tirto.id - Di Check Point 28 areal PT Freeport Indonesia, gas air mata diarahkan ke dengkul kanan Arnon Merino, salah satu buruh yang terkena PHK dalam demonstrasi 19 Agustus 2017. Setelah itu ia dikeroyok oleh aparat kepolisian, lalu dilempar ke mobil.
Sesampainya di kantor polisi resort Mimika, Kapolres AKBP Victor Mackbon menyuruhnya jongkok dengan luka bakar di dengkul kanan. “Setelah jongkok, kami dimaki-maki oleh Kapolres dengan kata-kata yang tidak pantas,” ujar Merino kepada saya, akhir Januari lalu.
Saat proses pemeriksaan, seorang penyidik Polres Mimika melayangkan bogem ke pelipis kiri Merino. Ia dibawa ke salah satu ruangan. Di sana sudah ada kabel yang terhubung aki. Merino diancam bakal disetrum listrik.
Dua hari setelahnya, Merino kembali diperiksa di bawah pengetahuan Kasat Reskrim Polres Mimika, AKP Dionisius Vox Dei Paron Helan. Helan juga memotong sehelai rambut gimbal Merino.
Polisi juga menangkap Denny Baker Purba, demonstran yang berorasi bahwa PT Freeport Indonesia telah “menjalankan hukum ilegal” secara otoriter melalui kebijakan furlough.
Pada 28 Agustus, di rumahnya di daerah Timika, Purba dijemput paksa oleh aparat Polres Mimika dengan senjata laras panjang. Petugas kepolisian melarang istri Purba untuk memfoto surat perintah penangkapan.
“Saya seperti penjahat terorisme. Anak saya lihat saya menangis, mentalnya terganggu,” ujar Purba.
Di Polres Mimika, tanpa pengacara, Purba langsung diperiksa para penyidik. Ia bilang para penyidik menghardik dengan kata-kata kotor untuk menjatuhkan organisasi buruh tempatnya bergiat—Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP KEP SPSI).
“Mereka bilang organisasi kami tahi,” ujar Purba. “Saya ditekan supaya takut.”
Selama proses pemeriksaan, Purba diminta berulangkali untuk mengakui bahwa ia melakukan perusakan atas perintah Sudiro dan Aser Gobay—keduanya ketua pengurus unit kerja dan pengurus cabang serikat. Polisi menuduh beberapa demonstran telah merusak dan membakar tiga truk, satu ekskavator, dan satu mobil.
Besoknya, Purba ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman pidana “membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang” dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara (pasal 187 KUHP).
Sejak 26 Agustus 2017 hingga Desember 2017, Purba ditahan di Rutan Polres Mimika dengan tiga kali masa perpanjangan penahanan. Selama mendekam di rutan itu ia sempat sakit mag tetapi dilarang menerima pengobatan secara layak.
“Perut kembung, sakitnya sampai menekan ke ulu hati. Sakit sekali,” ujarnya.
Ia berulangkali memohon kepada para penyidik untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan tetapi diabaikan. Saat sakit, ia hanya dirawat teman-teman satu selnya sampai sembuh.
Hal sama terjadi pada John Penewas Yawang Alias John Yawang, pekerja perusahaan privatisasi PT Kuala Pelabuhan Indonesia, yang ditangkap polisi pada 23 Agustus 2017. Setelah ditetapkan tersangka, meski penyidik hanya mengantongi surat penahanan di Rutan Polres Mimika, Yawang ditahan di Polsek Kuala Kencana.
Saat ditahan, Yawang lebih sering diabaikan untuk mendapat makanan layak. “Karena tidak ada air minum, terpaksa kami minum air keran kurang lebih selama satu bulan,” ungkapnya.
Pernah pula seorang polisi mendatangi sel dia sembari membawa ular piton—ukurannya sebesar pipa paralon dengan diameter sekitar 5,5 sentimeter. Personel polisi itu menakut-nakutinya dengan ular yang akan ditaruh di dalam sel.
Gara-gara itu, kata Yawang, “saya enggak sempat makan, dan rasa lapar kami hilang.”
“Kami seperti tahanan teroris atau tahanan yang mengancam kedaulatan negara,” imbuhnya.
Satu sel dengan Yawang, Stefen Edward Yawan, pekerja PT Freeport Indonesia, berkata ia dan rekan satu sel sering makan nasi tanpa lauk. Ada saja personel polisi yang mengambil jus, camilan, atau lauk tahanan.
Yawan sempat dimaki-maki Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon saat menghadapi BAP di Polres Mimika.
“Dia mengeluarkan kata-kata kotor sambil bicara 'kontol dan anjing' ke saya. Saya diam saja,” ujarnya.
Mackbon, kata Yawan, ingin tahu apa yang dikatakan Sudiro dan Aser Gobay. Para tahanan tetap bersikukuh bahwa mereka melakukan demo tanpa rencana. Mackbon memilih ragu dan menyebutnya “teroris,” perkataan sama yang ia lontarkan kepada George Agustinus Suebu alias Agus, buruh lain yang ditahan.
Menurut Agus, Mackbon menyuruhnya untuk memukul Sudiro. Agus menolak dan dimaki Mackbon dengan kata “pengecut.”
Perlakuan merendahkan martabat manusia juga diterima Labai alias Zaki di Rutan Polres Mimika. Usai jam salat Subuh, seorang anggota Provos yang sempoyongan mendekati selnya, memaki-maki ibu Zaki. Kesal mendengar itu, Zaki membalas, “Lebih baik kau tembak saja aku daripada kau maki-maki Mamaku.”
Saat dikonfirmasi, AKBP Victor Dean Mackbon—yang pindah jadi Kapolres Jayapura sejak Januari 2018—membantah telah melakukan intimidasi maupun kekerasan verbal lain. Ia menantang bukti atas pengakuan para buruh dalam tahanan tersebut.
“Enggak pernah ada,” kata Mackbon kepada saya. “Emang kami diajarin mukul orang apa?”
Mackbon juga berkata bahwa tindak penangkapan terhadap para demonstran oleh para anggotanya “sudah sesuai prosedur.”
Personel dari Brimob Satgas Amole III 2015 berjaga di areal tambang Freeport Indonesia di Timika, Papua. Setiap tahun Freeport mengucurkan miliaran rupiah ke Polri sebagai biaya proteksi. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz/15
Penyisiran dan Teror
Sabtu malam usai demonstrasi 19 Agustus 2017, Polres Mimika menggelar sweeping terhadap pengendara motor yang kedapatan memakai atribut pita merah, baju, atau stiker SPSI.
Haris Azhar, pengacara dari Lokataru yang jadi kuasa hukum ribuan buruh PT FI yang di-PHK sepihak, menyebut sweeping itu atas perintah AKBP Victor Dean Mackbon.
“Kami punya rekaman suaranya, dia ngasih perintah ke semua jajarannya di Handy-Talky,” ujar Haris.
Dari hasil penyelidikan Lokataru, orang-orang yang jadi target sweeping terbatas pada mereka yang memakai atribut SPSI. Mereka yang kedapatan membawa senjata tajam dibiarkan lolos.
“Orang-orang yang ditangkap malam itu dibawa ke Polres, dikumpulin di Aula, disiksa, disuruh jongkok. Ada dua orang tidak mendapatkan pengobatan selama 24 jam,” terang Haris.
Esoknya, aparat gabungan TNI, Polri, Satpol PP, dan sekuriti internal Freeport menyisir ruas jalan di Timika. Mereka berkeliling kota dengan dua tank, panser Anoa (angkutan personel sedang-3), dan arak-arakan motor Sabhara.
Di antara iring-iringan ini ada Ramang Mokodompit, manajer operasi manajemen dan risiko keamanan PT Freeport Indonesia. Ia berdiri di atas panser Anoa bersama Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen George Elnadus Supit dan Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar.
Di hari itu aparat gabungan membongkar tenda di tiga titik: depan rumah Sudiro, serta sekretariat pengurus unit kerja dan pengurus cabang serikat. Tindakan ini juga disertai pengusiran dan pemukulan buruh.
“Mereka merusak fasilitas ibadah di sekretariat pengurus cabang,” ujar Haris Azhar dari Lokataru. “Ada juga brutalitas terhadap dua karyawan di depan rumah Sudiro.”
AKBP Victor Dean Mackbon mengatakan langkah sweeping dari aparat gabungan sebagai tindakan “keamanan dan ketertiban masyarakat.”
Meski Ramang Mokodompit terlihat ikut dalam operasi gabungan, jubir PT Freeport Indonesia Riza Pratama membantah pihaknya terlibat dalam penyisiran terhadap buruh yang tergabung dalam serikat pekerja.
Polri dalam Perundingan Bipartit dan Tripartit
Di Grasberg, lokasi pertambangan Freeport di Tembagapura, barisan buruh dikepung Satgas pengamanan objek vital Polri—biasa disingkat Pam Obvit. Para personel polisi bersenjata laras panjang berjaga-jaga saat buruh menggelar mogok kerja 10 hari dan menyegel kantor transisi, 5 Oktober 2016.
Mogok ini digelar karena buruh dari Departemen Grasberg Operation mendapatkan ulat pada makanan, distribusi minuman tak merata, ada transisi karyawan dari divisi tersebut ke tambang bawah tanah, serta bonus kerja mereka yang minim.
Di Shelter Gunung Bijih Timur, pasukan di bawah Komandan Satgas PAM Obvit PT Freeport Indonesia, AKBP Yunus Wally, berulangkali mengumumkan lewat megaphone agar buruh kembali kerja. Tapi buruh menolak dan mendesak ada perundingan.
Perundingan pun dimulai di Surabaya Office. Meski pertemuan tertutup, dan perundingan ini antara buruh dan manajemen PT Freeport, tapi AKBP Yunus Wally ikut dalam forum tersebut.
Gibi Kenelak, saat itu koordinator advokasi dari pengurus unit kerja serikat, mengatakan bahwa sesuai Perjanjian Kerja Bersama antara buruh dan PT FI, seharusnya pihak keamanan tak terlibat dalam perundingan. Kenelak menduga perundingan ini telah direncanakan oleh pihak manajemen agar aparat polisi turut hadir.
“Pak Yunus Wally hadir di pertemuan dan memimpin doa,” ujarnya. “Dan ternyata, pada saat pertemuan berjalan, dia juga punya hak suara.”
Setelah buntu, perundingan itu digeser oleh AKBP Yunus Wally di Rimba Papua Hotel, Kota Timika, pada 7 Oktober 2016. Polri lagi-lagi hadir dalam pertemuan tersebut.
Di pertemuan itu, Irjen Paulus Waterpauw—saat itu Kapolda Papua—hadir sebagai mediator. (Waterpauw kini menjabat Kapolda Sumatera Utara setelah gagal diusung untuk Pilgub Papua 2018.)
“Harusnya Disnaker yang jadi mediator,” kata Kenelak.
Kenelak mengatakan perundingan itu berjalan alot dan Irjen Waterpauw melayangkan privilese sebagai Kapolda. “Dia jengkel, omong 'Saya punya pangkat, bukan saya beli di jalan, hargai saya, saya Kapolda, saya bintang dua'.”
Pada perundingan tripartit pada akhir April 2017—juga digelar di Rimba Papua Hotel—bahkan lebih banyak lagi aparat keamanan yang terlibat.
Selain AKBP Yunus Wally, ada Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon; dan Dandim 1710/Mimika Letkol Inf Windarto. Ada juga Wakil Bupati Mimika Yohanis Bassang; dan Kepala Disnakertrans Mimika Septinus Soumilena. Mereka duduk di depan pusat perundingan—memperlihatkan sebagai mediator antara serikat buruh yang menolak furlough dan manajemen PT Freeport Indonesia.
Negosiasi tetap buntu. Gibi Kenelak, kini menduduki ketua pengurus serikat yang pro-mogok, mengatakan manajemen menawarkan buruh yang mogok boleh bekerja asalkan mau menerima sanksi indisipliner. Buruh menolak dan tetap menuntut semua buruh yang kena furlough bisa kembali bekerja.
Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon berkata bahwa saat perundingan buruh, pihak kepolisian tak akan hadir jika tak diundang. Keterlibatan polisi dalam negosiasi bipartit maupun tripartit menurutnya “untuk menyampaikan imbauan.”
“Kami menyampaikan jangan sampai merugikan masyarakat lain. Jangan sampai merugikan pekerja,” katanya. “Yang jelas sudah kami ingatkan jangan sampai ada mogok besar-besaran, enggak boleh,” tambah dia.
Namun, jubir Freeport Indonesia Riza Pratama mengklaim tak pernah “melibatkan aparat dalam perundingan.”
“Mereka hanya membantu membuat suasana kondusif. Rundingan, sih, antara kami,” kata Pratama.
Dari Pasta Gigi, Makan, hingga Tiket Pesawat dari Freeport
Selama bertahun-tahun PT Freeport Indonesia menyediakan fasilitas kepada aparat keamanan Indonesia untuk melakukan pengamanan terhadap “objek vital” di kawasan tambang.
Dalam laporan mengenai hubungan aktivitas bisnis dan pelanggaran hak asasi manusia, salah satunya menyebut aktivitas Freeport Indonesia, pasukan-pasukan keamanan di kawasan tambang diduga telah menggunakan kendaraan, kantor, dan peti kemas milik Freeport untuk mengangkut dan menahan orang-orang yang lantas mereka siksa atau bunuh. Kebijakan Freeport mengenai hak asasi manusia, yang diterapkan setelah terbukanya praktik ini, “secara eksplisit mengakui risiko bahwa aparat militer atau kepolisian dapat menggunakan peralatan dan fasilitas perusahaan untuk melakukan pelanggaran.”
Setiap tiga tahun sekali, PT Freeport Indonesia memperbarui perjanjian kerja sama dengan Polda Papua. Berdasarkan data yang telah dilaporkan oleh Polda Papua ke Pusat Keuangan Mabes Polri, dana yang digelontorkan PT Freeport Indonesia pada 2015 untuk “menciptakan kondisi aman” sebesar Rp43,9 miliar. Pada semester I 2016, dana tersebut sebesar Rp21,4 miliar.
Dana ini ditransfer PT Freeport Indonesia via Bank Mandiri ke rekening Biro Operasi Polda Papua. Statusnya adalah “dana hibah.”
Dalam Nota Kesepahaman (MoU) selama tiga tahun antara Kapolda Papua dan PT Freeport Indonesia No. B/1446/V/2013 dan JK1300112-001 bertanggal 29 Mei 2013, tercatat rincian mengenai biaya bantuan.
Setidaknya ada dua belas bantuan dari PT Freeport Indonesia, dua di antaranya dalam bentuk biaya langsung yakni bulanan dan administrasi. Selain tunjangan uang, makan, transportasi, dan telekomunikasi—yang termuat dalam Infografik—PT Freeport Indonesia juga memberi fasilitas pompa air dan pemeliharaan listrik di Polres Mimika, Batalyon Brimob Detasemen B, dan Polres Bandara Timika.
Khusus untuk di areal tambang seperti Polsek Tembagapura, Direktorat Polisi Air, dan Satgas pengamanan objek vital Polri, Freeport menyediakan layanan pompa air, mebel kantor, peralatan barak, pengumpulan sampah dan septik, serta pemeliharaan listrik.
Satgas objek vital Polri juga mendapatkan perlengkapan semir sepatu, pasta gigi, sabun mandi, sampo, pisau cukur, sabun deterjen, jaket, bantal, sarung bantal, seprai, piring dan cangkir melamin, sendok, garpu, dan selimut.
Namun, transparansi dana yang dikucurkan PT Freeport Indonesia ini buruk. Berdasarkan hasil evaluasi Badan Pemeriksa Keuangan terhadap dokumen pertanggungjawaban keuangan jasa pengamanan objek vital Polri, ada duit sebesar Rp236 juta pada 2015 dan Rp195 juta pada semester I 2016 yang masih nihil laporannya. Dana ini, dalam catatan BPK, belum dipertanggungjawabkan secara memadai.
Sudiro, komisaris lapangan dari pengurus unit kerja serikat selama 10 tahun, dan menjadi ketua selama 7 tahun, berkata kepada saya di penjara bahwa keterlibatan aparat keamanan dalam sengketa perburuhan sudah lama terjadi sejak dia bekerja di PT Freeport Indonesia.
“Mereka justru menggunakan aparat untuk intimidasi kami. Kalau tidak intimidasi, kami dianggap terorislah, pengacaulah,” ujarnya di Lapas Kelas II B Timika.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam