Menuju konten utama

Alasan Freeport Soal Pemberian Fasilitas ke Hakim Dinilai Janggal

Pihak Freeport Indonesia mengeluarkan penjelasan menanggapi tudingan perusahaan ini memberikan fasilitas ke hakim PN Timika. Tapi, Tim kuasa hukum pekerja Freeport menilai penjelasan itu janggal.

Alasan Freeport Soal Pemberian Fasilitas ke Hakim Dinilai Janggal
Para pekerja korban PHK PT Freeport Indonesia mengikuti demonstrasi di Cek Point Mile 28, Timika, Papua, Sabtu (19/8/2017). Mereka kecewa karena sengketa hubungan industrial antara pekerja dan manajemen Freeport tak kunjung selesai. ANTARA FOTO/Spedy Paereng.

tirto.id - Tim Kuasa Hukum pekerja PT Freeport Indonesia baru-baru ini mengadukan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Timika, Relly D. Behuku ke Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA). Laporan itu menduga Hakim Relly melanggar kode etik karena menempati fasilitas rumah milik Freeport.

Sementara Relly kini menjadi ketua Majelis Hakim persidangan dengan terdakwa 9 pekerja Freeport. Mereka didakwa terlibat kasus kerusuhan dan perusakan saat aksi demonstrasi pekerja Freeport pada 2017 lalu.

Menanggapi laporan itu, Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama menyatakan banyak aparat negara di kawasan operasi perusahaannya bisa mendapatkan fasilitas pinjam-pakai rumah. Fasilitas itu bisa didapatkan oleh pegawai Pemda, Pengadilan, Imigrasi, Bea Cukai, Kepolisian, hingga Bupati.

Menurut Riza, fasilitas perumahan itu disediakan oleh Freeport sejak 1991. "Waktu Kontrak Karya kedua tahun 1991 ditandatangani, Pemda minim (fasilitas). Maka, kami pinjamkan rumah. Mulai itu (juga) kami bangun rumah karyawan PT FI (Freeport Indonesia)," ujar Riza kepada Tirto baru-baru ini.

Riza mengatakan perumahan itu sama dengan fasilitas bagi pekerja Freeport. "Kayak rumah karyawan, bukan rumah mewah spesial (untuk aparat negara). Itu rumah yang dibangun untuk karyawan kami, untuk (pegawai pemerintah) sekalian di situ," kata dia.

Riza mengklaim Kontrak Karya Freeport mengizinkan peminjaman fasilitas seperti itu ke aparat negara. Menurut dia, perjanjian pinjam-pakai rumah kepada aparat negara itu juga terus diperbarui setiap tahun.

Laporan Tim Kuasa Hukum pekerja Freeport ke MA juga mengadukan data yang mencatat Hakim Relly sebagai staf kontraktor PT Freeport Indonesia. Informasi dalam data base milik PT Freeport Indonesia itu sekaligus mencantumkan PN Timika sebagai salah satu vendor perusahaan tersebut.

Soal laporan ini, Riza Pratama menjelaskan informasi dalam data base Freeport itu berkaitan dengan pemberian kartu identitas (ID) untuk aparat negara agar mudah memasuki area operasi perusahaannya di Papua. Menurut Riza, Freeport memberikan kartu ID itu ke para aparat negara, termasuk hakim, yang memiliki area kerja di kawasan operasi milik perusahaan ini. Ia mencontohkan aparat negara perlu memasuki area milik Freeport untuk kegiatan pengawasan.

Sementara sistem data base milik Freeport, menurut Riza, tak mengenal status di luar pekerja. Karena itu, nama-nama aparat negara yang memiliki kartu ID itu dicatat sebagai staf kontraktor. Sementara lembaga asalnya, seperti PN Timika, dicantumkan sebagai vendor dalam data base milik Freeport. "Itu cuma cara kami untuk mengeluarkan ID agar (aparat) bisa masuk ke wilayah kami," kata dia.

Sebaliknya, salah satu Kuasa Hukum pekerja Freeport, Haris Azhar menilai penjelasan itu janggal dan berbeda dari hasil temuannya. "Saya investigasi ke beberapa sumber, dan sumber itu bilang, kalau orang (tercatat) di data base itu (milik Freeport), orang itu terima gaji bulanan atau fasilitas lain," kata dia pada Minggu (11/2/2018).

Selain itu, menurut Haris, perjanjian Kontrak Karya Freeport seharusnya tunduk pada undang-undang yang berlaku. Dia berpendapat tidak mungkin Kontrak Karya mengatur pemberian fasilitas ke aparatur negara, karena hal itu bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, ketentuan mengenai Kode Etik Hakim.

"Enggak boleh anggota PN (Pengadilan Negeri) menerima fasilitas perusahaan. Apa MA tahu soal itu?” Kata Haris.

Apalagi, Haris mencatat hanya sebagian kecil pekerja Freeport Indonesia yang mendapatkan fasilitas perumahan. Sebagian besar pekerja, menurut dia, menempati barak dengan kondisi tak memadai.

"Info yang saya terima, aspek keamanannya (barak) minim. Misalnya, saat mogok kerja dan sejumlah karyawan turun ke daerah bawah, ke Timika dan Tembagapura, barang-barang mereka hilang sampai sekarang,” kata Haris.

Pihak Freeport membenarkan keberadaan barak itu. Tapi, juru bicara Freeport mengklaim fasilitas barak memadai. Barak ditempati pekerja yang belum berkeluarga. Sementara perumahan untuk mereka yang sudah berkeluarga.

Selain itu, Haris Azhar juga meragukan alasan pencantuman nama Ketua PN Timika dalam data base milik Freeport, yakni untuk pemberian kartu ID. Haris menyangsikan alasan Freeport bahwa pemberian kartu ID ke aparatur negara, termasuk hakim, itu agar mereka mudah memasuki kawasan operasi milik perusahaan tambang ini.

“Buat apa hakim mondar-mandir di sana (wilayah operasi Freeport)?" Kata Haris. "(Kalaupun perlu) kan ada mekanisme visitor (pengunjung). Kenapa hakim (harus) punya nomor (kartu) ID?"

Haris mengimbuhkan, pada Senin (12/2/2018), Tim Kuasa Hukum 8000 Karyawan Freeport dari Lokataru-Kantor Hukum dan HAM, akan mengadukan pemberian fasilitas dari Freeport untuk Ketua PN Timika itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menilai praktik itu layak diduga sebagai pemberian gratifikasi ke aparat negara.

Baca juga artikel terkait PT FREEPORT INDONESIA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Hukum
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom