tirto.id - Penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kini merambah berbagai bidang, termasuk bidang yang kompleks, seperti hukum. Salah satu pemain teknologi AI di bidang hukum adalah Gani.AI.
Gani.AI, platform kecerdasan hukum dan kepatuhan berbasis AI, disebut muncul untuk menyelesaikan masalah lanskap hukum yang semakin kompleks, khususnya di kawasan Asia-Pasifik yang kaya akan keragaman bahasa, yurisdiksi, dan sistem hukum.
Pendiri Gani.AI adalah Bintang Hidayanto, seorang praktisi hukum, dan Timur Nugroho, pelaku bisnis dan teknologi. Bintang Hidayanto merupakan mitra hukum dengan peringkat Chambers, yang pernah menjadi Managing Partner GHP Law Firm. Ia juga pernah berkarier di Norton Rose Fulbright serta menjabat Deputi Staf Khusus Presiden pada era pemerintahan Joko Widodo. Sementara itu, Timur Nugroho memiliki rekam jejak panjang di perusahaan teknologi dan keuangan terkemuka seperti LinkAja, Ajaib, hingga National Australia Bank.
Lewat tangan mereka, Gani.AI memadukan keahlian hukum, kecerdasan buatan, serta pemahaman terhadap pasar regional Asia. Visi dari para pendiri ini adalah demokratisasi akses terhadap informasi hukum dan perpajakan, serta memberdayakan profesional hukum melalui teknologi.
“Gani.AI bukan pengganti pengacara,” kata Bintang pada Rabu (18/6/2025). “Ia adalah pintu awal bagi siapa saja yang ingin memahami masalah hukum dan pajak tanpa takut duluan.”
Yang membuat kisah Gani.AI semakin istimewa, menurut para pendirinya, adalah para pembuatnya yang berasal dari Indonesia. Artinya, Gani.AI bisa dibilang merupakan karya anak bangsa, mulai dari tim pengembang, data scientist, hingga desainernya.
Gani.AI disebut bisa jadi solusi inovatif yang menjawab kesenjangan pasar senilai lebih dari 50 miliar dolar AS, dengan teknologi seperti multilingual AI reasoning, yang membuatnya mampu memproses langsung dalam bahasa lokal sesuai konteks sistem hukum setempat, serta localized legal & compliance intelligence, yang dirancang khusus untuk setiap yurisdiksi regional dengan pemahaman mendalam terhadap konteks lintas-negara.
"Setidaknya untuk knowledge awal, lah, supaya nggak usah pusing nyari di Google," kata Bintang. "Setelah itu, kita juga bisa nawarin untuk koneksi ke profesional [di bidang hukum]."
Dengan teknologi tersebut, tak heran, sejak diluncurkan oleh pada Maret 2025 dan diperkenalkan ke panggung internasional melalui ajang SushiTech Tokyo dan SuperAI Singapore, Gani.AI dengan cepat mencuri perhatian. Dalam waktu hanya 14 minggu, platform ini disebut telah menjangkau lebih dari 1.000 pengguna lintas negara.
Perjalanan Gani.AI memang dimulai dari keresahan. Bintang, yang selama bertahun-tahun menangani klien besar dan kasus kompleks, mulai merasa ada yang janggal. Ia sering menemui orang-orang yang terjebak dalam masalah hukum sederhana hanya karena tidak tahu harus bertanya ke siapa. Dari pajak pribadi hingga kontrak kerja, begitu banyak orang terjerumus bukan karena niat jahat, melainkan karena minimnya informasi.
Bersama Timur, seorang pebisnis dengan latar belakang teknologi, mereka merancang Gani.AI — platform AI yang tak sekadar pintar, tapi juga paham tantangan kompleksnya sistem hukum di Asia. Apalagi, Asia bukan pasar yang mudah. Bahasanya beragam, hukumnya berbeda-beda, dan jarak antara profesional hukum dan masyarakat terasa begitu jauh.
AI dan Informasi Hukum
Bintang mencontohkan seseorang di pedesaan yang ingin tahu apakah orang tersebut perlu bayar pajak warisan, atau karyawan muda yang bingung soal kontrak kerja. Gani.AI diproyeksikan bisa jadi alat yang dapat memberi mereka jawaban awal, dengan bahasa yang mudah dimengerti. Jika perlu bantuan lebih lanjut, platform ini akan menghubungkan pengguna dengan profesional hukum terdekat, sebuah pendekatan yang menyerupai marketplace.
Namun tentu, semua itu tidak mudah. Salah satu tantangan terbesar dari Gani.AI adalah membangun kepercayaan. Banyak pengacara melihat AI sebagai ancaman. Banyak pengguna mengira AI bisa memberi jawaban sempurna.
“Padahal,” jelas Bintang, “AI bukan Tuhan. Ia tidak sempurna. Tapi kalau digunakan dengan benar, ia bisa jadi alat yang sangat berguna.”
Pendiri Gani.AI juga menyebut, masih banyak orang yang hidup tanpa pengetahuan dasar soal hukum. Mereka tidak tahu bahwa keterlambatan bayar pajak bisa berujung denda, bahwa tanda tangan di kontrak bisa mengikat, atau bahwa sengketa warisan bisa dihindari dengan surat wasiat sederhana.

Gani.AI juga diproyeksikan bisa jadi teman kerja bagi para pengacara, konsultan, dan profesional pajak. Dengan fitur seperti riset hukum otomatis, peringkasan dokumen, dan draf awal kontrak, para praktisi hukum bisa bekerja lebih cepat dan efisien. Dengan begini, harapannya, mereka bisa melayani lebih banyak orang dan berkontribusi lebih besar pada masyarakat.
Tantangan di Balik Peluang
Tentu saja, membangun teknologi seperti Gani.AI di kawasan yang penuh tantangan bukan perkara gampang. Mengumpulkan data hukum dari berbagai negara, melatih mesin untuk memahami bahasa hukum dalam berbagai bahasa, dan menjaga akurasi jawaban AI adalah proses panjang dan melelahkan.
"Data untuk training ya, data untuk training itu agak sulit. Karena kita gak cuma Indonesia kan, kita cover banyak negara," kata Bintang.
Namun justru di situlah letak kekuatan Gani.AI. Di tengah keragaman yang seringkali menjadi hambatan, mereka melihat peluang. Kawasan ini memiliki miliaran penduduk, banyak di antaranya belum pernah berinteraksi dengan sistem hukum secara layak. Di sanalah Gani.AI ingin hadir.
"Yang lebih susah itu sebenarnya meyakinkan user, meyakinkan teman-teman sejawat untuk percaya sama teknologi ini, dan ngelihat teknologi ini itu sebagai tools bukan sebagai saingan, karena sekarang masih didominasi mindset bahwa AI itu akan gantiin profesional," kata Bintang.

"Gani juga sebenernya buat bantu profesional juga untuk kerja. Jadi mereka bisa kerja lebih efisien, lebih cepat," katanya.
Dalam laporan Komdigi (2024) berjudul “Pemerintah Perkuat Sinergi dengan Kampus Optimalkan Pemanfaatan Kecerdasan Artifisial” menyebut bahwa Indonesia mampu meraih potensi besar dalam ekonomi digital. Kontribusi sektor ini diproyeksikan meningkat dari 90 miliar dolar AS pada 2024 menjadi 135 miliar dolar AS pada 2027.
Data juga menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat ketiga pengguna AI terbanyak di dunia. Terdapat 1,4 miliar kunjungan ke platform berbasis AI ini.
"Pemanfaatan AI di Indonesia ada dalam 2 spektrum itu. Di satu ujungnya ada sekelompok pengguna yang memanfaatkan AI sebagai kolaborator. Di spektrum ini dihasilkan kreativitas-kreativitas baru. Batas-batas ketakmampuan tenaga kerja manusia ditembus oleh kecerdasan AI. Produk baru dihasilkan," kata Dr. Firman Kurniawan S., pendiri LITEROS.org, di tulisannya untuk Tirto.
Penulis: Andhika Krisnuwardhana
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































