum berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi dan moneter setelah setahun menjabat Presiden RI. Ia juga dianggap gagal membangun corak politik yang lebih demokratis dan stabil. Semua itu akhirnya mengganggu roda perekonomian secara menyeluruh.
Program strategis yang dicanangkan Gus Dur dinilai tidak berjalan baik. Ketidakstabilan politik berimbas pada tersendatnya upaya pemulihan ekonomi pascakrisis. Selain itu, penegakan hukum juga tidak optimal. Sejumlah kasus korupsi, kolusi dan nepotisme tidak mampu dituntaskan, termasuk yang melibatkan Soeharto dan kroninya.
Menurut Sutrisno dan Kacung Marijan, kinerja perekonomian era Gus Dur cenderung mengecewakan dan jauh di bawah ekspektasi. Kendati tingkat pertumbuhannya relatif bagus, namun aneka indikator lainnya menunjukkan fakta berbeda. Nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan lemah, sementara inflasi melambung tinggi.
Kesimpulan itu ditarik peneliti usai membandingkan kondisi perekonomian RI dengan negara lain yang sama-sama mengalami krisis pada 1998, seperti Korea Selatan dan Thailand. Keduanya mampu bangkit lebih cepat ketimbang Indonesia. Pada 1998, pertumbuhan ekonomi kita -13% dan baru bisa naik rata-rata 3,3% setelah beberapa tahun kemudian.
Geliat ekspor RI juga tak memberi kontribusi yang berarti untuk mengakhiri krisis. Padahal, nilai ekspor naik 30% pada 2000 dari tahun sebelumnya yang tercatat USD43,2 miliar. Selain nilai tukar dan indeks harga saham gabungan, indikator lainnya juga memprihatinkan. Misalnya penurunan investasi, baik modal asing maupun dalam negeri.
Era Megawati Banyak yang Dikorbankan
Setelah 21 bulan menjabat presiden, MPR memakzulkan Gus Dur pada medio 2001. Posisinya lalu digeser oleh Megawati Soekarnoputri, anak mantan Presiden RI Sukarno yang tak lain juga wakil presiden semasa Gus Dur berkuasa kurun 1999-2021.
Megawati dianggap lebih berhasil dalam membangun stabilitas ekonomi makro ketimbang Gus Dur berkat pengembangan kelembagaan, independensi Bank Indonesia, serta penataan ulang Kementerian Keuangan.
Pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi cenderung meningkat selama 3,3 tahun Megawati berkuasa. PDB RI tercatat tumbuh 3,6% pada 2001. Pertumbuhannya naik menjadi 4,5% pada 2002 dan meningkat lagi jadi 4,8% pada 2003 lalu ditutup setinggi 5% pada 2004 atau saat masa jabatan Megawati berakhir.
Di sisi lain, dalam penelitian Haryo Aswicahyono dan David Christian yang berjudul Perjalanan Reformasi Ekonomi Indonesia 1997-2016 (2017), diketahui bahwa Megawati berupaya kembali merajut hubungan harmonis dengan IMF setelah sebelumnya sempat surut di masa Gus Dur. Hasilnya, IMF menyetujui proposal pinjaman dana sebesar USD5 miliar.
Hal itu tercermin dari data World Bank. Di tangan Megawati, utang Indonesia juga cenderung meningkat. Totalnya sempat turun dari USD132,71 miliar pada 2001 menjadi USD128,44 miliar pada 2002. Tapi dua tahun berikutnya, nominal pinjaman kembali meningkat, yakni senilai USD134,37 miliar pada 2003 dan USD138,04 miliar pada 2004.
Tim ekonomi Megawati dinilai lebih terbuka dan suportif terhadap IMF. Akan tetapi, implementasi program reformasi berjalan lambat. Penyebabnya antara lain faktor kapasitas, masalah yang telah ada sejak rezim Gus Dur. Pada masa Megawati, Indonesia satu-satunya negara korban krisis 1998 yang masih menerima bantuan IMF.
Meskipun demikian, pada era Megawati juga Indonesia berani mengambil keputusan untuk mengakhiri program reformasi kerja sama dengan IMF. Setelah memutuskan kerja sama, pemerintah kemudian merancang paket kebijakan ekonomi melalui Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 yang berfokus pada stabilitas ekonomi makro, restrukturisasi sektir keuangan, dan investasi.
Akan tetapi, keputusan ini kemudian menggiring kontroversi. Pasalnya sumber dana alternatif yang digunakan sebagai pengganti bantuan IMF adalah melalui kebijakan privatisasi, utamanya BUMN, untuk menutupi defisit anggaran negara. Tercatat dalam masa kepemimpinannya, Megawati telah memprivatisasi 13 BUMN dan menghimpun dana sebesar Rp12,7 tirliun.
Lebih lanjut, di bawah rezim Megawati, geliat investasi lesu. Berdasarkan data NSWI BKPM, realisasi penanaman modal asing juga merosot, di mana pada akhir tahun 2004 hanya mencapai USD3,9 miliar. Penurunan paling signifikan dicatatkan pada industri transportasi, gudang dan telekomunikasi (-95,26%), dan industri makanan (-76,61).
Berdasarkan penelusuran di atas linimasi transformasi ekonomi era B.J Habibie, Gus Dur hingga Mewagati masih dirudung masalah inflasi dan utang akibat warisan periode sebelumnya dan proses pemulihan dari krisis moneter. Meskipun begitu pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menunjukkan kinerja tren positif hingga kembali mampu menyentuh level 5%.
Editor: Dwi Ayuningtyas