Menuju konten utama

Demokrat vs PDIP: Drama Adu Gengsi Menuju Pilpres 2019

Eskalasi perseteruan antara PDIP dan Demokrat akibat "nyanyian" Setya Novanto di sidang korupsi e-KTP semakin meningkat.

Demokrat vs PDIP: Drama Adu Gengsi Menuju Pilpres 2019
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) berjabat tangan dengan Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) disaksikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat 2018 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (10/3). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Kesaksian Setya Novanto yang menyebut nama Puan Maharani dan Pramono Anung saat sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor membuat Demokrat dan PDIP bersitegang. Polemik ini semakin meruncing setelah politikus Demokrat, Boyke Novrizon meminta agar PDIP mencopot Hasto Kristiyanto sebagai sekjen.

Wakil Ketua Komisi Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat itu menilai, pernyataan Hasto sebagai cara politik yang tidak cerdas. Menurut Boyke, ucapan Hasto tidak hanya merugikan Demokrat, tetapi juga PDIP, sehingga ia meminta Megawati mencopot Hasto dari jabatannya.

Dosen Ilmu Politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno menilai, saling serang antara kedua parpol itu sebagai perang psikis menuju Pilpres 2019 dengan memanfaatkan pernyataan Setya Novanto sebagai alasan.

Hal itu terindikasi dari pernyataan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto dan respons Sekjen Demokrat, Hinca Panjaitan yang menjadi permulaan perseteruan kedua partai tersebut. Menurut Adi, kedua politikus tersebut dengan sadar mengarahkan argumen untuk saling memojokkan partai masing-masing, ketimbang inti persoalan pada pernyataan Setya Novanto di sidang kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor.

"Harusnya kan cukup meminta KPK bekerja dengan netral dan membuktikan tuduhan Setya Novanto. Tidak perlu menyeret rezim SBY dan ada tuduhan cuci tangan,” kata Adi kepada Tirto, Minggu (25/3/2018).

Adi menilai, kedua partai tersebut berusaha menunjukkan kepada publik bahwa antara satu sama lainnya tidak ketergantungan, meskipun kedua parpol itu membuka peluang berkoalisi mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019.

Menurut Adi, kedua partai tersebut sama-sama merasa sebagai partai politik besar dan berusaha mempertahankan gengsinya masing-masing. “PDIP tentu saja tidak mau kalau Demokrat terlalu mesra dengan Jokowi. Karena mereka merasa sebagai pemilik sah Jokowi dan tidak mau melepas sepenuhnya ke sana,” kata Adi.

Selain itu, lanjut Adi, PDIP masih tidak rela jika pada akhirnya Jokowi disandingkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres. Karena, menurut Adi, cawapres Jokowi berpeluang menjadi capres di Pemilu 2024.

"Itu sama saja mewariskan jabatan presiden kepada seteru mereka selama ini," kata Adi.

Sebaliknya, kata Adi, Demokrat tidak ingin PDIP terlalu ikut campur terhadap upaya pencapresan Jokowi. Termasuk dalam menentukan cawapres Jokowi mendatang. “Demokrat memang ingin memisahkan PDIP dengan Jokowi. Ini ingin dikesampingkan bahwa yang penting Jokowi, bukan PDIP. Tapi Demokrat gagal," kata Adi.

Konflik Dibiarkan Terus Berjalan

Pernyataan Adi ini berbanding lurus dengan fakta yang terjadi. Eskalasi perseteruan antara PDIP dan Demokrat akibat “nyanyian” Setya Novanto di sidang korupsi e-KTP memang semakin meningkat. Sejumlah politikus kedua partai itu ikut serta melibatkan diri di dalamnya.

Dari sisi politikus PDIP misalnya, mereka mendukung pernyataan Hasto yang menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung tidak mungkin terlibat dalam pusaran kasus korupsi e-KTP seperti halnya yang dituduhkan Setya Novanto.

Mereka bahkan sepakat dengan alasan Hasto bahwa PDIP saat berjalannya proyek e-KTP tidak berada di dalam rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengambil kebijakan atas proyek yang diduga merugikan uang negara sebesar Rp2,3 triliun itu.

Para politikus PDIP tersebut juga membantah tuduhan Demokrat bahwa Hasto sedang memainkan politik cuci tangan. Sebaliknya, mereka menyebut politikus partai berlambang mercy yang menuduh demikan sedang kebakaran jenggot.

Ketua organisasi sayap PDIP, Repdem, Masinton Pasaribu menyatakan, sebelum para elite Demokrat tersebut menuduh sekjen partainya memainkan politik cuci tangan, mereka harus "cuci muka terlebih dulu supaya bisa melihat persoalan dengan jernih."

Hal yang sama juga diungkapkan Sekretaris Badan Kaderisasi PDIP, Eva Kusuma Sundari yang menilai tak ada yang salah dengan pernyataan Hasto.

"Jadi Hasto mengingatkan soal common sense dalam proses hukum. Jangan PDIP dijadikan kambing hitam. Tapi balik kepada prinsip dasar data dan fakta hukum," kata Eva kepada Tirto, Mingu (25/3/2018).

Anggota DPR RI Fraksi PDIP ini menyoroti pula pernyataan Wakil Ketua Pemenangan Pemilu Demokrat, Boyke Novrizon yang meminta Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri memecat Hasto karena bisa merugikan PDIP dengan pernyataannya.

Menurut Eva, tidak sepatutnya kader partai lain mengintervensi Megawati. Karena, menurut Eva, hal itu sama saja meragukan keputusan orang nomor satu di PDIP tersebut dalam mengangkat Hasto sebagai sekjen partai.

"Bu Mega lebih tahu apa yang terbaik bagi kader-kadernya. Kepiawaian Bu Mega tidak terbantah lah," kata Eva.

Sementara, Ketua DPP PDIP, Hendrawan Supratikno menyatakan, pernyataan Hasto merupakan bagian dari penyampaian kronologi fakta proses proyek e-KTP. “Dengan kronologi tersebut diharapkan muncul kronologi kesadaran tentang wacana seputar e-KTP. Tidak lebih, tidak kurang," kata Hendrawan kepada Tirto.

Di sisi politikus Demokrat, mereka mendukung pernyataan Sekjen Demokrat, Hinca Panjaitan yang menyatakan Hasto sedang memainkan politik cuci tangan dengan menyudutkan rezim SBY. Karena korupsi bisa dilakukan kader partai apa saja. Baik yang mendukung rezim SBY atau yang menjadi oposisi. Termasuk kader PDIP.

Selain Boyke Novrizon, Wakil Ketua Umum Demokrat, Roy Suryo juga mendukung pernyataan tersebut. Menurut Roy, sebelum cuci tangan lebih baik para politukus PDIP “cuci mulut dulu."

"Jadi kata-kata yang dikeluarkan baik,” kata Roy, di Hotel Alia Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, (25/3/2018).

Konsolidasi Tetap Berjalan

Di tengah perseteruan ini, rupanya kedua partai politik tersebut masih menjalin komunikasi politik terkait Pilpres 2019. Keduanya bahkan sama-sama menyatakan masih membuka peluang untuk berkoalisi.

Hendrawan menyatakan, perseteruan perkara kasus e-KTP ini bukan mengindikasikan keseluruhan jalannya dinamika politik Pilpres 2019 di antara Demokrat dan PDIP.

"Jangan membiasakan diri menyimpulkan isi buku dari cover sampulnya. Jangan mereduksi sebuah lakon dengan melihat satu episode saja," kata Hendrawan.

Sementara, Eva dengan tegas menyatakan "tidak ada dead end dalam politik." Sehingga, peluang koalisi antara PDIP dan Demokrat menurut dia masih terbuka.

Meskipun, dalam hal ini, Eva memang melihat kecenderungan Demokrat ingin menjadikan Jokowi sebagai kader Demokrat atau dalam istilahnya "meng-KTA-kan Jokowi".

"Tapi saya yakin Pak Jokowi bukan kutu loncat," kata Eva.

Roy membenarkan bahwa Demokrat masih terus berkomunikasi dengan PDIP terkait koalisi di Pilpres 2019. Menurut dia, kedua partai merupakan partai besar yang sudah dewasa menghadapi perseteruan.

"Demokrat itu sangat cair, ketika orang mengatakan tdak mungkin Demokrat dan PDIP koalisi, kenyataanya dalam Pilkada 2018 besok, ya di dua provinsi kami bersatu dengan PDIP. Di Kalimantan Barat dan di Jawa Tengah," kata Roy.

Roy juga membantah bila partainya hanya ingin bekerja sama dengan Jokowi tanpa PDIP. “Ibarat orang melamar wanita, tentu juga harus mau keluarganya dong,” kata Roy.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz