tirto.id - Sejumlah politikus PDI Perjuangan mengkritik pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengatakan bahwa oknum Badan Intelijen Negara (BIN), Polri dan TNI tidak netral dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018.
Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan, Komarudin Watubun, menilai pernyataan tersebut tidak pantas dikeluarkan seorang mantan presiden. Pernyataan tersebut dapat menciptakan kegaduhan dan spekulasi di tengah-tengah masyarakat.
"Harusnya dia bisa berpikir [sebagai] negarawan. Bukan melempar bola panas ke publik," kata Komarudin kepada Tirto, Minggu (24/6/2018).
Bola panas yang ia maksud adalah tidak spesifiknya pernyataan. SBY, misalnya, tidak menyebutkan nama persis siapa oknum yang dimaksud. Padahal kalau memang serius, ia bisa saja menyebut nama, agar diproses sebagaimana mestinya.
"Institusi pemerintah terus dipersalahkan begitu menurut saya tidak pantas," kata Komarudin.
Kalaupun memang tidak mau menyebut nama, SBY bisa saja menyampaikan hal tersebut langsung kepada Joko Widodo atau pimpinan institusi yang ia sebut namanya. Hal ini sangat mungkin dilakukan mengingat reputasi SBY yang selain sebagai mantan presiden, juga seorang purnawirawan dengan pangkat terakhir jenderal.
"Untuk sekelas SBY, saya pikir itu tidak sulit dilakukan," katanya.
Menurutnya apa yang dilakukan SBY sebatas manuver politik dengan harapan mendulang suara masyarakat di bilik suara pada hari pemilihan 27 Juni nanti, bukan untuk kepentingan bangsa dan negara.
"Untuk elektoral anaknya dan partainya saja. Itu mudah dibaca," kata Komarudin.
Manuver politik ini, kata Komarudin, sayangnya sudah tidak laku lagi. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang sudah lebih cerdas, terlebih strategi politik SBY dinilai "itu-itu saja": playing victim.
"Masyarakat sudah 10 tahun dipimpin SBY. Sudah lelah dan muak dengan cara-cara seolah dizalimi semacam itu," kata Komarudin.
Anggota Komisi II DPR ini juga merasa pernyataan SBY cukup konyol dengan membandingkan apa yang terjadi pada pemilu 2009 lalu.
Kata Komarudin, SBY sebaiknya menjelaskan ke publik apa yang terjadi pada pemilu 2009. Ketika itu, kata Komarudin, SBY memanfaatkan jabatannya untuk membantu Demokrat memperoleh suara yang lebih banyak dengan timbal balik jabatan kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia juga dianggap perlu menjelaskan kasus yang menimpa Antasari Azhar, yang menurutnya merupakan manuver SBY menyembunyikan kecurangannya belaka.
"Antasari, ketua KPK, dipenjara karena mengusut IT Pemilu," kata Komarudin.
Hal senada disampaikan Ketua DPP PDIP Bidang Ekonomi, Hendrawan Supratikno. Menurutnya, pernyataan SBY adalah gaya politik lama yang cenderung melodramatis.
"Ini disampaikan jelang hari tenang sehingga hari tenang diisi dengan undangan bersimpati," kata Hendrawan kepada Tirto.
Direktur Eksekutif Populi Centre, Usep S Ahyar, malah menilai sikap SBY akan kontradiktif dengan hasil yang diharapkan. Publik, katanya, akan menanggap partai tersebut hanya memanfaatkan simpati belaka.
"Ya, publik juga bisa mengira kalau itu ketakutan pribadi SBY karena dia pernah melakukan hal yang sama sama saat jadi presiden," kata Usep kepada Tirto.
Demokrat Menyanggah
Tentu saja tuduhan-tuduhan itu disanggah Demokrat. Wakil Ketua Umum Demokrat, Syarifudin Hasan, mengatakan tidak ada maksud dari SBY untuk memperkeruh suasana menjelang pilkada serentak 2018.
"Justru ini mengingatkan. Supaya tidak keruh, pemerintah harus sadar, harus preventif, harus melakukan perbaikan," kata Syarifudin kepada Tirto.
Ia juga menyanggah anggapan kalau pernyataan SBY sebatas tuduhan tak berdasar. Sebaliknya, apa yang dinyatakan pria asal Pacitan yang mengenyam pendidikan Akabri pada 1973 ini memang benar-benar terjadi. Kenapa SBY tidak mau menyebut nama, katanya, karena ia ingin yang bersangkutan sadar sendiri.
"Lebih bagus mengingatkan saja dulu," kata Syarifudin.
Anggota Komisi I DPR ini menilai keputusan SBY menyampaikan pernyataannya secara terbuka sudah tepat. Masyarakat perlu tahu, katanya, sehingga bisa sama-sama mengawasi pelaksanaan pilkada.
"Sekalipun ada tim dari Demokrat yang mengawasi, kalau pemerintah tidak netral sementara perangkatnya mereka yang menguasai, tetap saja tidak digubris."
Ia juga membantah bahwa SBY curang pada pemilu sembilan tahun lalu. Menurutnya, SBY selalu berkomitmen menjaga netralitas.
"Pak SBY waktu itu benar-benar netral. Semua institusi diharapkan buat netral. Tidak ada indikasi contoh soal yang menunjukkan SBY tidak netral. Kalau sekarang ini kan banyak," kata Syarifudin.
Syarifudin mengaku heran dengan pernyataan keras sejumlah elite PDIP. Menurutnya keterangan SBY sama sekali tidak diarahkan langsung ke partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 itu.
"Kami tidak ada urusan dengan PDIP. Mereka juga sama-sama kontestan dalam pilkada yang seharusnya juga peka atas hal ini," kata Syarifudin.
Bukan Kali Pertama
Pernyataan SBY tentang indikasi kecurangan di pilkada serentak 2018 disampaikan dalam jumpa pers di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/6/2018) kemarin. Dalam kesempatan ini ia membeberkan serangkaian dugaan kecurangan oleh BIN, Polri dan TNI di pilkada sebelumnya.
SBY menyebut ketidaknetralan aparat terjadi saat pilgub DKI tahun lalu. Menurutnya, kejanggalan terjadi saat polisi melakukan pemeriksaan terhadap Sylvia Murni sebagai calon wakil gubernur yang diusung Demokrat.
Menantu Sarwo Edhie ini juga menyebut kecurangan lain, yaitu ketika calon gubernur Papua yang mereka usung, Lukas Enembe, diminta oleh petinggi Polri dan BIN untuk menerima seorang jenderal polisi sebagai wakilnya. Begitu juga calon di pilgub Kalimantan Timur, kandidat mereka terancam tidak bisa maju lantaran diperkarakan polisi. Ia juga menyebut kalau di pilgub Riau petinggi BIN meminta TNI memenangkan pasangan tertentu yang tidak mereka usung.
Paling baru, SBY menyebut terdapat kejanggalan pada pilgub Jawa Timur. Menurutnya, koordinator serikat pekerja yang ingin mendukung pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dipanggil pihak kepolisian sehingga kunjungan kandidat tersebut ke salah satu pabrik dibatalkan.
Hal-hal yang disampaikan SBY tersebut sebenarnya bukan pertama kali keluar dari politikus Demokrat. Pada 3 Januari lalu, atau lima hari sebelum pendaftaran pilkada serentak 2018, Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, juga menyampaikan pernyataan resmi yang persis semacam itu.
Hinca meminta kepada Jokowi agar mengusut ketidakadilan yang dialami kader-kader Demokrat dalam pilkada. Ia pun meminta Jokowi merawat demokrasi di Indonesia dan menghentikan perlakuan tidak adil dalam proses demokratis ini.
"Kami berharap Presiden Jokowi agar pilkada dapat berjalan fair, adil dan jujur," kata Hinca.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino