tirto.id - Perang komentar mulai muncul menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018, setelah Partai Demokrat menyebut Sjaharie Jaang yang akan diusung dalam Pilkada Kalimantan Timur dianggap dikriminalisasi. Tudingan Demokrat menyulut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berkomentar pihaknya tak pernah intervensi kasus yang melibatkan Jaang.
Tanggapan itu disampaikan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Kamis kemarin. Tanggapan Hasto rupanya tak melerai saling tuding dan malah membikin Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik balik berkomentar.
Dalam pernyataan tertulis yang diterima Tirto, Rachland menuding PDIP mengamini adanya kriminalisasi terhadap Jaang jelang dibukanya masa pendaftaran kandidat Pilkada 2018. Rachland mengklaim, Hasto tak menampik dugaan partainya bertanggung-jawab dalam operasi dan kriminalisasi yang bertubi-tubi terhadap Partai Demokrat.
"Ia tanpa rasa malu justru seperti mengamini praktik-praktik kotor yang lagi-lagi melibatkan polisi," kata Rachland, Jumat (5/1/2018).
Selain Rachland, tanggapan atas dugaan kriminalisasi juga disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan. Menurut Hinca, semua pernyataan yang dikeluarkan Demokrat sudah berdasarkan bukti dan fakta.
"Silakan dibantah, tapi kami juga menjelaskan bahwa apa yang kami sampaikan adalah fakta," kata Hinca di Kantor DPC Demokrat di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Tanggapan PDIP
Tudingan Rachland dan Hinca dibantah Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno. Hendrawan menilai Demokrat berlebihan menghubungkan kasus hukum Sjaharie Jaang dengan dinamika Pilkada Kaltim 2018. Menurutnya, sikap yang seperti itu malahbisa menciptakan kegaduhan politik di masyarakat.
"Kasus hukum itu kan banyak. Kalau semua dihubungkan ke Pilkada, gaduh lah," kata Hendrawan kepada Tirto.
Dalam hal ini, Hendrawan menyebut bila PDIP mau menggunakan logika kriminalisasi seperti yang dilakukan oleh Demokrat dalam momen Pilkada, maka banyak kasus yang bisa dijadikan alat. "Misalnya OTT bupati di Kalsel kemarin itu dan soal Azwar, itu bisa saja kami sebut kriminalisasi. Tapi kami tidak begitu," kata Hendrawan.
Ia membantah tuduhan Rachland bahwa Hasto terlalu reaksioner. Sebaliknya, Hendrawan menganggap Hasto hanya mengungkap ketidaksetujuan atas drama politik yang ditampilkan Partai Demokrat.
Hendrawan pun berharap tidak ada lagi tuduhan-tuduhan kriminalisasi yang berujung pada kegaduhan politik di negeri ini, terlebih menjelang tahun politik 2018 dan 2019. "Kami ini sahabat semua kok. Di antara politisi PDIP dan Demokrat biasa saling berdiskusi. Seharusnya begitulah yang terjadi. Semua bisa didiskusikan," kata Hendrawan.
Panas-Dingin Lebih Satu Dasawarsa
Saling balas komentar antara politikus Partai Demokrat dengan PDI-P menambah daftar panjang pertikaian dua parpol tersebut. Jauh sebelum kontroversi kriminalisasi jelang Pilkada 2018 mencuat, PDIP dan Demokrat kerap terlibat perang argumentasi.
Awal tahun lalu, Partai Demokrat sempat menuding demonstrasi di depan kediaman mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 6 Februari 2017, yang dikaitkan dengan seorang kader PDIP.
Sembilan bulan berselang, PDIP melalui Hasto Kristiyanto menuding Partai Demokrat melakukan politik outsourcing lantaran mengusung Khofifah Indar Parawansa dan Bupati Trenggalek Emil Dardak. Emil disebut Hasto sebagai kader PDI-P.
Dua insiden saling serang itu hanya sekian dari insiden lain yang pernah mewarnai politik nasional. Ketidakakuran dua partai ini punya benih dari peristiwa yang terjadi lebih dari satu dasawarsa lalu, tepatnya saat Megawati Soekarnoputri masih menjabat sebagai presiden.
Mega dan SBY sempat tegang beberapa bulan sebelum Pemilu 2004 berlangsung. Saat Megawati menjabat Presiden, SBY merupakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Pertikaian itu membuat SBY mengundurkan diri dari jabatannya. Ketegangan semakin memuncak saat SBY maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2004.
Pertikaian dua politikus ini kemudian menandai era drama politik "Teuku Umar-Cikeas". Selama masa kepemimpinan SBY, PDI-P memilih menjadi oposisi buat pemerintah, sementara ketika Jokowi menjadi presiden, giliran Demokrat yang memilih posisi netral di lingkungan legislatif.
Bukan Zamannya Lagi Dramatisasi Politik
Pengulangan drama politik yang dilakukan Partai Demokrat jelang Pilkada 2018 ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan politik saat ini. Menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, cara SBY dan Partai Demokrat dengan memposisikan diri sebagai korban di pilkada tak akan mendapat banyak perhatian dari masyarakat.
"Kalau pun Demokrat belakangan memunculkan semacam melodrama bahwa banyak kandidatnya di daerah yang merasa dikriminalisasi mungkin saja itu benar, tapi itu tidak perlu diungkapkan ke publik sebagai upaya playing victim. Sekarang sudah tak zaman strategi playing victim, merasa dirinya dizalimi," kata Adi kepada Tirto.
Sebagai partai yang tokohnya pernah berkuasa selama satu dasawarsa di Indonesia, Adi menilai, Demokrat tak memiliki momentum di dunia politik. Selain karena kehilangan sosok SBY untuk 'menjual' Demokrat, partai itu juga disebut mulai ditinggalkan karena sikapnya yang selalu mencari aman.
Adi berkata, ketidakjelasan sikap Partai Demokrat di parlemen yang membuat turunnya elektabilitas partai tersebut. Berdasarkan hasil survei lembaga Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) yang dirilis 2 Januari 2018, Demokrat meraih tingkat keterpilihan 7,7 persen dari 1.220 responden. Angka itu lebih rendah dibanding raihan Demokrat di Pemilu 2014 sebesar 10,19 persen.
"Saat ini sudah terbelah yang pro pemerintah dan oposisi, nyaris tak ada pemilih kita sekarang posisinya di tengah seperti Demokrat. Apresiasi masyarakat ke Demokrat sekarang kecil," kata Adi.
Meski perolehan suara Partai Demokrat berdasarkan survei dan prediksi pengamat disebut mengecil, partai itu tetap memiliki target besar pada Pilkada 2018. Melalui Hinca, Partai Demokrat mengumumkan pemasangan target memenangkan 35 persen dari seluruh calon kepala daerah yang mereka usung di Pilkada 2018.
"Target sama seperti tahun lalu, 35 persen. Nama-namanya kami umumkan sebelum tanggal 8 [Januari]," kata Hinca.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih