tirto.id - Senyum bahagia tersungging di wajah Hasnaeni Moein saat menyambangi Rumah Lembang, Jakarta Pusat, Kamis, 24 November. Mengenakan baju dan kerudung putih, wanita kelahiran Makassar, 17 Juli 1976 itu menyatakan dukungannya terhadap pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat pada pemilihan gubernur (Pilgub) DKI 2017 mendatang.
Perempuan yang dikenal dengan julukan “Wanita Emas” itu beralasan, dirinya balik mendukung Ahok karena calon petahana tersebut telah banyak melakukan perubahan positif bagi masyarakat ibu kota. Salah satunya adalah penanganan banjir yang ia rasakan sendiri.
Karena itu, Hasnaeni akan mengerahkan simpatisannya untuk memilih Ahok menjadi gubernur kembali. Ia mengaku puas dengan sejumlah program Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta, khususnya terkait upaya Pemprov DKI mengatasi banjir dan menjadikan Jakarta bersih dari sampah.
Seperti diketahui, sebelumnya, Hasnaeni berniat maju menjadi bakal calon gubernur DKI Jakarta pada Pilgub 2017. Selama beberapa bulan, ia bahkan blusukan menemui warga ibu kota untuk meminta dukungan. Akan tetapi, niat si “Wanita Emas” tersebut pupus setelah tidak ada partai politik yang mengusungnya.
Ia gagal bersaing di bursa calon gubernur dan wakil gubernur DKI meskipun ia telah mengikuti konvensi yang diadakan sejumlah parpol, seperti PDIP dan Partai Demokrat. PDIP akhirnya mengusung pasangan Ahok-Djarot, sementara Demokrat sebagai kendaraan politik Hasnaeni saat maju sebagai calon legislatif pada Pemilu 2014 justru mengusung Agus Harimurti Yudhoyono, anak dari sang ketua umum partai, Susilo Bambang Yudhoyono.
Kegagalan tersebut membuat ia kecewa pada Partai Demokrat yang dianggapnya sebagai partai dinasti. Apalagi ia sudah dua kali gagal menjadi kandidat pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan 2017. Ia mengaku dipermainkan oleh partai berlambang mercy itu karena perjuangan sepuluh tahun mempersiapkan diri sebagai calon, justru disepelekan oleh Demokrat dengan mengusung anak Yudhoyono.
“Saya merasa kecewa, petinggi Demokrat mengabaikan saya begitu saja,” ujarnya seperti dikutip Antara.
“Walaupun saya ini pengurus keset kaki, tapi peranan seseorang tidak boleh diabaikan,” kata Hasnaeni berkeluh kesah. Karena itu, Hasnaeni menyatakan diri keluar dari Partai Demokrat dan berencana mendirikan partai sendiri yang diberi nama Partai Emas.
Keputusan Hasnaeni meninggalkan Partai Demokrat menambah daftar panjang nama yang keluar maupun dipecat partai gara-gara perbedaan sikap dan pilihan politik pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Sebelumnya, Partai Demokrat juga telah kehilangan salah satu kader terbaiknya, yaitu Ruhut Sitompul dan Hayono Isman.
Keduanya menyatakan tidak setuju dengan calon yang diusung Demokrat pada Pilkada DKI. Masing-masing memiliki alasan berbeda, namun substansinya sama: tidak sepakat dengan kebijakan Demokrat yang mengusung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Misalnya, Ruhut. Ia beralasan tidak ada kewajiban dirinya mendukung Agus Yudhoyono karena ia bukan kader partai, melainkan anak sulung dari Susilo Bambang Yudhoyono. Ruhut bahkan secara terang-terangan mendukung lawan politik Agus-Sylvi dan didapuk sebagai juru bicara pasangan Ahok-Djarot.
Partai Demokrat pun mengganjar Ruhut dengan pemecatan. Dewan Kehormatan Demokrat menilai pria kelahiran Medan, pada 24 Maret 1954 itu melanggar kode etik yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai serta Pakta Integritas.
Nasib yang sama juga dialami Hayono Isman, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Hayono juga dipecat Demokrat karena berbeda sikap dan dukungan pada Pilgub DKI 2017. Ia beralasan, dirinya tidak mendukung pasangan yang diajukan Demokrat karena ia baru mengetahui pasangan Agus-Sylvi menjelang pendaftaran, padahal sebelumnya tidak ada pembicaraan kepada dirinya maupun jajaran partai terkait pengusungan Agus-Sylvi. Karena itu, Hayono merasa persiapan Demokrat dalam mengusung Agus-Sylvi belum cukup matang.
Menurut Hayono, masyarakat Jakarta membutuhkan pemimpin yang siap bekerja mengatasi kompleksnya permasalahan ibu kota. Sebagai partai politik, seharusnya Demokrat ikut bertanggung jawab menghadirkan calon pemimpin bangsa yang profesional dan siap bekerja. Dari ketiga kandidat kepala daerah yang diusung saat ini, hanya pasangan petahana Ahok-Djarot yang memiliki persiapan matang untuk memimpin Jakarta.
Selain itu, Hayono juga mengkritisi sikap Partai Demokrat yang tidak menghargai perbedaan sikap politik dan memberikan sanksi pemecatan. Padahal, menurut Hayono, perbedaan pandangan seperti ini sebenarnya adalah hal biasa bagi Demokrat. Misalnya, pada Pilkada DKI 2012, ia juga menyatakan dukungan pada pasangan Jokowi-Ahok, padahal saat itu partai berlambang mercy itu mengusung pasangan Faiuzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Begitu juga pada Pilpres 2014 lalu. Saat itu, Hayono mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, sementara Demokrat memilih netral, dan partai memberikan kebebasan bagi kader untuk mendukung salah satu kandidat. Karena itu, ia merasa heran, mengapa perbedaan sikap pada Pilkada 2017 justru dipersoalkan hingga berujung pada pemecatan.
Perbedaan politik yang berujung pada pilihan meninggalkan partai atau dipecat juga terjadi di partai lain. Misalnya, Boy Sadikin di PDIP. Satelah partai besutan Megawati memutuskan mengusung pasangan Ahok-Djarot, Boy Sadikin langsung mengundurkan diri sebagai kader partai.
Dalam surat pengunduran diri yang ditujukan pada Megawati, 21 September itu, Boy Sadikin menulis tiga alasan. Pertama, karena aspirasinya berbeda dengan keputusan partai. Kedua, perbedaan tersebut akan berakibat negatif pada keutuhan dan soliditas PDIP. Ketiga, Boy Sadikin tidak ingin menjadi beban bagi PDIP dan dapat secara bebas menyalurkan aspirasi kepada pihak lain yang berkesuaian dengan isi hati nurani dan keyakinannya.
Pragmatisme Partai
Perbedaan pilihan politik yang berujung pada pemecatan atau pengunduran diri karena tidak sejalan soal calon yang diusung pada Pilkada, tentu menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah memang kader yang mbalelo atau karena pilihan partai yang terkesan otoriter dan tidak lagi mempertimbangkan visi misi kandidat dalam mengusung calon? Atau proses pengkaderan yang gagal sehingga tidak ada kader yang berprestasi dan memiliki elektabiltas tinggi yang bisa diusung pada gelaran Pilkada?
Jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas memang tidak tunggal. Namun, fenomena pragmatisme partai politik dalam setiap gelaran pilkada menjadi salah satu indikasi gagalnya parpol melakukan rekrutmen dan kaderisasi. Akibatnya, tidak ada kader partai yang memiliki nilai plus untuk diusung pada gelaran pesta demokrasi tersebut.
Tak heran jika pada awal-awal seleksi bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI, beberapa partai politik mengalami kesulitan menemukan kandidat yang bisa diusung, bahkan konvensi seleksi bakal calon yang dilakukan Partai Demokrat maupun PDI Perjuangan tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Hal tersebut terbukti, dari ketiga calon gubernur DKI saat ini, bukan hasil konvensi yang diadakan partai. Misalnya, Anies Baswedan. Ia tidak pernah mengikuti konvensi bakal calon gubernur yang diadakan oleh parpol, namun akhirnya koalisi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusung dirinya sebagai calon gubernur.
Begitu juga dengan Ahok, ia bahkan berniat maju dari jalur perorangan sebelum dijagokan oleh koalisi PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura. Hal yang sama juga terjadi pada calon gubernur yang diusung koalisi Demokrat, PKB, PPP, dan PAN. Koalisi Cikeas ini ujug-ujug mengajukan nama Agus Harimurti Yudhoyono, padahal nama lain seperti Yusril Ihza Mahendra dan Hasnaeni Moein atau Wanita Emas ikut dalam konvensi calon yang diadakan oleh Demokrat.
Dari tiga kandidat gubernur dalam Pilgub DKI 2016, tidak ada satu pun yang merupakan kader partai. Hanya kandidat wakil gubernur yang punya latar belakang sebagai kader partai yaitu Djarot (PDIP) dan Sandiaga (Gerindra). Sedangkan Sylviana, pendamping Agus, bukan kader partai. Sebelumnya ia adalah birokrat di lingkungan Pemprov DKI.
Munculnya pragmatisme partai dalam mengusung kandidat ini justru membuat proses kaderisasi mampet. Proses rekrutmen dan pengkaderan yang minim membuat kesempatan bagi politisi “kutu loncat” menjadi subur. Politisi oportunis ini masuk partai politik hanya untuk memuaskan kepentingan politik pribadi, sehingga apabila kepentingannya sudah tidak bisa diperjuangkan pada partai tertentu, maka dengan mudah melirik partai lain yang mendukung kepentingan politiknya.
Terlepas dari itu, sikap politik Ruhut Sitompul, Hasnaeni Moein, dan Hayono Isman, maupun Boy Sadikin patut dijadikan refleksi bersama. Apakah memang karena mereka mbalelo atau karena pilihan partai yang terkesan otoriter dan tidak lagi mempertimbangkan rekam jejak dan jerih payah kadernya sendiri?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS