tirto.id - Wacana koalisi Demokrat dengan PDIP untuk mendukug Joko Widodo di Pemilu Presiden 2019 terancam gagal. Setya Novanto, terdakwa kasus korupsi E-KTP, yang memantik bara panas di antara kedua partai. Saat menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Novanto bernyanyi tentang dua pentolan PDIP Puan Maharani dan Pramono Anung turut menerima uang proyek E-KTP. Nyanyian Novanto itu kemudian memicu pernyataan saling serang antara elite PDIP dengan Demokrat.
Hendri Satrio, peneliti politik dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia menyebut saling serang antara PDIP dan Demokrat semakin memupus peluang koalisi kedua partai di Pilpres 2019. Menurut Hendri respons Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto atas pernyataan Novanto merupakan blunder politik yang merugikan Jokowi.
Meskipun Jokowi sudah mengantongi dukungan politik mayoritas dari PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, Perindo, dan PSI, namun survei elektabilitas Jokowi dinilai belum berada di angka aman. Sehingga potensi kehilangan dukungan dari Demokrat bisa menambah berat langkah Jokowi memenangi Pilpres 2019.
Di sisi lain, Hendri mengatakan PDIP sebenarnya tidak membutuhkan dukungan politik Demokrat. Sebab elektabilitas dan perolehan suara PDIP di Pemilu 2014 jauh melampaui Partai Demokrat. Hal ini terjadi karena Demokrat belum memiliki figur sekuat SBY yang bisa diandalkan untuk menambah perolehan suara. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang digadang-gadang menjadi suksesor SBY pun dinilai belum memiliki pengalaman politik yang matang.
”Basisnya PDIP selalu lebih besar dari Demokrat, jadi tidak mungkin PDIP yang meminta pada Demokrat, pasti sebaliknya,” ujar Hendri.
Perseteruan antara PDIP dengan Demokrat sudah merentang jauh kebelakang sebelum nyayian Novanto di ruang sidang. Hubungan kedua partai merenggang jelang Pilpres 2004. Saat itu SBY yang menjabat sebagai menkopolhukam memilih mundur dari kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati dan maju sebagai calon presiden menjadi pesaing Megawati. Hasilnya? SBY tidak saja mengalahkan Megawati di Pilpres 2004 tapi juga di 2009.
“Mereka [Demokrat dan PDIP] ada atau tidak ada [perselisihan karena] kasus E-KTP saya meyakini mereka nggak akan berkoalisi. Ini cuma menambah parah saja."
Ujang Komaruddin, Direktur Indonesian Political Watch menilai perseteruan PDIP dengan Demokrat dalam kasus proyek E-KTP makin mempersempit usaha Demokrat menjadikan AHY cawapres Jokowi. Situasi ini kian diperparah dengan resistensi yang mungkin muncul di kalangan partai-partai koalisi pendukung Jokowi.
“Memangnya partai lain mau mengalah memberikan kursi cawapres pada Demokrat yang ujug-ujug masuk koalisi? Belum lagi kalau PDIP tidak mau Jokowi didampingi AHY,” kata Ujang.
Ujang mengatakan potensi buntu berkoalisi dengan PDIP mendukung Jokowi mengharuskan Demokrat mencari skenario lain untuk meloloskan AHY di bursa capres cawapres Pilpres 2019. Menurut Ujang ada dua skenario yang sama sulitnya untuk ditempuh PDIP. Pertama membangun poros koalisi bersama PKB dan PAN. Namun dalam skenario ini AHY mesti bersaing dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang sama-sama mengincar posisi capres dan cawapres.
“Dibanding Cak Imin dan Zulkifli, memang AHY kalah pengalaman. Tapi elektabilitas dia cukup tinggi. Itu pasti yang nanti menjadi perdebatan,” kata Ujang.
Skenario lain adalah berkoalisi dengan Gerindra yang kemungkinan besar akan mengusung sosok Prabowo Subianto. “Tapi pertanyaannya, apakah SBY mau anaknya berada di bawah Prabowo? Tidak ada yang tidak mungkin memang, tapi sulit,” ujarnya.
Saling serang pernyataan antara elite PDIP dengan Demokrat bermula dari respons sinis Hasto Kristiyanto atas ucapan Setya Novanto di persidangan. Ia menyebut ucapan Novanto hanya sebatas usaha untuk meraih status sebagai justice collaborator. Tak cukup di situ Hasto juga berdalil PDIP merupakan partai oposisi di 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) PDIP
“Dengan demikian tidak ada posisi politik yang terlalu kuat terkait dengan kebijakan KTP Elektronik sekalipun,” katanya.
Ia kemudian menyeret nama Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga ketua umum Partai Demokrat untuk menjelaskan persoalan proyek E-KTP secara gambling. “Itu bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat,” kata Hasto.
Merasa Gamawan bagian dari rezim SBY, pejabat teras Demokrat tak tinggal diam. Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan menyebut pernyataan Hasto sebagai upaya cuci tangan.
“Pernyataan Sekjen PDIP yang langsung menyalahkan kebijakan dan program E-KTP lantaran kader-kadernya ada yang diduga terlibat korupsi E-KTP ibarat mencuci tangan yang kotor, dan kemudian airnya disiramkan ke orang lain,” kata Hinca.
Wakil Ketua Komisi Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Boyke Novrizon menilai pernyataan Hasto sebagai cara politik yang tidak cerdas. Baginya ucapan Hasto tidak hanya merugikan Demokrat tetapi juga PDIP. Novrizon bahkan meminta Megawati selaku ketua umum PDIP mencopot Hasto dari jabatan sekjen partai.
“Cukuplah kebodohan Hasto hanya dirasakan sama dirinya sendiri dan jangan ditularkan kebodohan itu kepada Ibu Megawati Sukarnoputri,” kata Novrizon dalam pesan tertulis kepada wartawan. “Ada baiknya PDIP dan Ibu Megawati Mengganti posisi sekjen saudara Hasto Kristiyanto.”
Istilah cuci tangan yang disampaikan Hinca juga direspons dengan metafora yang tak kalah sinis dari politikus PDIP Masinton Pasaribu. "Ya, yang bilang cuci tangan itu suruh cuci muka dulu saja," kata Masinton di Jakarta.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Muhammad Akbar Wijaya