tirto.id - Sejak 15 Juni lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengizinkan pusat perbelanjaan kembali buka. Sebelumnya mal-mal ditutup imbas penerapan pembatasan sosial bersekala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran COVID-19.
Ketika itu Ketua Pusat Kajian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Puskakes Uhamka) M Bigwanto khawatir betul kebijakan ini bakal memicu klaster-klaster baru. “Kalau mal dan pasar dibuka, kita akan balik lagi ke posisi awal. Jadi 3 bulan PSBB sia-sia,” ujarnya 11 Juni lalu.
Di sisi lain, keputusan ini disyukuri pelaku usaha. Ketua Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat ketika itu berharap “dengan dibukanya kembali pusat belanja di DKI akan turut serta memberikan kontribusi positif atas bergeraknya roda perekonomian nasional.”
Namun harapan tersebut masih jauh panggang dari api. Para pelaku usaha masih merana karena kunjungan masyarakat minim.
“Baru 40 persen,” kata Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan kepada reporter Tirto, Selasa (4/8/2020), menjelaskan kapasitas mal. Itu pun hanya terjadi di mal besar seperti Plaza Senayan, Plaza Indonesia, dan Pacific Place, pada akhir pekan.
Sementara mal menengah di bawah itu. “Kalau mal menengah masih bagus, yang menengah ada kenaikan tapi enggak rata,” jelas dia, lalu menyebutkan salah satu contohnya adalah Kota Kasablanka.
Stefanus mengatakan masih rendahnya tingkat kunjungan mal karena masyarakat masih khawatir mengunjungi pusat-pusat keramaian seiring masih tingginya angka penularan virus Corona. Menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, jumlah pasien positif di DKI sebanyak 23.266 per 5 Agustus. 14.760 pasien sudah sembuh, sementara 7.611 masih dirawat atau isolasi.
Alasan lain, kata Stefanus, kondisi ekonomi masyarakat juga tidak baik. Banyak yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pemotongan gaji. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut ada 6 juta karyawan yang dirumahkan dan mengalami PHK selama masa pandemi. Kondisi ini jelas berpengaruh pada daya beli mereka. Dengan pendapatan yang kian minim, mereka harus lebih selektif melakukan pengeluaran. Berbelanja di mal tentu saja bukan prioritas.
“Daya beli masyarakat menurun, ya tentu juga orang memilih mana yang paling penting,” katanya.
Butuh Insentif
Beroperasi di tengah sepinya kunjungan membuat pengeluaran pengusaha mal semakin terasa memberatkan. Mereka, bagaimanapun, harus tetap mengeluarkan modal, misalnya untuk biaya operasional dan menambah berbagai kelengkapan agar sesuai dengan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Sebab jika tidak melakukan itu, mereka terancam ditutup.
“Biaya untuk itu [protokol kesehatan] enggak murah. Lebih dari Rp1 miliar (kumulatif se-DKI). Sementara sekarang saja 15 persen tenant sudah pilih tutup. Ya terpaksa harus jalan dengan tertatih-tatih,” katanya.
Dalam sebulan, kerugian yang diderita pengelola mal karena beban biaya operasional secara kumulatif se-DKI bisa mencapai Rp 4,9 triliun, katanya. Ditambah kewajiban membayar upah pekerja--menurut data asosiasi ada sekitar 6.000 pekerja di sektor ini--maka kerugian yang bisa ditanggung pengelola mal se-Jakarta mencapai Rp 6 triliun.
Stefanus menjelaskan para pengusaha mal kekurangan insentif dari pemerintah. Karena itu, sebagaimana banyak permintaan pengusaha di sektor lain, mereka juga berharap pemerintah memberikan relaksasi. “Harus ada relaksasi yang jelas dari pemerintah, bantuan apa saja yang diberikan ke pusat perbelanjaan,” katanya.
Ia menegaskan bantuan ini perlu dikeluarkan cepat-cepat, tidak boleh ditunda, sebab kesulitan para pengusaha sekarang “sudah sampai leher.” “Kalau sudah lewat hidung kita mati ini,” katanya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan campur tangan pemerintah bisa dalam hal subsidi biaya operasional, dari mulai listrik sampai air.
“Terkait dengan insentif perpajakan yang lebih efektif adalah pengurangan PPN dan pajak restoran. PPN dari 10 persen mungkin dikurangi 5 persen. Tapi kembali lagi, konsumen yakin berbelanja ketika kasus positifnya mengalami penurunan? Protokol kesehatan tidak bisa menjawab itu,” katanya kepada reporter Tirto.
Sementara Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan selain subsidi utilitas, pemerintah juga dapat memberikan subsidi untuk gaji para pekerja.
“Kalau tidak, akan sangat membebani mereka. Mereka harus membuka diri dengan segala protokol kesehatan dan ongkos operasional besar, ya enggak bisa tutup (balik modal),” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino