tirto.id - Diskursus soal kesejahteraan profesi guru memanas jelang peringatan hari ulang tahun ke-80 Rakyat Indonesia. Diskursus soal kesejahteraan guru salah satunya dipantik oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara pembukaan Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri (KSTI) Indonesia, Kamis lalu (7/8/2025), yang menyoroti tantangan keuangan negara terkait guru dan dosen. Ani, sapaan akrabnya, mempertanyakan apakah mesti keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat dalam tantangan ini.
Belakangan, Ani menambah besaran anggaran pendidikan bagi kategori penerima manfaat guru, dosen, dan tenaga pendidik. Dari sebelumnya hanya Rp178,7 triliun, menjadi Rp274,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Meski begitu, porsi untuk guru masih dianggap belum menyasar seluruh golongan. Jumlah itu juga masih perlu dibagi-bagi untuk dosen dan tenaga kependidikan.
Padahal, jumlah anggaran pendidikan RAPBN 2026 dengan total sebanyak Rp757,8 Triliun digadang-gadang sebagai yang terbesar dalam sejarah. Sayangnya, porsi untuk guru masih belum menjadi prioritas dan menimbulkan banyak pertanyaan. Jatah untuk program andalan Presiden Prabowo, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG), justru menjadi alokasi terbesar dalam Anggaran Pendidikan 2026 dengan total sebesar Rp223 Triliun.
Program tunjangan, insentif, hingga bantuan pemerintah untuk guru juga kerap kali dilabeli ‘hadiah’ atau ‘kado’, yang menandakan ketidakseriusan mengatur tata kelola kesejahteraan profesi guru secara holistik. Kenyataannya, masih banyak guru yang digaji murah, bahkan jauh dari status layak. Meski beban kerja mereka sama, pengaturan tata kelola yang lemah seakan membuat guru terfragmentasi berdasarkan golongan atau kategori.
Upah Tak Layak
Menurut survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada 2024 lalu, masih banyak guru yang menerima upah di bawah Rp2 juta per bulan. Survei yang dilakukan secara daring terhadap 403 responden guru di 25 Provinsi itu menjaring jawaban 123 guru berstatus PNS, 118 guru tetap yayasan, 117 guru honorer atau kontrak dan 45 guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian (PPPK).
Mayoritas responden mengaku penghasilan mereka sebagai guru tak mencukupi kebutuhan hidup. Padahal 66,6 persen responden survei yang dilakukan IDEAS mengaku menjadi guru sudah lebih dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan komitmen untuk mengabdi sebagai pengajar terus bertahan di tengah kondisi penghasilan yang masih belum layak.
Sebanyak 42,4 persen guru dari semua golongan mengaku menerima upah di bawah Rp2 juta per bulan. Kondisi ini memaksa guru mau tak mau mencari pekerjaan sampingan demi menambal biaya kebutuhan hidup mereka. Situasi tersebut jauh dari mandat Pasal 40 Ayat 1 pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memuat hak untuk guru memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.
Bahkan, dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kembali ditegaskan pada Pasal 14 Ayat 1, yang menjamin hak guru memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara wajar. Meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.
Namun implementasi jaminan-jaminan hak kesejahteraan guru itu jauh panggang dari api. Tata kelola dan paket aturan pemerintah hari ini cenderung mendorong guru terfragmentasi berdasarkan kelas atau golongan status. Guru yang cenderung mendapatkan penghasilan atau kesejahteraan sosial relatif layak adalah guru berstatus ASN atau guru tetap di sekolah swasta bergengsi. Apalagi jika keduanya memperoleh sertifikasi resmi sebagai pendidik.
Sedangkan bagi guru-guru yang masih honorer, kontrak, atau non-ASN dan lebih-lebih tidak memiliki sertifikat pendidik, maka penghasilannya masih jauh dari kategori guru sebelumnya.
Menurut Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada Juni lalu, sebanyak 600.814 guru di Indonesia belum lulus pendidikan sarjana strata 1 (S1) dan diploma 4 (D4). Hal ini berimbas mereka belum memenuhi kualifikasi sehingga tidak bisa memperoleh sertifikat dan tunjangan profesi guru.
Dari total 600.814 guru yang belum berkualifikasi S-1/D-4 adalah 249.623 guru pendidikan formal dan 35.191 guru pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal. Namun jumlah riil guru yang belum mendapatkan sertifikasi dan tidak mendapat tunjangan diprediksi lebih banyak.

Pasalnya, jumlah guru berdasarkan Data Pokok Pendidikan 2024 saja sebanyak 2.988.775. Sementara guru ASN dan non-ASN yang sudah tersertifikasi baru 2.172.865 orang. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Advokasi Guru, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri. Menurutnya, juga masih banyak guru yang sudah sertifikasi, tetapi tidak pernah cair tunjangan sertifikasinya karena mengajar dengan mata pelajaran yang berbeda.
Mereka di antaranya guru non-ASN yang bekerja di sekolah negeri dan sekolah swasta. Ini menggambarkan kondisi proses guru memperoleh upaya penghasilan tambahan amat rumit, tapi kepastian kesejahteraan mereka belum juga terjamin.
Pemerintah memang membuka kuota Pendidikan Profesi Guru (PPG) besar-besaran. Iman menyatakan, dari target 400.000 guru tersertifikasi, per Juli 2025 sekitar 101.581 dinyatakan sudah lolos seleksi administrasi PPG. Akan tetapi, guru yang sudah lulus PPG pun belum tentu mendapatkan pencairan sertifikasi. Pasalnya, masih tergantung keterisian beban kerja minimal para guru.
"Secara kesejahteraan masalahnya karena guru berkasta-kasta. Tentu saja guru ASN yang sertifikasi dianggap jenjang karir yang ideal. Di bawahnya, ada lagi guru PPPK sertifikasi itu juga cukup sejahtera. Nah, yang lain-lain itu adalah guru-guru yang non-ASN, honorer yang hanya digaji pemerintah daerah, masih mending kalau digaji sesuai upah minimum,” ungkap Iman kepada wartawan Tirto, Senin (26/8/2025).
Berdasarkan data BPS Februari 2025, sektor pendidikan masih termasuk kelompok bergaji rendah. Rata-rata upah pekerja sektor pendidikan nasional sekitar Rp2,79 juta/bulan. Di sisi lain, kesenjangan antardaerah masih sangat lebar.
Di satu sisi, DKI Jakarta mencatat rata-rata upah sekitar Rp5,45 juta, sementara di sisi lain, upah sektor jasa pendidikan di Jawa Timur hanya sebesar Rp2,04 juta. Maluku, Lampung, dan Bengkulu juga berada di beberapa urutan terbawah.
Ironisnya, wilayah dengan upah tinggi seperti Papua atau Sulawesi Tengah sebenarnya juga menghadapi ongkos hidup yang mahal, keunggulan nominal jadi berpotensi tergerus. Fakta ini menegaskan kesejahteraan guru bukan sebatas soal angka upah, tetapi juga menjamin daya beli dan kepastian kesejahteraan hidup profesi guru.
Iman menambahkan, yang bernasib paling miris adalah guru ‘honorer murni’, atau guru-guru yang direkrut langsung oleh kepala sekolah. Meskipun sudah dilarang regulasi, faktanya kategori guru ini dinilai masih eksis karena persoalan distribusi guru yang belum merata.
“Mereka masih diupah ratusan ribu per bulan. Guru inilah yang kemarin itu mendapat BSU dan insentif pemerintah sebulan Rp300 ribu. Menurut kami itu masih kurang sekali, karena per harinya Rp10 ribu, atau seharga satu piring MBG,” ucap Iman.
Selain itu, Iman mengingatkan supaya pemerintah tak mengabaikan guru-guru sekolah dan madrasah swasta. Menurutnya, banyak guru sekolah swasta diupah seadanya. Bahkan dari sekolah ada yang cuma mengandalkan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal dana BOS amat bergantung pada jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut.
Karenanya perlu dibentuk peraturan upah minimum bagi guru non-ASN, baik para honorer ataupun guru sekolah/madrasah swasta. Sehingga sekolah yang membayar tak layak, harus mengupah guru minimal sesuai upah minimum wilayahnya masing-masing. Hal itu membuat profesi guru akan setara dengan buruh yang sudah memiliki jaminan upah minimum, bahkan bisa menuntut kenaikan upah.
“Masa buruh ada jaminan upahnya, pegawai kebersihan ada jaminan upahnya, keamanan ada jaminan upahnya dari Kemenkeu, tapi tidak pernah punya rincian minimum gaji guru. Padahal pekerjaan guru dianggap paling signifikan karena dia mendidik seorang anak dan menentukan masa depan mereka,” ujar Iman.
Akankah Tambahan Anggaran Berpengaruh pada Kesejahteraan Guru?
Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PB PGSI) – yang menjadi wadah asosiasi bagi guru-guru di yayasan/swasta – masih bertanya-tanya tentang kenaikan anggaran pendidikan bagi guru dalam RAPBN 2026. Mereka menunut Menkeu Sri Mulyani menjelaskan rincian anggaran pendidikan yang disebut mengalami peningkatan itu.

Apakah itu artinya terjadi penambahan kesejahteraan bagi guru-guru yang sudah ada saat ini atau akan diberikan kepada guru-guru yang baru akan menerima tunjangan? Mereka khawatir, yang dimaksud peningkatan anggaran tersebut terjadi karena meningkatnya jumlah penerima tunjangan profesi guru.
Dengan peningkatan anggaran pendidikan untuk guru, PB PGSI berharap dibukanya kembali program penyetaraan guru swasta, yang sejak tahun 2019 ditutup.
Padahal, program penyetaraan adalah perintah UU Nomor 14 Tahun 2005 yang mewajibkan pemerintah menyetarakan guru sekolah/madrasah swasta agar ikut memperoleh Tunjangan Profesi Guru (TPG) setara dengan 1 kali gaji pokok sebagaimana guru PNS. Namun, sejak 2019 sampai 2025, program penyetaraan ditutup.

“Maka, tahun 2026 dengan APBN baru, PB PGSI menuntut komitmen pemerintah membuka kembali program penyetaraan/inpassing sebagaimana perintah pasal 16 Ayat (2) UU Guru dan Dosen. Sebab jika tidak dibuka, itu artinya pemerintah melanggar UU Guru dan Dosen,” kata Ketua Dewan Kehormatan PB PGSI Suparman Marzuki Nahali, kepada wartawan Tirto, Senin (25/8/2025).
Nahali bercertia, guru-guru swasta di lingkungan PB PGSI umumnya bekerja di sekolah dan madrasah swasta yang menampung murid kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Dengan kondisi seperti itu, anggota PB PGSI apabila mengandalkan penghasilan dari yayasan pengelola satuan pendidikan saja, hanya menerima upah bulanan Rp500 ribu sampai Rp2 juta saja.
“Bahkan ada guru yang diupah di bawah Rp500 ribu/bulan. Dengan penghasilan terbatas maka guru-guru mengandalkan tambahan penghasilan dari usaha berdagang dan lainnya di luar dunia pendidikan,” ujar Nahali.
Semrawutnya tata kelola guru di Indonesia menghasilkan profesi mulia ini masih jauh dari kata sejahtera dan tersegregasi berdasarkan kategori. Guru honorer atau kontrak terlempar dari jaminan kesejahteraan yang layak dan mesti berjuang keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditambah masalah distribusi dan kualitas guru, tantangan sektor pendidikan di negeri ini agaknya masih amat pelik.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id





































