tirto.id - Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan terkena krisis moneter pada 1997/1998. Dari keempatnya, Indonesia tercatat sebagai negara yang proses pemulihan ekonominya berjalan paling lamban.
Kajian yang dilakukan Bank Dunia “Indonesia: Rapid Growth, Weak Institutions” (2004) menyebutkan bahwa enam tahun setelah krisis, PDB Indonesia belum sepenuhnya pulih dari level sebelum krisis. PDB per kapita masih 10% di bawah level 1997.
“Hingga akhir 2003, lebih dari enam tahun setelah krisis Asia, Indonesia menjadi eks negara krisis terakhir yang berhasil lulus dari program stabilisasi yang didukung IMF,” tulis laporan Bank Dunia tersebut.
Dibanding negara-negara lain, kondisi Indonesia saat krisis memang paling rumit. Utang luar negeri membengkak, sistem perbankan lemah, tata kelola ekonomi buruk yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, ditambah tidak adanya stabilitas politik, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang rumit.
Pemerintahan Orde Baru saat awal-awal krisis juga dinilai setengah hati dalam mengimplementasikan program reformasi yang disusun bersama dengan tim IMF.
Thee Kian Wie dalam The Emergence of National Economy (2002: 233) menyebut sikap setengah hati pemerintah Orde Baru terlihat dari tidak diterapkannya program-program reformasi ekonomi. Salah satunya adalah program untuk menghilangkan hambatan kompetisi domestik, termasuk monopoli cengkeh yang dikelola oleh Tommy Soeharto. Juga monopoli impor sejumlah produk oleh Bulog.
Perbaikan Sistem Perbankan
Salah satu penyebab komplikasi krisis moneter 1997/1998 adalah rusaknya sistem perbankan nasional. Praktik-praktik perbankan tidak sehat dijalankan, memanfaatkan lubang-lubang peraturan yang ada sehingga menggerogoti kekuatan sistem perbankan.
Bank Indonesia dalam paparannya di Sejarah Bank Indonesia: Perbankan, Periode 1997-1999 menjelaskan, rentannya daya tahan perbankan nasional terhadap krisis disebabkan oleh kondisi internal. Misalnya, konsentrasi kredit pada sektor ekonomi tertentu, terutama kepada pihak-pihak yang terafiliasi dengan bank.
Kondisi perbankan diperburuk dengan tidak adanya penjaminan atas dana nasabah, lemahnya penegakan hukum, masalah dependensi bank sentral. Hal-hal tersebut menimbulkan moral hazard bagi manajemen bank. Akibatnya, mereka berani mengambil risiko tinggi dalam pengelolaan bank.
Saat krisis moneter datang, penanganan perbankan menjadi prioritas utama, mengingat sektor ini merupakan jantung sekaligus sumber kerusakan. Kesepakatan IMF dan Indonesia pada tahap awal menggarisbawahi hal itu. Setelah melakukan “diagnosa” atas kondisi ekonomi Indonesia, IMF akhirnya memberikan tiga "resep", yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) pertama. Salah satunya adalah membenahi sektor perbankan dengan menutup 16 bank yang “sakit”.
Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016: 188) menuliskan, pada awalnya IMF merekomendasikan penutupan 34 bank yang “sakit”. Namun, BI melakukan negosiasi untuk mengurangi jumlah bank yang ditutup, hingga akhirnya didapat kesepakatan 16 bank saja.
Sayangnya, keputusan tersebut malah memicu rush atau penarikan dana besar-besaran. Tujuan utama untuk perbaikan sektor perbankan justru tidak tercapai. Kondisi semakin tak terkendali.
Boediono menyebut salah satu penyebab gagalnya program pembenahan bank adalah informasi tentang perbankan yang tersedia tidak akurat dan berbeda dengan realitas. Hanya sejumlah bank yang umumnya berukuran relatif kecil yang benar-benar tidak sehat, sedangkan sisanya sehat atau sakit ringan.
Penutupan 16 bank semakin mengkonfirmasi masyarakat bahwa kondisi perbankan nasional tidak sehat. Para deposan memilih menarik dananya dari perbankan sehingga menyebabkan kekeringan likuiditas. BI mencatat, sebagian besar dana yang ditarik itu dipergunakan untuk berspekulasi valas, sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah makin tertekan.
Penarikan dana nasabah tidak hanya dalam bentuk uang tunai tetapi juga melalui kliring. Oleh karena itu, banyak bank yang saldo gironya di BI menjadi negatif. BI kemudian melakukan pengetatan likuiditas untuk mencegah bank-bank ikut berspekulasi valas.
Salah satu penyebab aksi rush tidak terbendung saat itu adalah ketiadaan penjaminan penuh atas simpanan perbankan. Pemerintah baru mengumumkan penjaminan atas simpanan di bawah Rp20 miliar beberapa saat kemudian. Pengumuman itu tetap gagal mengatasi rush.
Menurut Boediono (hlm. 193), beberapa tahun kemudian IMF menyimpulkan bahwa kepanikan sangat mungkin diredam seandainya sistem penjaminan penuh atas simpanan diterapkan. Penjaminan penuh sendiri baru diterapkan pada awal tahun 1998, setelah situasi semakin memburuk dan berkembang menjadi krisis perbankan total.
Terjadinya rush dan juga pengetatan likuiditas memicu naiknya suku bunga antarbank menjadi rata-rata 60 persen per tahun. Lalu terjadilah domino effect. Bank-bank pemberi pinjaman mengalami kesulitan likuiditas. Akibatnya, bank yang bersaldo negatif di BI makin banyak.
Pembenahan sistem perbankan yang sudah krisis sangat rumit. Pada tahap awal pembenahan perbankan, pemerintah mengambil langkah preventif untuk mengurangi dampak kerusakan terhadap sistem perbankan. Bank-bank yang sedang “sakit” dan dianggap dapat memicu kerusakan sistem perbankan dibekukan kegiatan usahanya dan diambil alih.
Pada 3 April 1998, pemerintah menetapkan tujuh bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan tujuh bank lainnya sebagai Bank Take Over (BTO). Pada Agustus 1998, tiga bank lainnya ditetapkan menjadi BTO.
Selanjutnya pada 21 Agustus 1998, pemerintah mengumumkan dua paket restrukturisasi perbankan secara menyeluruh. Paket pertama rekapitalisasi serta penyempurnaan ketentuan dan peraturan perbankan. Paket kedua, percepatan restrukturisasi bank.
Setelah program dilaksanakan, pada 13 Maret 1998 diputuskan bahwa 38 bank menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), 7 bank di-BTO. Sementara 9 bank swasta nasional, 12 BPD, dan semua bank BUMN diikutkan dalam program rekapitalisasi.
Sebagai bagian dari mengatasi masalah perbankan ini, pada 27 Januari 1998, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN bertugas melakukan restrukturisasi menyeluruh perbankan nasional, termasuk program rekapitalisasi perbankan dan program penjaminan tersebut.
BPPN selanjutnya memainkan peran paling penting. Ia mengelola aset yang setara dengan 36% PDB atau sekitar Rp441 triliun, seperti dikutip dari data Bank Dunia. Nilai ini terdiri dari utang yang diambil alih sebesar Rp234 triliun dan aset yang diserahkan pemilik bank Rp112 triliun dan investasi pada bank-bank peserta rekapitalisasi sebesar Rp94 triliun.
Namun, proses restrukturisasi dan penjualan aset tidak berjalan dengan lancar karena masalah hukum dan politik. Sebagian besar portofolio NPL harus dijual di bawah harga minimum yang ditetapkan BPPN. Menurut hasil audit BPK, seperti dikutip Boediono (hlm. 211), jumlah yang bisa dikembalikan BPPN sebesar Rp188,88 triliun atau berarti recovery rate 30,39%.
“Krisis membuat negara, dan tentu saja para pembayar pajak, membayar hingga 40% dari PDB untuk menalangi sistem perbankan. Ini mungkin krisis finansial yang paling mahal, yang pernah tercatat,” tulis Bank Dunia dalam kajiannya.
Restrukturisasi Utang Swasta
Persoalan lain yang harus segera dibenahi dalam rangka pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi utang swasta. Pelemahan rupiah membuat korporasi kesulitan karena belitan utang valasnya menjadi besar. Parahnya, utang-utang itu tidak diberikan hedging atau lindung nilai.
Berdasarkan data Bank Dunia, total utang luar negeri Indonesia hingga Maret 1998 sebesar 138 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, sebesar 64,5 miliar dolar AS merupakan utang yang dimiliki oleh perusaaan swasta, bank-bank sebesar 13,6 miliar. Sementara 12,8 miliar merupakan pinjaman antar-bank.
Total amortisasi pembayaran yang jatuh tempo pada tahun kalender 1998 diperkirakan mencapai 32 miliar dolar AS, sebelum restrukturisasi. Dari jumlah tersebut, 20 persennya merupakan utang yang dijamin oleh pemerintah. Sisanya merupakan utang swasta, dengan dua pertiga di antaranya utang jangka pendek. Jumlah tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai cadangan devisa saat itu.
Dengan nilai tukar rupiah yang melorot tajam atas dolar AS, hampir dipastikan perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan untuk membayar utang valas yang jatuh tempo. Untuk itu, restrukturisasi utang harus dilakukan.
Sayangnya, membereskan utang swasta bukan hal yang mudah karena tidak adanya data yang akurat. Ditambah lagi, masalah restrukturisasi utang swasta ini tidak masuk dalam poin LoI IMF sehingga tidak mendapatkan perhatian untuk dibenahi. Padahal, masalah ini juga menjadi salah satu pemicu krisis, karena korporasi terus memburu dolar untuk kebutuhan utang jatuh temponya. Jika tidak dikendalikan, maka hal itu bisa mengganggu jalannya pemulihan ekonomi.
Memasuki Januari 1998, pemerintah akhirnya mulai ikut aktif membereskan utang swasta ini. Perundingan restrukturisasi utang swasta dilakukan. Debitur Indonesia yang diwakili Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) berhasil mencapai kesepakatan dengan kreditur luar negeri, yang diwakili Bank Steering Committee.Pada 4 Juni 1998, kesepakatan Frankfurt untuk restrukturisasi utang swasta dicapai.
Kesepakatan Frankfurt mencakup penyelesaian pinjaman antarbank, pembiayaan perdagangan, dan pinjaman perusahaan swata. Penyelesaian pinjaman antarbank dilakukan melalui program exchange offer berupa penjadwalan kembali utang bank. Program pembiayaan perdagangan dilakukan dengan menghidupkan kembali credit line setelah tunggakan utang dagang diselesaikan BI. Untuk penyelesaian utang swasta pemerintah membentuk Indonesian Debt Resctructuring Agency (INDRA). Untuk membantu INDRA, pemerintah memberikan fasilitas dan dorongan guna memperlancar negosiasi antara debitur dan kreditur melalui program Prakarsa Jakarta.
Melalui restrukturisasi ini, diharapkan posisi likuiditas perusahaan bisa terjaga. Dengan demikian, tidak terjadi gangguan produksi sehingga tidak ada PHK dan perusahaan kembali bisa membayar kewajiban finansialnya.
Makro Ekonomi
Tidak hanya bank dan perusahaan saja yang menderita karena krisis. Masyarakat pun tak kalah menderita. Krisis menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat tajam.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin meningkat dari 34,01 juta orang (1996) menjadi 49,50 juta orang (1998)--secara persentase meningkat dari 17,47% menjadi 24,20%. Angka kemiskinan di kota meningkat tajam dari 9,42 juta (13,39%) pada 1996 menjadi 17,60 juta (21,92%) pada 1998. Di Desa, kemiskinan meningkat dari 24,59 juta (19,78%) menjadi 31,90 juta (25,82%)
Krisis juga menyebabkan terjadinya PHK massal, terutama karena terjadi di sektor-sektor yang padat tenaga kerja seperti properti dan manufaktur. Data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, per Februari 1998, jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur turun 13%, keuangan 7%, ketenagalistrikan 27%.
Namun, menangani kelompok yang rentan dan terdampak ini tidak mudah di tengah krisis dan gejolak politik. Setelah Soeharto mundur dan digantikan oleh BJ Habibie, pemerintah kemudian bergerak untuk menangani masalah ini.
APBN diperlonggar agar dapat memberikan bantuan kepada masyarakat miskin. Pada LoI Juli 1998, yang merupakan LoI pertama BJ Habibie, rencana ini akhirnya direalisasikan. Defisit APBN diperlonggar menjadi 8,5% dari PDB, terutama untuk membiayai program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan penyediaan kebutuhan pokok. Defisit ini lebih tinggi dibandingkan APBN 1997/1998 yang hanya sebesar 0,8% PDB.
Untuk menutup defisit, pemerintah mengupayakan tambahan utang dan melakukan privatisasi beberapa BUMN.
Menurut pemaparan Bank Indonesia, realisasi defisit pada APBN 1998/1999 ternyata hanya 2,2%. Ini dikarenakan realisasi pengeluaran yang jauh di bawah anggaran akibat membaiknya rupiah, kendala teknis pelaksanaan JPS, penghematan pengeluaran melalui penghapusan beberapa subsidi. Di sisi lain, penerimaan terutama dari ada kenaikan pendapatan dari pajak penghasilan dari pendapatan bunga serta kenaikan tarif pajak ekspor minyak sawit.
Beban pembiayaan defisit sedikit berkurang karena adanya restrukturisasi sejumlah utang luar negeri, yang disepakati dalam pertemuan Paris Club pada 20 September 1998.
Berbagai upaya pengendalian fiskal dan moneter mulai menampakkan hasil. Pada Oktober 1998, nilai tukar rupiah semakin terkendali di kisaran Rp7.000-8.000 per dolar AS.
Pada tahun 1999, sejumlah indikator ekonomi Indonesia mulai menunjukkan pembalikan. Pertumbuhan ekonomi yang pada 1998 minus 13%, pada 1999 sudah mampu tumbuh meski hanya 2%. Inflasi yang pada 1988/99 mencapai 45,4% secara berangsur turun. Pada Oktober 1998 dan Maret 1999 bahkan terjadi deflasi.
Krisis 1997/1998 menjadi krisis paling mahal yang dihadapi Indonesia. Tak kurang pemerintah harus menanggung surat utang sebesar Rp620,9 triliun yang terdiri dari biaya BLBI Rp144,5 triliun, biaya rekapitalisasi dan lain-lain yang diinjeksikan kepada bank Rp476,4 triliun (Boediono: 211). Ini belum termasuk kerugian karena jutaan PHK dan meningkatnya angka kemiskinan.
Ekonomi Indonesia juga mundur hingga beberapa tahun ke belakang. Butuh beberapa tahun bagi ekonomi Indonesia untuk pulih. Apa saja tantangan ekonomi Indonesia yang dihadapi pada tahun-tahun berikutnya?
Nantikan serial krisis ekonomi berikutnya.
======
Mulai Rabu, 30 September 2020, redaksi Tirto.id menurunkan serial artikel bertajuk "75 Tahun RI: dari Krisis ke Krisis". Serial ini akan memuat babak demi babak krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. Artikel ditayangkan setiap Rabu.
- Ekonomi RI Era 1950: Terbelit Utang, Tertekan Defisit Anggaran
- Ekonomi 1960-an: Hiperinflasi & Stagnasi di Tengah Gejolak Politik
- Ekonomi Awal Orba: Ganti Rezim, Ganti Haluan Ekonomi
- Indonesia 1970an: Kaya Minyak tapi Nyaris Pailit karena Pertamina
- Cara Orde Baru Menghadapi Resesi Global Awal 1980an
- Ekonomi Orde Baru 1980-an: Tancap Gas Liberalisasi
- Ekonomi Indonesia 1989-1996: Berjaya tapi Labil dan Penuh KKN
- Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia
Editor: Windu Jusuf