Menuju konten utama

RUU Jadi Polemik, Mahfud: Legislatif Jadi Lembaga Tukang Stempel

Menurut Mahfud MD, lembaga legislatif terlihat hanya menjadi pengusul undang-undang yang diinginkan pemerintah.

RUU Jadi Polemik, Mahfud: Legislatif Jadi Lembaga Tukang Stempel
Mahfud MD saat menjadi pembicara kunci dalam acara pada acara Sekolah Hukum yang diikuti oleh seluruh calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih 2024 Dapil DKI Jakarta di Sekolah Partai PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (14/6/2024). (FOTO/Dok Humas PDIP)

tirto.id - Guru Besar Hukum Tata Negara, Mahfud MD, menyebut ciri pemerintahan otoriter yang mulai terlihat belakangan dengan menilik lembaga eksekutif yang mencampuri legislatif dalam membuat aturan. Hal itu berkaca pada banyaknya RUU yang digodok DPR RI tetapi menuai polemik.

Mahfud menyebut legislatif terlihat hanya menjadi lembaga rubber stamp atau tukang stempel dari keinginan eksekutif. Lembaga legislatif terlihat hanya menjadi pengusul undang-undang yang diinginkan pemerintah.

Mahfud mengatakan hal itu ketika menjadi pembicara kunci pada acara Sekolah Hukum yang diikuti oleh seluruh calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih 2024 Dapil DKI Jakarta di Sekolah Partai PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (14/6/2024).

"Kita jangan teledor bahwa ini, perilaku-perilaku begini sudah muncul. Eksekutifnya intervensionis. Masuk ke sana, masuk ke sana, pakai bansos, pakai apa, pokoknya masuk. Enggak bisa baik-baik, injak kakinya," kata Mahfud, Jumat.

Mahfud mengatakan gejala otoritarianisme di suatu negara bakal menghasilkan hukum yang bersifat ortodoks konservatif. Artinya, pembuatan aturan bersifat sentralistik dan diatur dari pusat.

Selain itu, ortodoks konservatif membuat hukum menjadi semacam pembenaran terhadap keinginan penguasa atau positivistik instrumentalistik.

"Sesuatu yang diinginkan itu dijadikan instrumen pembenar, dipositifkan menjadi hukum positif. Saya ingin umur calon kepala desa sekian. Lho enggak bisa, pak, ya [dipaksa] dipositifkan bagaimana caranya, suruh DPR ubah, suruh KPU, suruh pengadilan, langgar semua prosedur yang tersedia," ucap Mahfud.

Menurut Mahfud, ciri negara yang demokratis berbeda jauh dengan kekhasan pemerintahan otoriter. Pasalnya, negara demokratis, kata dia, legislatif menjadi penentu dalam membuat perundang-undangan dengan melibatkan aspirasi rakyat, bukan kehendak elite semata.

"Legislatif menjadi penentu. Legislatif itu menentukan. Bukan menentukan, tetapi diam-diam dicokok. Kamu menentukan, tetapi disuruh menentukan. Ini, lho, yang kamu tentukan. Dipesan. Itu tidak demokratis," tuturnya.

Mahfud mengatakan ciri lainnya ialah interpretasi hukum yang dibatasi. Contohnya, dari sisi pemilu diatur sampai hal teknis kampanye.

"Tafsir implementatifnya dibatasi. Enggak boleh sembarang kamu tafsirkan hukum. Ini undang-undang sudah berbunyi begini, kamu jangan buat tafsir ngawur. Oleh sebab itu, lalu ada cara-cara menafsirkan hukum di dalam ilmu perundang-undangan itu, agar tafsir implementasi hukum itu tidak sewenang-wenang," tukas Mahfud.

Lebih lanjut, Mahfud mengatakan demokrasi tanpa hukum itu anarki dan hukum tanpa demokrasi menimbulkan kewenangan-kewenangan.

"Itu hukum dibuat sesukanya. Tidak pakai demokrasi, tidak pakai aspirasi, menimbulkan kesewenang-wenangan. Oleh sebab itu, paling sering saya katakan, enggak bisa kita bicarakan demokrasi, tapi kita juga harus bicara hukum," kata Mahfud.

Oleh karena itu, tambah dia, bila demokrasi dan hukum tidak dibangun dan ditegakkan dengan seimbang, akan sulit membangun Indonesia emas.

"Jangan mimpi Indonesia Emas, jembatan emasnya pun sudah dicuri," tutup.

Baca juga artikel terkait RANCANGAN UNDANG-UNDANG atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Flash news
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi