Menuju konten utama

Hakim PN Timika dalam Buaian Tambang Emas Freeport Indonesia

Independensi para hakim dipertanyakan menyusul tudingan mereka menjadi staf kontraktor dan menerima gratifikasi dari PT Freeport Indonesia.

Operasi tambang emas Freeport-McMoRan Copper & Gold pada 1973 menandakan eksploitasi ekonomi sesudah integrasi paksa Papua ke Indonesia pada 1960-an. Tirto/Gery

tirto.id - Deddy Muchlis mengarahkan telunjuk ke luar jendela mobil ketika kami melintasi kompleks Perumahan Timika Indah, 25 Januari lalu. Tudingannya ke arah rumah bercat cokelat muda di tepi Jalan Koperapoka, sekitar 5,7 km dari Bandara Mozes Kilangin Timika, Papua.

Di depan setiap rumah ini tertempel kode rumah dan pelat hijau bertuliskan 'Rumah Dinas PT Freeport Indonesia'. Dilapisi dinding bermotif batu bata, setiap rumah ini memiliki tiga pendingin udara. Setiap jendela dilapisi korden putih. Kamis siang itu, sekitar pukul 14.00 waktu setempat, tak terlihat seorang pun di sana. Suasananya sunyi.

”Tapi ada hakim yang tinggal di situ,” kata Muchlis, Sekretaris Koordinator Cabang Brigade Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (SP KEP) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Timika.

Di Jakarta, enam jam perjalanan via pesawat dari Timika, persoalan rumah dinas itu mencuat setelah Lokataru, sebuah kantor hukum dan hak asasi manusia yang menjadi pengacara bagi sekitar 3.274 buruh Freeport Indonesia, mengadukan Relly Dominggus Behuku dan Fransiscus Y. Babthista ke Komisi Yudisial, Badan Pengawas Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Behuku adalah Ketua Pengadilan Negeri Kota Timika, sedangkan Babthista ialah hakim pengawas bidang sekaligus Humas PN Timika.

Haris Azhar, advokat Lokataru, menuding bahwa rumah dinas berkode H.19 dan H.23 di kompleks itu ditempati Babthista dan Behuku. Tudingan ini diperkuat foto aktivitas kedua hakim itu di rumah dinas tersebut. Dalam bukti itu terlihat beberapa mobil dinas PN Timika, salah satunya tertempel pelat nomor DS 5 M.

Padahal, dalam laporan tahunan 2016, PN Timika memiliki satu kompleks perumahan khusus pegawai. Isinya satu rumah dinas tipe B dan sembilan rumah tipe C. Letaknya di Jalan Cendrawasih - SP 3, sekitar 6 km dari rumah dinas PT FI atau sekitar 1,9 km dari Gedung PN Timika.

Haris menilai fasilitas rumah dari Freeport yang ditempati kedua hakim ini sebagai “pemberian” dan bisa dikategorikan gratifikasi.

“Ini hal terlarang,” ujar mantan koordinator organisasi nonpemerintah KontraS tersebut.

Lokataru juga mendapati ada beberapa pegawai dan mantan pegawai PN Timika yang berstatus staf kontraktor Freeport Indonesia. Tudingan ini ditopang bukti status kepegawaian mereka dalam database internal PT FI.

Mereka adalah Relly Dominggus Behuku, Fery Haryanta (saat ini Kepala PN Fakfak), AA Putu NGR Rajendra (kini hakim di PN Mataram), Abdul Kadir Rumodar (kepala Panitera PN Kelas II b Sorong), dan Achmad Yuliandi Erria Putra (kini hakim pratama utama di PN Poso).

Haris menilai status para hakim yang terkoneksi dengan PT FI ini bikin independensi mereka dipertanyakan, terutama ketika memutus perkara terkait perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia tersebut.

Contohnya kasus terhadap Sudiro, mantan Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) SP KEP SPSI PTFI, yang menuntut perlakuan kerja dan penaikan upah buruh secara layak selama dua tahun terakhir. PN Timika menerima laporan pidana penggelapan dana terhadap Sudiro dan memvonisnya setahun penjara. Haris menyebut pengadilan ini “penuh kejanggalan.”

Lokataru juga menelisik peraturan internal Freeport Indonesia yang disebutnya “berpotensi merusak independensi pemerintah.” Misalnya soal kebijakan antara kontrak pekerja Indonesia dan pegawai pemerintah (ditulis dalam dokumen dengan kode HR.REC.05).

Kebijakan ini, sebut Lokataru, “adalah strategi PT FI untuk menerima dan melakukan hubungan kontrak dengan militer, polisi, dan pegawai pemerintah.” Peraturan ini dianggap Haris dkk sebagai “celah bagi gratifikasi atau tindakan lain.”

Contoh lain mengenai peraturan internal PT FI soal manajemen pengunjung (kode: HR.MISC.03). Aturan ini menyebutkan perbedaan antara pekerja kontraktor dan visitor biasa. Posisi lima hakim itu, menurut Lokataru, bisa dianggap sebagai pegawai kontraktor, bukan pengunjung.

Di Timika, sejak perusahaan induk Freeport-McMoRan mendapatkan kontrak karya pada 1967 seiring lahirnya rezim Orde Baru dan memulai eksplorasi pada 1970-an, areal tambang tembaga dan emas raksasa ini dijaga oleh militer Indonesia. Otoritas menyebutnya “arel vital”.

Penjagaan dengan check point ini sepanjang lebih dari 46 mil, dari pelabuhan Amamapare (sekitar 30 km dari Kota Timika) hingga puncak gunung Grasberg di kawasan Tembagapura. Setiap orang hanya bisa masuk melalui Terminal Bus Gorong-Gorong di Mile 26 dan Mile 28 dengan pengawasan ketat.

Artinya, dalam kasus kelima hakim yang bekerja di PN Timika itu, mereka bebas masuk ke areal vital Freeport dengan status sebagai kontraktor, menurut Lokataru.

“Sudah Lama Dipinjamkan untuk Pemerintah”

Riza Pratama, juru bicara PT Freeport Indonesia, mengatakan beberapa hakim di PN Timika memang tinggal di rumah dinas karyawan di Perumahan Timika Indah.

Ia bilang rumah itu tak hanya ditempati hakim melainkan juga personel dari kepolisian, pegawai bea cukai, imigrasi, dan pemerintah daerah.

“Sejak karyawan pindah ke Kuala Kencana, rumah itu kami pinjamkan. Jadi ini pinjam-pakai untuk pemerintah karena pemerintah belum punya fasilitas rumah,” kata Riza. Kuala Kencana merujuk kota kecil yang dibangun PT FI dengan beragam fasilitas serba ada seperti rumah bagi karyawan, rumah sakit, hingga pusat perbelanjaan modern.

Meski di bagian selasar rumah itu tertulis “Rumah Dinas”, Riza menolak menyebutnya demikian dan memilih menganggapnya sebagai “rumah karyawan.”

“Listrik di Timika itu masih mati-hidup dari pemerintah,” lanjut Riza. “Tapi kalau di tempat kami, listrik masih bagus. Mereka di tempat karyawan kami listriknya lebih enak untuk tinggal.”

Soal kartu tanda pengenal bagi lima hakim PN Timika, Riza mengakuinya. Tapi ia membantah jika lima hakim itu menjadi pegawai perusahaan kontraktor atau privatisasi perusahaan. Status kontraktor ini menurutnya bagi non-karyawan.

“Bukan dipekerjakan,” bantah Riza. “Mereka tidak dapat gaji, hanya diberikan kartu tanda pengenal akses.”

Riza berkata hakim berhak mendapatkan akses ke wilayah operasi perusahaan karena tugas mereka mengawasi. Namun, saat ditanya apa yang perlu diawasi dengan hadir langsung dalam area PT FI, Riza bilang “tak tahu.”

“Kami justru membantu pemerintah, loh. Kenapa kami disalahkan?” keluh Riza.

Riza mengatakan aturan dasar PT FI memfasilitasi pemerintah tertuang dalam Kontrak Karya pada 1967, tahun ketika perusahaan tambang emas dari New Orleans, Amerika Serikat, ini meneken kontrak dengan pemerintah Indonesia pada 7 April 1967—dua tahun sebelum penyerahan Papua ke Indonesia.

Namun, tambah Riza, rekomendasi untuk mendapatkan fasilitas dari Freeport hanya bisa didapatkan dari pemerintah daerah.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/26/hl-freeport-04.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Freeport" /

MA hingga KPK Didesak Menyelidiki

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti berkata bahwa setiap hakim harus berpegang teguh pada prinsip kode etik. Untuk menjaga independensi, hakim seharusnya tidak menerima apa pun atau bahkan bertemu dengan orang yang bisa berpotensi “conflict of interest” di pengadilan.

“Apalagi dapat rumah,” ujarnya. “Fasilitas sama sekali tidak boleh.”

Bivitri mengacu pada Bangalore Principles of Judicial Conduct, sebuah standar kode etik yang dianut para hakim secara internasional. Di Indonesia, aturan yang sama termaktub dalam Pedoman Perilaku Hakim tahun 2006, yang disempurnakan tahun 2009 dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Selama ini Mahkamah Agung juga telah berupaya menghindari hakim menerima gratifikasi dengan menyediakan rumah dinas. Selain itu, hakim di Papua mendapatkan tunjangan daerah pedalaman sebagai PNS.

Maka, jika ada dugaan hakim melanggar kode etik, menurut Bivitri, hak macam itu “tak bisa ditoleransi dan harus segera diusut.”

“Secara prinsip sudah salah. Karena Freeport itu perusahaan besar di sana, jadi potensi dia punya perkara apa pun, mulai dari perdata, pidana, perburuhan, sumber daya alam, pasti besar sekali harus ditangani pengadilan,” ujar Bivitri, yang menulis buku Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman (1999).

Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial—yang berperan menjaga martabat dan perilaku hakim—didesak untuk mengusut para hakim dari PN Timika tersebut, menurut Bivitri. Karena ada dugaan gratifikasi, maka KPK, kejaksaan, maupun kepolisian bisa ikut menyelidiki para hakim tersebut.

Hingga laporan ini dirilis, Ketua Badan Pengawas MA Sunarto berkata bahwa institusinya telah membentuk tim pemeriksa terdiri tiga hakim tinggi pengawas untuk mengusut dugaan fasilitas rumah dari Freeport untuk dua hakim dan staf kontraktor bagi lima hakim.

Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari juga berkata telah merespons isu ini.

“Kami sudah turunkan tim. Sedang dalam proses pemeriksaan,” tulisnya melalui pesan singkat kepada redaksi Tirto.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam