tirto.id - Sikap membangkang sejumlah elite Demokrat yang lebih memilih mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019 bikin Andi Arief geram. Wakil Sekretaris Jenderal DPP Demokrat ini menuding pembangkangan kadernya dimotori Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto.
"Saya tidak mengerti kenapa Ibu Megawati merestui Hasto yang rajin membajak kader demokrat untuk gabung ke tim Jokowi. Apakah PDIP sudah sangat miskin kader berkualitas?" kata Andi melalui akun twitternya @AndiArief__, Kamis (30/8/2018).
Andi menengarai sikap Hasto yang doyan membajak kader Demokrat untuk kepentingan PDIP lantaran kecewa karena tidak pernah masuk daftar kader PDIP yang ditawari posisi menteri Kabinet Indonesia Bersatu II saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangi Pilpres 2009. Ia menilai Hasto sengaja memanfaatkan kekecewaan kader Demokrat atas gagalnya Agus Harimurti Yudhoyono menjadi cawapres. "Apakah karena itu dendam kesumat Hasto terhadap Demokrat enggak pernah padam?," ujar Andi.
Andi menuding sikap Hasto membajak kader Demokrat serupa dengan apa yang dilakukan Hasto ketika menggoda Ketua KPK Abraham Samad menjadi calon wakil presiden Jokowi. Menurutnya gara-gara itulah agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK jadi bermasalah. "Sekarang cara itu digunakan kepada kader-kader Demokrat. Anda tidak hebat, anda perusak," kata Andi.
Andi berharap Megawati Sukarnoputri selaku ketua umum PDIP segera menertibkan Hasto. Hal ini agar hubungan Demokrat dan PDIP tidak makin memanas. "Kami bukan hanya marah tapi sudah taraf eneg," ujar Andi.
Andi berhak geram. Pasalnya para kader Demokrat yang membangkang dari keputusan partai dengan Jokowi-Ma'ruf bukanlah kader semenjana. Mereka ialah elite yang pernah menduduki jabatan sebagai kepala daerah tingkat provinsi. Sebut saja misalnya nama gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi yang mulai menjadi kader sejak 2013 dan pernah menduduki posisi Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang mulai menjadi kader sejak 2008 sekaligus Ketua DPD Demokrat Jawa Timur, Gubernur Papua Lucas Enembe yang menjabat Ketua DPD Demokrat Papua sejak 2006, dan mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang menjadi kader Demokrat mulai Desember 2017 lalu. Deddy bahkan sudah resmi ditunjuk menjadi jubir Jokowi-Ma'ruf Amin pada pemilu 2019.
Selain mereka ada tiga kader Demokrat yang pernah pindah ke PDIP. Politikus pertama adalah Hasnaeni Moein. Ia mendaftarkan diri sebagai caleg DPRD DKI melalui PDIP karena kecewa terhadap SBY. Politikus kedua adalah Fadli Tuliabu. Ia sebelumnya menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bolaan Mongondow Selatan sebelum memutuskan bergabung dan maju sebagai caleg PDIP pada 2019. Terakhir ada nama Ruhut Sitompul yang sempat menjadi juru kampanye PDIP pada pilkada 2018. Ruhut adalah bekas kader Demokrat. Ia mengaku memiliki kedekatan dengan almarhum Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri.
Tapi tudingan Andi dibantah Hasto Kristiyanto. Lulusan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyebut selama ini partainya tak pernah membajak kader partai lain. "Kami tidak punya pengalaman membajak kader partai lain. Coba dilihat. Kemarin [kader Demokrat] bukan bergabung ke PDIP, ini bergabung mendukung pak Jokowi karena kepemimpinannya," kata Hasto, di posko pemenangan Jokowi-Ma'ruf, Menteng, Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Hasto mengaku enggan menanggapi lebih jauh tudingan Andi Arief. Ia berkali-kali menyebut bergabungnya sejumlah politikus Demokrat dalam barisan pendukung Jokowi-Ma'ruf semata karena soal kualitas petahana. "Sebaiknya setiap politisi itu berdisiplin dalam berbicara [...] Ketika ada kader kami yang pindah, kami lebih memilih introspeksi ke dalam," ujar Hasto.
Godaan Kekuasaan
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menganggap wajar sikap sejumlah kader Demokrat yang mendukung Jokowi atau pindah ke partai lain. Hal ini karena Jokowi adalah petahana, dan PDIP adalah partai pemenang pemilu 2014. "Karena Jokowi presiden dan PDIP partai pemenang pemilu. Sedangkan Demokrat partai di luar pemerintahan, jadi tidak punya power," ujar Ujang kepada Tirto.
Menurut Ujang, bisa jadi sejumlah kader yang membelot memang awalnya bergabung dengan Demokrat karena godaan kekuasaan. Setelah Demokrat tidak lagi berkuasa, kader-kader itu pun perlahan melepaskan diri. Ujang menganggap tak ada mekanisme internal yang dimiliki Demokrat untuk menghadang kadernya pindah ke partai lain. Ia juga memandang sebelah mata upaya konsolidasi internal Demokrat untuk menghentikan arus perpindahan kadernya.
"Semua berdasar kepentingan. Jika kepentingannya sudah tidak ada pasti lari. [Pencegahan Demokrat] tidak akan efektif, tapi setidaknya Demokrat merapatkan barisan dan konsolidasi, membangun loyalitas dan kebersamaan," katanya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino