tirto.id - Rapat Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dalam menentukan rancangan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas prioritas 2025 dan jangka menengah, pada Senin (18/11/2024) lalu, diwarnai momen menarik. Baleg DPR RI sepakat menghapus usulan RUU soal Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing. Keputusan ini diambil usai Anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo, menyampaikan pandangannya bahwa RUU usulan dari salah satu organisasi non-pemerintah (NGO) itu tidak masuk akal.
Terlepas dari batalnya RUU tersebut masuk ke dalam Prolegnas, pandangan Firman yang menilai usulan dari NGO tidak perlu selalu ditanggapi DPR menuai sorotan. Firman menyebut DPR memang bertugas mendengarkan aspirasi dari masyarakat sipil seperti NGO, tetapi tidak serta-merta usulan harus diterima dan masuk dalam daftar pekerjaan DPR.
Selain itu, Firman menilai bahwa NGO tidak membawa keuntungan apapun terhadap partai politik (parpol) dan elektoral bagi anggota DPR.
“DPR ini jangan seolah-olah membuat atau meng-entertain NGO-NGO yang kadang-kadang nggak rasional. Kita berani lah di depan NGO itu, nggak semuanya baik kok. NGO ini kepentingan siapa juga kita tahu kok dan NGO-NGO itu nggak ada value-nya bagi partai politik, juga untuk di elektoral,” ucap Firman saat menyatakan pendapatnya.
Sontak saja ucapan Firman menuai protes dari kalangan organisasi masyarakat sipil. Firman dinilai gagal paham dalam memahami azas partisipasi bermakna (meaningful participation). Tentu DPR punya hak untuk mempertimbangkan tiap-tiap usulan yang masuk ke Senayan, tetapi pernyataan Firman seolah-olah tendensius menutup ruang partisipasi masyarakat sipil hanya berdasarkan keuntungan bagi parpol dan elite politik.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai sikap ini termasuk bentuk menutup mata terhadap kritikan yang kerap disampaikan masyarakat sipil. Padahal, masyarakat sipil seperti NGO atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) memang memberikan usulan atau masukan bukan untuk menguntungkan parpol-parpol Senayan.
Kehadiran peran organisasi masyarakat sipil justru menyampaikan aspirasi masyarakat. Ia melihat sikap Firman persis penggalan satu kalimat dalam Alkitab: memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, memiliki telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar.
“Itu menandakan dia tidak lahir dari rahim kepentingan rakyat luas. Sangat disayangkan anggota DPR berkata seperti itu, seolah-olah abai dan tidak mau mendengar rakyat,” ucap pria yang akrab disapa Castro ini kepada reporter Tirto, Rabu (20/11/2024).
Menurut Castro, seharusnya anggota DPR memahami bahwa mereka dipilih untuk mewakili suara dari rakyat banyak. Anggota DPR semestinya bekerja untuk rakyat yang telah memilih mereka saat Pemilu. Aneh jika justru DPR menutup mata dan telinga, terhadap usulan dan kritik dari NGO atau masyarakat sipil hanya karena tidak menguntungkan mereka.
“Itu menunjukkan satu ketidakpahaman, dan karakter otoritarian dari temen-temen di DPR yang tidak mau mendengar suara masyarakat luas,” lanjut Castro.
Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menilai pernyataan dari Firman Soebagyo terkait NGO/organisasi masyarakat sipil, amat keliru. Menurutnya, sudah jadi tugas dan fungsi DPR dalam kerja-kerjanya mendengarkan aspirasi masyarakat. Bahkan, putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sudah menegaskan bahwa DPR RI dalam melaksanakan fungsinya – yakni legislasi, pengawasan, dan penganggaran – harus melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna.
Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna harus memenuhi tiga prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
“Jadi LSM atau NGO harus dilihat sebagai kelompok masyarakat sipil yang memiliki posisi mereka kuasai keahlian masing-masing. Jangan sampai DPR ini cuma berfungsi bagi-bagi sembako ke masyarakat, masyarakat suruh diam dan manut pada DPR dan pemerintah,” ucap Arif kepada reporter Tirto, Rabu (20/11/2024).
Ia memandang Firman tidak mengetahui eksistensi putusan MK di atas. Pernyataan Firman justru mencerminkan kekosongan pengetahuannya terhadap tugas dan fungsi DPR. Selama ini, kata Arif, usulan dari kalangan masyarakat sipil memang cenderung tidak diprioritaskan.
Riset Indonesian Parliamentary Center (IPC) terhadap performa DPR RI periode 2019-2024 mencatat, keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan DPR masih begitu terbatas. DPR belum optimal memanfaatkan masukan dari masyarakat terkait isu-isu strategis yang diawasi. IPC mencatat, aspirasi dari masyarakat sipil yang diserap sebanyak 256 dari total 576 aspirasi. Sementara itu, dari kalangan akademisi cuma 99 yang diserap dari total 209 aspirasi. Sedangkan, hampir semua aspirasi dari pengusaha justru diserap DPR, yakni 300 dari 309 aspirasi.
Pernyataan Firman, kata Arif, sepatutnya ditegur oleh fraksi parpol atau pimpinan DPR. Hal ini sebab DPR sedang mencoba meningkatkan partisipasi bermakna lewat kehadiran Badan Aspirasi. Namun pernyataan Firman seakan menebalkan persepsi bahwa DPR masih abai terhadap kepentingan masyarakat luas.
“Legislasi kita akhirnya sangat elitis sekali. Jadi saudara Firman harusnya paling tidak [tahu] kepentingan elite sama dengan masyarakat sipil yang punya grassroot harus diperhatikan,” ucap Arif.
Cara Baleg DPR merespon usulan dan masukan dari organisasi masyarakat menunjukkan 2 masalah besar sedang ada di DPR
Demi Rakyat atau Parpol, Bung Firman?
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai pernyataan Firman soal tidak perlu selalu mendengar usulan NGO diucapkan dalam konteks membahas RUU Prolegnas yang berasal dari masyarakat. Dalam konteks pembahasan Prolegnas, DPR menerima begitu banyak usulan dari masyarakat, termasuk NGO. Maka, DPR sudah pasti membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan daftar RUU yang masuk Prolegnas.
Dalam dalam konteks seperti itu, Lucius menilai tidak ada masalah dari pernyataan Firman. Terlebih, Firman sudah menerangkan alasannya menolak RUU yang diusulkan NGO. Tetapi, persoalannya ada pada diksi tambahan yang Firman kemukakan terkait peran NGO untuk parpol dan elektoral.
“Dengan DPR kita yang cenderung memiliki tingkat kepercayaan publik yang rendah, seperti halnya parpol. Maka NGO dianggap sebagai kelompok yang tak menguntungkan,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Rabu (20/11/2024).
NGO/LSM memang rajin mengkritik kinerja buruk DPR dan parpol. Sedikit banyak kemudian berdampak pada menurunnya kepercayaan dan persepsi publik. Namun, ia menambahkan, tujuan mereka menyuarakan kritik memang bukan untuk urusan kepentingan elektoral.
“Jadi DPR nggak perlu menunjukan sikap arogan, seolah-olah NGO tidak penting-penting amat. Karena faktanya suara NGO adalah suara publik yang seharusnya perlu didengarkan DPR,” terang Lucius.
Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, senada dengan Lucius. Kholil melihat ucapan Firman sebagai cerminan rendahnya kapasitas politik anggota DPR di Baleg. Sikap tersebut beban bagi Indonesia yang alami kemerosotan demokrasi. Seharusnya, kata Kholil, anggota Baleg dapat memilah antara kepentingan publik dengan bias negatif personal.
“Jika DPR punya argumentasi yang berbeda terhadap substansi yang digagas oleh NGO, maka cukup meresponsnya dengan argumentasi. Tidak perlu menunjukkan kecenderungan sikap pribadi terhadap eksistensi suatu NGO,” ungkap Kholil kepada reporter Tirto, Rabu.
Ia melihat sikap Firman sebagai anggota Baleg sangat tendensius dan tidak substansial. Hal ini menjadi kekhawatiran akan orientasi anggota DPR terpilih periode 2024-2029. Padahal baru bulan kedua sejak anggota DPR itu dilantik. Namun orientasi politiknya sudah kelihatan tidak berpihak ke publik.
DPR lebih memilih agenda politik yang bernilai atau menguntungkan parpol secara elektoral. Artinya, kata Kholil, jika ada situasi yang mereka pilih antara kepentingan publik dan urusan elektoral: kepentingan publik yang akan ditinggalkan.
“Ini benar-benar mengkhawatirkan. Ini warning bagi publik, dan khususnya organisasi masyarakat sipil, agar terus mengawal dan bersikap kritis terhadap setiap kebijakan yang akan dilahirkan DPR,” tegas Kholil.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Andrian Pratama Taher