tirto.id - Kinerja PT Indosat Tbk. sedang dalam sorotan dalam beberapa bulan terakhir. Baru-baru ini Indosat mengumumkan PHK terhadap 677 karyawannya sebagai bagian dari efisiensi. Langkah itu harus diambil karena hingga kuartal III-2019 perseroan masih mengalami kerugian bersih hingga Rp284 miliar. Sepanjang 2018 Indosat juga merugi hingga Rp2,4 triliun.
Pada 2017 Indosat masih mampu mencetak laba Rp1,1 triliun, naik tipis 2,8% dibandingkan tahun 2016. Sementara pada 2015 Indosat mencatat rugi hingga Rp1,3 triliun.
Harga saham Indosat, yang mencerminkan kinerjanya, juga terus turun dalam tiga tahun belakangan. Dalam lima tahun terakhir, saham tertinggi Indosat dicapai pada 1 April 2017 di kisaran Rp7.175. Sejak saat itu harga saham Indosat terus berada dalam tren penurunan dan sempat mencapai titik terendah di Rp1.685 pada 1 Desember 2018. Setelah itu secara perlahan saham Indosat membaik dan pada 18 Februari 2020 ditutup di level Rp2.170.
Saat ini kepemilikan saham PT Indosat Tbk. dikuasai Ooredoo Asia Pte.Ltd sebesar 65%, disusul pemerintah Republik Indonesia (14,29%) dan publik (20,71%).
Pemerintah Indonesia memang tak lagi memiliki saham mayoritas di Indosat. Meski demikian Indosat masih sering dijadikan komoditas politik atas nama nasionalisme. Isu soal pembelian kembali saham Indosat selalu muncul saat kampanye pemilihan presiden, termasuk pada Pilpres 2019.
Di masa kampanye pilpres, dalam wawancaranya dengan wartawan, cawapres Sandiaga Uno menyentil soal rencananya untuk merebut kembali Indosat yang telah dijual pemerintah di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri.
“Di bawah Prabowo Sandi, akan kami usahakan [membeli lagi Indosat],” jelas Sandi saat itu, seperti dilansir Tempo. Kata Sandiaga, ia akan menunaikan janji kampanye Presiden Jokowi sebelumnya.
Pada masa kampanye Pilpres 2014 Joko Widodo memang pernah menyampaikan janjinya untuk membeli kembali Indosat.
“Ke depan, kita buyback Indonesia (Indosat) sehingga menjadi miliki kita lagi. Maka itu, ekonomi kita harus tumbuh 7%,” kata Jokowi dalam debat capres, menjawab pertanyaan Prabowo soal kebijakan Megawati menjual Indosat, tahun 2014 silam, seperti dikutip Tempo.
Dibeli Soeharto
Kelahiran dan perjalanan Indosat memang tak lepas dari peran pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditulis Bondan Winarno dalam J.B. Sumarlin, Cabe Rawit yang Lahir di Sawah (2013), Indosat lahir setelah Presiden Soeharto menyetujui gagasan Dirjen Pos dan Telekomunikasi saat itu, Soehardjono, untuk menggunakan teknologi satelit. Namun Indonesia mengalami keterbatasan sumber daya. Pemerintah akhirnya memberikan kesempatan kepada swasta untuk membangunnya.
Lalu ditunjuklah perusahaan telekomunikasi AS bernama International Telephone & Telegraph Corporation (ITT), melalui American Cable & Radio Corporation (ACR), untuk mengeksekusi gagasan pemerintah tersebut. Dari situ lahirlah Indosat pada 1967. Indosat menjadi salah satu perusahaan PMA pertama sejak diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing di Indonesia. ACR mengawali Indosat dengan modal 6 juta dolar AS.
Indosat kemudian tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Masalah mulai muncul pada 1976. Kala itu Soeharto meminta Indosat berpartisipasi dalam proyek pembangunan kabel laut antara Medan dan Penang untuk melengkapi jaringan telekomunikasi internasional. Proyek tersebut merupakan hasil pembicaraan antara Soeharto dengan Perdana Menteri Malaysia Husein Onn.
Indosat menolak. Alasannya, proyek tersebut merupakan capital expenditure yang belum diperlukan.
Soeharto kecewa dengan penolakan Indosat. Dalam sidang kabinet, masalah ini dibahas. Beberapa usulan sempat muncul mulai dari memberikan tindakan keras hingga melakukan nasionalisasi. Namun Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara saat itu, J.B. Sumarlin, mengusulkan agar pemerintah membeli sepenuhnya saham Indosat. Apalagi kondisi keuangan Indonesia saat itu sedang bagus karena menerima windfall profit dari booming minyak kedua pada 1980.
Alasan Sumarlin menolak nasionalisasi adalah karena pemerintah sedang giat mengundang investasi asing untuk pembangunan. Menurutnya, setiap upaya pengambilalihan paksa bisa berdampak buruk pada usaha pemerintah menggaet investasi asing.
Soeharto menyetujui usulan Sumarlin, yang kemudian ditunjuk menjadi Ketua Tim Akuisisi Indosat. Setelah melakukan serangkaian perundingan, ACR akhirnya sepakat menjual Indosat kepada pemerintah Indonesia dengan harga 43,6 juta dolar AS. Harga itu sudah termasuk unrealized profit.
Sejak saat itu pemerintah Indonesia memegang penuh kontrol atas Indosat. Hingga pada Desember 2002, di bawah kepresidenan Megawati Soekarnoputri, pemerintah memutuskan untuk melepas sebagian saham Indosat.
Divestasi Menuai Kontroversi
Singapore Technologies Telemedia (STT), anak usaha Temasek, dinyatakan sebagai pemenang divestasi 41,94% saham Indosat, pada harga Rp12.950 per lembar saham. Total dana yang didapat pemerintah sebesar Rp5,62 triliun.
Sebelumnya, pada Mei 2002, pemerintah juga melakukan divestasi 8,1% saham Indosat dengan dana yang didapat sebesar Rp1,1 triliun. Dengan demikian pemerintah total mendapatkan Rp6,72 triliun dari penjualan 50,04%.
Pemerintah membutuhkan dana untuk menutup defisit anggaran. Di tahun itu APBN mengalami defisit Rp27 triliun atau 1,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Privatisasi BUMN diharapkan bisa memberikan sedikit sumbangan untuk meringankan defisit APBN.
Laksamana Sukardi sebagai Menteri BUMN saat itu, sebagaimana dilaporkan Liputan 6, menyatakan divestasi Indosat dilakukan dalam rangka menjalankan amanat UU. Proses penjualannya juga disebut sudah dikonsultasikan dengan DPR.
Penjualan Indosat kemudian memicu kegaduhan nasional. Ia menjadi bola liar yang membidik Megawati dan Laksamana Sukardi. Divestasi itu akhirnya menuai gugatan class action yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 23 April 2003. Materi gugatan ditandatangani 133 orang dengan menggarisbawahi 7 jenis pelanggaran yang terjadi dalam divestasi Indosat. Namun gugatan itu ditolak PN Jakpus dan Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pada akhirnya STT melepas saham Indosat kepada Qatar Telecom (Qtel) pada Juni 2008. Penjualan dilakukan setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan Temasek bersalah pada November 2007.
KPPU menyatakan Temasek dan anak-anak perusahaannya yang terkait terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar larangan kepemilikan silang sesuai dengan Pasal 27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 (UU Anti Monopoli).
Temasek yang memiliki Indosat melalui STT tercatat juga menguasai 35% saham Telkomsel melalui Singtel. Temasek secara tidak langsung menjadi pemegang saham ganda di dua operator telekomunikasi terbesar di Indonesia.
KPPU memerintahkan Temasek dan kawan-kawan untuk menghentikan kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat dengan cara melepas seluruh kepemilikan saham pada salah satu perusahaan tersebut, paling lama dua tahun sejak putusan KPPU berkekuatan tetap.
Qtel sepakat untuk membayar 1,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp16,4 triliun (kurs Rp9.000 per dolar AS), untuk 40,8% saham STT di Indosat. Itu artinya, Temasek untung sekitar Rp11 triliun dari penguasaannya atas sekitar 40% saham Indosat dalam kurun waktu enam tahun.
Pada 2015 Indosat resmi berganti nama menjadi PT Indosat Ooredoo. Hal itu sejalan dengan perubahan nama Qatar Telecom menjadi Ooredoo yang dilakukan sejak 2013.
Pergantian kepemilikan dan nama tetap tak mengubah “kutukan” politik atas Indosat. Ia masih menjadi komoditas politik hingga belasan tahun setelah divestasi. Upaya untuk membeli kembali terus digaungkan, meski di saat yang sama Indosat berjuang untuk keluar dari kubangan kerugian.
Editor: Ivan Aulia Ahsan