tirto.id - Proses akuisisi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang dikebut Joko Widodo dua tahun menjelang Pilpres 2019 berujung pada potensi hilangnya penerimaan perpajakan sebesar Rp1,82 triliun. Hal tersebut terungkap setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2018, lima bulan setelah Holding BUMN Pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) resmi mencaplok 51 persen saham PTFI.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2019, auditor BPK menyebut potensi kerugian negara disebabkan oleh inkonsistensi pelaksanaan peraturan di kementerian/lembaga.
Salah satunya, melalui penandatanganan nota kesepahaman tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi antara Kementerian ESDM dengan PTFI pada 31 Maret 2017.
Nota itu penting dalam proses negosiasi akuisisi. Sebab waktu itu, izin ekspor konsentrat Freeport sudah berakhir dan pemerintah menolak perpanjangan izin kecuali lewat IUPK. Lalu untuk mendapatkan IUPK, raksasa tambang asal Amerika Serikat itu harus bersedia melakukan divestasi 51 persen sahamnya.
Namun nota kesepahaman itu justru menimbulkan persoalan. Pada salah satu klausulnya disebutkan bahwa bea ekspor konsentrat PTFI ditetapkan sebesar 5 persen. Padahal, di dalam aturan PMK No. 13/2017 yang terbit pada Februari 2017, bea ekspor konsentrat Freeport ditetapkan 7,5 persen.
Kejadian ini memicu sengketa perpajakan antara PTFI dan Kementerian Keuangan. Freeport, yang dipaksa membayar bea keluar sesuai ketentuan PMK, mengajukan keberatan ke pengadilan pajak dan meminta pengembalian kelebihan bayar alias restitusi.
Keberatan Freeport diterima pengadilan. Hingga 25 Maret 2019, pengadilan pajak sudah mengabulkan 20 surat keberatan yang dilayangkan Freeport dan mewajibkan Kemenkeu mengabulkan restitusi senilai Rp204 miliar.
"Majelis hakim memutuskan tarif bea keluar bagi PTFI sebesar 5 persen, sesuai nota kesepahaman," tulis BPK dalam laporan hasil pemeriksaan LKPP 2018.
Kini, masih ada 128 surat keberatan yang dilayangkan Freeport ke pengadilan pajak, dengan permohonan restitusi sebesar Rp1,6 triliun. "Akibatnya Kantor Pelayanan Pajak Bea cukai berpotensi melakukan restitusi atas seluruh surat keputusan keberatan," lanjut laporan tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama belum dapat berkomentar secara spesifik terkait perkembangan sengketa perpajakan tersebut.
Yang jelas, katanya, Kemenkeu telah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas dikabulkannya 20 surat keberatan PTFI ke Mahkamah Agung pada tanggal 1 dan 2 April 2019.
“Secara umum terkait temuan BPK itu akan kami tindak lanjuti sesuai ketentuan yang ada. Nah, kalau memang harus ada perbaikan di situ tentunya kami akan tindak lanjuti sesuai rekomendasi BPK,” ungkap Hestu kepada reporter Tirto, Jumat (20/9/2019).
Sementara itu, juru Bicara PTFI Riza Pratama belum dapat memberi komentar terkait sengketa tersebut. “Saya belum bisa konfirmasi masalah ini. Nanti saya kabari,” ucap Riza ketika dihubungi reporter Tirto.
Karpet Merah Buat Freeport
Dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, 18 Juli 2019 lalu, temuan BPK sebenarnya sudah menjadi sorotan sejumlah anggota dewan. Mereka beranggapan pemerintah terlalu mengistimewakan Freeport dalam proses akuisisi tersebut.
Namun Menteri ESDM Ignasius Jonan berdalih pemberian tarif bea keluar 5 persen itu bukan ditujukan agar Freeport bersedia berpindah ke IUPK. Melainkan, kata dia, PMK baru yang menetapkan tarif 7,5 persen terhadap Freeport itu belum sampai ke mejanya.
Dia juga menyampaikan bahwa dirinya menolak klausul soal bea masuk 5 persen yang ada di dalam nota kesepahaman pemberian IUPK Freeport tersebut. "Jadi tetap kami menagihnya merujuk aturan existing yang sebesar 7,5 persen," kata Jonan saat itu.
Tentu bukan kali itu saja DPR mencecar pemerintah untuk urusan Freeport. Sebelum sah diakuisisi, DPR juga berkali-kali berupaya mengadang pemerintah dalam proses akuisisi.
Apalagi, setelah BPK merilis temuannya soal kerugian sebesar Rp185 triliun akibat rusaknya ekosistem yang disebabkan pembuangan limbah pertambangan atau tailing Freeport.
Pada akhirnya pemerintah tak ambil pusing, dan terus menggeber upaya negosiasi sebelum masa kampanye Pilpres dimulai.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana