Menuju konten utama

Tembagapura Panas: Baku Tembak TPNPB & Polri-TNI di Zona Freeport

Sejak awal Maret, TPNPB-OPM dan aparat keamanan Indonesia saling "jual beli tembakan" di zona utama Freeport.

Tembagapura Panas: Baku Tembak TPNPB & Polri-TNI di Zona Freeport
Ilustrasi pengamanan di PT Freeport Indonesia, Papua. tirto/Gerry

tirto.id - Tembagapura kembali memanas. Sejak 2 Maret lalu, pukul 08.30 waktu setempat, kelompok bersenjata dan polisi Indonesia baku tembak di Kampung Utikini Lama, Mimika, di sebuah zonah merah kawasan tambang emas Freeport Indonesia. Sebuah video beredar di media sosial memperlihatkan polisi bertahan di markas sembari membalas tembakan dari perbukitan. Delapan polisi terluka.

Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), mengklaim kelompok bersenjata itu adalah organisasinya. "TPNPB di bawah pimpinan Panglima Tinggi General Goliath Naaman Tabuni dan Komandan Operasi Umum Major General Lekagak Telenggen bertanggung jawab atas penyerangan di Tembagapura," klaimnya dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin pekan lalu.

Baku tembak berawal dari aparat, klaim Sebby; sementara TPNPB hanya "beli jualan"—sebuah aksi balasan.

Jual beli tembakan itu tak cuma melibatkan kelompok bersenjata Papua dan polisi-polisi Indonesia, tapi juga melibatkan tentara Indonesia.

Komandan Korem 174/ATW Brigjen Agus Rauf mengatakan posnya ditembaki sejak Rabu pekan lalu. "Saat ini anggota bersiaga guna mengantisipasi penembakan yang dilakukan KKB," ujarnya seperti dikutip dari Antara. Pemerintah Indonesia biasa menyebut TPNPB-OPM sebagai "Kelompok Kriminal Bersenjata".

Seorang personel TNI bernama Sertu La Ongge meninggal akibat luka tembak di bagian telinga setelah dievakuasi ke Timika, ibu kota Mimika. "Jenazahnya masih berada di RSUD Timika," kata Kapendam XVII Cenderawasih Kolonel Cpl Eko Daryanto.

Baku tembak itu membuat masyarakat sipil mengungsi dan warga turun ke Kota Timika, ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto.

Jumat sore (6/3/2020) sekitar 30 warga dari Utikini berbondong-bondong ke Polsek Tembagapura. Selama satu jam berikutnya warga yang mengungsi mencapai 800 orang; 100 di antaranya anak-anak dan 370 perempuan.

Karena kantor Polsek Tembagapura tak cukup menampung mereka, warga kemudian dipindahkan ke Timika setelah otoritas setempat "memverifikasi" identitas mereka, ujar Humas Polda Papua Kombes Kamal. Evakuasi ini dipimpin oleh Kapolsek Tembagapura AKP Hermanto dengan menggunakan 13 bus PT Freeport Indonesia.

Total, ada 917 warga dari Distrik Tembagapura mengungsi ke Timika; mereka berasal dari Kampung Longsoran, Kampung Batu Besar, Kampung Kimbely, dan Kampung Banti. Gereja Rehobot menjadi tempat sementara mereka berlindung.

Kamal berkata mereka mengungsi karena "takut dan tidak nyaman dengan kekejaman kelompok bersenjata."

Sebaliknya, menurut juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, masyarakat mengungsi karena "kampungnya diambil alih oleh aparat [keamanan Indonesia]."

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra berkata aparat tengah berupaya "meniadakan" kelompok bersenjata. "Ada 5.000 personel gabungan bersiaga di Tembagapura demi menjaga situasi tetap kondusif," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta, Senin pekan ini.

Ribuan personel keamanan gabungan dari Indonesia itu bertugas dalam "Operasi Nemangkawi" demi memburu kelompok bersenjata di Papua. Ia digelar sejak 2019, lalu diperpanjang hingga enam bulan ke depan sejak medio Januari 2020.

Kombes Asep mengklaim sejak pekan ini situasi di Tembagapura mulai kondusif. Masyarakat yang tidak mengungsi "mulai melaksanakan aktivitas sehari-hari."

Meski begitu, pernyataan dari Jakarta tak seketika menggambarkan situasi sebenarnya.

Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob berkata warga sipil akan diantar ke kampung masing-masing jika situasi sudah kondusif—tanpa menyebut waktu detail.

Ia berjanji akan melengkapi data kependudukan warga. "Yang belum ada KTP, pemerintah akan melayani dan kembali ke kampung sudah memiliki KTP," ujar Rettob dalam keterangan tertulis kepada reporter Tirto pada Sabtu pekan lalu.

Alarm Freeport

Pada 4 Maret atau dua hari setelah baku tembak, PT Freeport Indonesia (PTFI), maskapai tambang yang 51 persen sahamnya kini dimiliki pemerintah Indonesia, merilis "memorandum manajamen risiko keamanan antar-kantor" kepada seluruh komunitas perusahaan.

Pada 8 Maret, PTFI kembali merilis peringatan, kali ini mengaktifkan sirene yang terdengar ke seantero Tembagapura dan kota satelit Hidden Valley: meminta para pekerja segera mencari tempat berlindung di bangunan terdekat sampai situasi sepenuhnya aman.

"Jika melihat hal-hal yang tidak lazim, karyawan dan keluarga diharapkan melaporkan kepada aparat," ujar juru bicara PTFI Riza Pratama kepada reporter Tirto, Kamis pekan lalu.

Menurutnya, langkah-langkah itu bisa "membantu pihak keamanan [Indonesia] melaksanakan tugas-tugasnya."

Tembagapura, lokasi baku tembak, adalah kawasan utama Freeport. Area steril Freeport dari Terminal Bus Gorong-Gorong di Mile 26. Wilayah eksklusif ini sepanjang lebih dari 46 mil. Jalan beraspal hanya sampai sekitar wilayah Kuala Kencana. Setelahnya, jalanan berangkal tanah dan batu cokelat-kuning yang rata hingga ke pusat pertambangan.

Dari Mile 72 hingga pelabuhan menjalar Sungai Aikwa. Sungai ini diisi tailing atau limbah tambang, berwarna abu-abu dan bikin sungai dangkal. Sebagian besar warga Kimbely dan daerah terdekat mendulang tailing mencari emas.

Belum Reda

Baku tembak belum juga reda hingga Selasa pekan ini (10/3/2020).

Hendrik Wamang, Kepala Badan Staf Makodap III TPNPB Kali Kopi, berkata bahwa dia dan anak buahnya tetap bertahan di markas daerah Timika tanpa batas waktu. Ia sesumbar TPNPB tetap bertahan "sampai keinginan Bangsa Papua Barat merebut kedaulatan terpenuhi."

Ia mengingatkan kepada khalayak Indonesia bahwa Papua Barat bukanlah bagian sah dari Indonesia menyusul prosedur integrasi yang cacat pada 1969.

Hendrik juga menolak penyebutan dari otoritas Indonesia bahwa warga sipil yang mengamankan diri disebut "pengungsi" karena hal ini mengesankan penduduk setempat mendukung Indonesia.

Menurutnya, "masyarakat pribumi dengan kami itu sepaham. Justru kami yang meminta rakyat untuk segera mengosongkan area Freeport sehingga pertempuran ini menjadi pertempuran murni antara TPNPB versus aparat Indonesia."

Baca juga artikel terkait PAPUA MERDEKA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino