tirto.id - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Merah Johansyah mengatakan jika pemerintah bersungguh-sungguh menjamin keselamatan pekerja dan masyarakat setempat, mestinya mengabulkan permintaan buruh PT Freeport Indonesia (PTFI).
Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP KEP SPSI) Kabupaten Mimika meminta PTFI menghentikan kegiatan produksi lantaran 51 buruh perusahaan itu positif COVID-19.
“Serikat Pekerja sudah meminta penghentian operasi sementara dan pembatasan sosial yang dijalankan tidak maksimal. Mana bisa buruh dipaksa bekerja dalam kondisi khawatir dan cemas?" kata Merah ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/5/2020).
Jatam mendukung permintaan SP KEP KSPSI Kabupaten Mimika, kata Merah.
Jika proses produksi tak berhenti, Merah menilai sama saja menumbalkan buruh di dalam pandemi Corona. Apalagi setelah PTFI sahamnya 51 persen telah dimiliki negara. Artinya pemerintah mampu bertindak untuk menyelamatkan buruh, ditambah banyak peraturan perundang-undangan yang mengedepankan masih pekerja.
Misalnya di Pasal 113 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK atas permintaan pemegang izin tersebut.
Keadaan yang dapat menjadi dasar penghentian sementara kegiatan tersebut adalah keadaan kahar; keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; dan/atau apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batu bara yang dilakukan di wilayahnya.
“Pandemi COVID-19 termasuk kategori keadaan kahar berdasarkan penjelasan Pasal 113 tersebut. Yang mendefinisikan keadaan kahar antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran dan bencana alam di luar kemampuan manusia," jelas Merah.
Jatam juga mendesak pemerintah untuk menghentikan operasi pertambangan bermasalah di Indonesia selama pandemi.
Selama dihentikan, perusahaan harus menjamin tidak adanya pelanggaran hak normatif buruh seperti hak menyampaikan pendapat, membayar upah 100 persen, kewajiban THR, tidak boleh melakukan PHK dan lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasar data tahun 2018, ujar Merah, PTFI membukukan pendapatan US$4,4 miliar atau setara Rp62,16 triliun per tahun dan laba US$1,28 miliar atau setara Rp18 triliun per tahun. Usai divestasi, Freeport memiliki 13 komisaris dan direksi.
"Total gaji yang diterima oleh para direksi mencapai US$ 4,9 juta dolar atau setara Rp70 miliar," kata dia.
Sementara gaji Komisaris PTFI US$454 ribu atau setara Rp6,5 miliar setahun. "Ini setara dengan biaya realokasi anggaran pemerintah kabupaten Tangerang dalam menangani Covid-19 yakni Rp70 miliar," imbuh Merah.
Ia mendesak CEO, Komisaris, pemegang saham dan Direktur Perusahaan Tambang PTFI untuk memangkas gajinya, lalu diberikan kepada buruh demi keselamatan dan kesehatan mereka di masa pandemi.
Sementara, Serikat telah meminta perusahaan menghentikan produksi sementara waktu untuk mencegah penyebaran virus semakin masif.
"Karena mereka (buruh) aset perusahaan, sehingga perlu dilindungi dan diutamakan," kata Ketua SPKEP SPSI Kabupaten Mimika Aser Koyamee Gobai, yang telah bekerja untuk Freeport sejak satu dekade, Senin (4/5/2020).
Juru Bicara Freeport Riza Pratama, sebagai obyek vital nasional yang bergerak di bidang tambang, kegiatan operasional perusahaan harus tetap berjalan agar bahan baku industri dapat terus tersedia, juga dalam rangka menjaga roda perekonomian lokal dan nasional tetap bergerak.
"Meski demikian, kami memastikan bahwa keamanan dan kesehatan karyawan adalah prioritas utama kami," jelas Riza kepada reporter Tirto, Senin (4/5/2020).
Saat dikonfirmasi ulang reporter Tirto, Selasa (6/5/2020), Riza mengatakan sampai saat ini karyawan yang tertahan masih dibayarkan hak-haknya sambil terus memonitor perkembangan Covid-19 dan kondisi perusahaan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz