Menuju konten utama

Gertak Duterte terhadap Pemberontak Wanita & Ancaman Femisida

Perempuan bisa dibunuh karena keperempuanannya. Duterte baru-baru ini mengancam akan menembak vagina pemberontak perempuan di Filipina.

Gertak Duterte terhadap Pemberontak Wanita & Ancaman Femisida
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memeriksa teropong senapan jarak jauh 7.62mm dalam upacara penyerahan pertolongan darurat militer dari China yang diberikan gratis kepada FIlipina, di Pangkalan Udara Clark, Filipina, Rabu (28/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Romeo Ranoco

tirto.id - “Katakan kepada para tentara. Ada perintah baru dari sang mayor. Kami tidak akan membunuhmu. Kami hanya akan menembak vagina, sehingga jika alat vital itu tidak ada, maka Anda tidak berguna.”

Dilaporkan The Guardian, pesan tersebut terselip dalam pidato Presiden Rodrigo Duterte yang disampaikan di depan 200 bekas tentara komunis pemberontak, di Malacañang. Alih-alih memakai kata presiden, Duterte menyebut dirinya sebagai mayor dalam pidato tersebut. Sementara “Anda” yang ia maksud adalah pemberontak komunis perempuan dari New People’s Army (NPA), sayap milisi Communist Party of the Philippines (CPP).

Duterte dulu memang pernah menjadi walikota Kota Davao, sebuah kota di Pulau Mindanao. Tidak tanggung-tanggung, dirinya memimpin ibu kota pulau terbesar kedua di Filipina itu selama 22 tahun. Ketika mendengar perkataan Duterte yang diucapkan dalam bahasa Visayan itu, para hadirin sontak tertawa.

Di luar lokasi pidato, ucapan Duterte disambut kecaman dari aktivis HAM dan kelompok perempuan di Filipina. Masih dalam berita The Guardian yang sama, Carlos H. Conde, peneliti Human Rights Watch, menyebut pesan tersebut sebagai bagian dari pernyataan Duterte yang misoginis, merendahkan, dan menghina perempuan.

Tuduhan Duterte sebagai sosok misoginis juga datang dari Emmi de Jesus, anggota Kongres dari Partai Perempuan Gabriela. Ia mengatakan Duterte berhasil menampilkan dirinya sebagai lambang perkawinan antara dua hal: fasis-macho dan misoginis.

Berit Brogaard D, M.Sci., Ph.D menjelaskan bahwa misogini meliputi perasaan benci terhadap perempuan atau tipe perempuan karena tidak bersikap sesuai kepercayaan misoginis. Profesor sekaligus Ketua the Brogaard Lab for Multisensory Research University of Miami ini mengatakan para misoginis percaya bahwa perempuan menempati posisi yang inferior dibandingkan laki-laki.

Namun, Brogaard beranggapan seseorang bisa menjadi misoginis tanpa harus membenci perempuan. Ia menggambarkan keadaan tersebut dengan apa yang terjadi pada para suami-istri dalam film The Stepford Wives. Para istri diperlihatkan berkegiatan yang melulu berkutat di ranah domestik, seperti memasak dan bersih-bersih. Meski begitu, mereka tampah begitu mencintai dengan penuh serta percaya pada suaminya.

Hal ini membuat suami-suami mereka tambah sayang. Film produksi tahun 1975 yang kemudian dibuat kembali pada 2004 lalu itu menunjukkan mereka mencintai pasangannya karena berperilaku submisif. Namun, ternyata, perilaku tersebut merupakan hasil cuci otak yang dilakukan para suami untuk menjinakkan istri mereka. Sebelum dicuci otak, para istri di pemukiman Stepford itu adalah wanita-wanita yang sukses di ranah publik.

Seorang misoginis, membenci perempuan atau tidak, seperti para suami di The Stepford Wives berpotensi melakukan berbagai tindakan seperti diskriminasi, obyektifikasi, dan kekerasan terhadap perempuan.

Menurut WHO, kekerasan pada perempuan memiliki rupa kasus yang bermacam-macam, mulai dari kekerasan verbal juga emosional hingga kekerasan fisik serta seksual. Apabila tidak ditangani, spektrum kekerasan akan berkembang ke arah yang lebih jauh, yakni femisida atau pembunuhan terhadap perempuan.

Infografik Femisida

Ragam Bentuk Femisida

Femisida atau femicidemerujuk pada pembunuhan perempuan dengan alasan berbasis gender dalam jangka waktu yang spesifik. Penyebabnya macam-macam. Ada yang mati dibunuh karena ketidakmampuan memenuhi mahar seperti di India alias dowry death. Di India, perempuan harus membayar mahar saat mereka menikah.

Femisida juga bisa terjadi dengan alasan penyelamatan kehormatan keluarga. Artinya, perempuan bisa dibunuh karena dianggap mencoreng nama baik atau martabat keluarga, misalnya karena melakukan seks di luar nikah atau bahkan ketika mereka jadi korban perkosaan. Femisida juga kerap terjadi karena kekerasan oleh pasangan, pembunuhan disertai dengan perkosaan, serta pembunuhan bayi perempuan, serta prostitusi.

Istilah femicide atau female homicide, seperti ditulis Time, dipakai pertama kali oleh penulis feminis Diane E.H. Russell asal Afrika Selatan pada tahun 1976. Pada 1992, Russel dan Jill Radford mendefinisikan femicide sebagai pembunuhan misoginis pada perempuan yang dilakukan laki-laki. Kemudian, istilah itu dipakai untuk menunjukkan fenomena pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena korban adalah seorang perempuan.

Entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) melaporkan berdasarkan survei organisasi Small Arms tahun 2012 lebih dari 25 negara dengan angka femisida tinggi ada di kawasan Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.

Kyung-wha, Deputi Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, menekankan sebanyak 647 perempuan dibunuh di El Salvador, 375 perempuan di Guatemala, dan femisida ditengarai menjadi penyebab kedua penyebab kematian perempuan di Honduras tahun 2011. Angka yang tinggi tersebut berbanding lurus dengan impunitas para pelaku femisida di El Salvador dan Honduras, yakni sebesar 77 persen.

Angka pembunuhan di negara-negara Amerika Latin dan Kepulauan Karibia memang tinggi. Data survei organisasi Small Arms tahun 2010 menyebutkan tingkat pembunuhan karena senjata api di kawasan tersebut mencapai 70 persen, di atas rata-rata angka global sebesar 42 persen.

Sementara itu, survei dari organisasi serupa yang berlangsung tahun 1995 sampai 2010 menunjukkan El Salvador, Guatemala, Honduras, Jamaica, dan Venezula masih menjadi wilayah dengan tingkat pembunuhan yang tinggi. Sebanyak 30 orang di antara 100.000 jiwa di lima negara tersebut menjadi korban pembunuhan. Sebaliknya, tingkat pembunuhan di negara-negara seperti Argentina, Chili, Kuba, Peru, Suriname, dan Uruguay justru rendah, yakni 10 orang di antara 100.000 jiwa.

Di Indonesia, kasus femisida sudah menjadi perhatian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Bulan November 2017, lembaga ini mengeluarkan rilis pers menyerukan penghentian femisida alias pembunuhan terhadap perempuan. Komnas Perempuan menjelaskan ada lima kasus pengaduan terkait kasus femisida yang ditangani lembaga ini. Selain itu, ada 15 kasus femisida terjadi sepanjang tahun 2017.

Menurut Komnas Perempuan, ada rupa-rupa alasan perbuatan femisida. Sebabnya meliputi kekerasan seksual yang disertai pembunuhan, cemburu, kawin siri yang enggan terbongkar, kekerasan dalam pacaran, prostitusi terselubung, pengelakan bertanggung jawab atas perbuatan menghamili, dan tersinggungnya maskulinitas seksual laki-laki adalah dasar mengapa femisida terjadi.

Ironisnya, femisida justru dilakukan oleh orang yang dikenal seperti pacar, kawan kencan, suami, pelanggan, dan lainnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani