Menuju konten utama

Catatan Pembunuhan "Demi Freeport"

Pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua demi kelancaran operasional Freeport telah terekam di banyak laporan dan penelitian.

Catatan Pembunuhan
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) melakukan aksi di depan gedung DPRD Sumatera Utara, di Medan, Selasa (7/3). Mereka meminta pemerintah untuk menasionalisasi PT Freeport Indonesia. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/aww/17.

tirto.id - “Kalian pasti telah mengorganisir 300 pemberontak itu. Lihat saja, ABRI akan mencari siapapun yang terlibat. Kalau ketemu, tidak ada ampun. Dan kalian semua harus melindungi diri kalian sendiri. Jangan coba-coba bekerja sama dengan mereka di hutan. Kalau ada dari kalian yang terlibat, kalian harus memberi tahu kami!” seorang komandan militer berteriak di dalam gereja.

“Tapi Tuan Komandan, bagaimana kami, orang biasa, bisa melindungi diri? Kami tidak punya senjata!” seorang pemuda menjawab.

“Itu bukan urusanku. Ko bisa pakai panah dan busurmu atau pisau, atau apapunlah. Yang paling penting kalian harus melakukan sesuatu,” si komandan mulai marah.

Percakapan itu terjadi pada 25 Desember 1994. Setelah tentara dan petugas keamanan Freeport menembaki orang-orang Amungme dan Kamoro yang sedang melakukan aksi dengan menari, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel di Tembagapura.

Ia tertulis dalam laporan Australian Council for Overseas Aid berjudul Trouble At Freeport. Laporan itu berisi tentang perlawanan Papua Barat ke tambang Freeport dan represi militer Indonesia terhadap perlawanan tersebut.

Freeport dan militer Indonesia memang memiliki catatan panjang tentang pembunuhan warga sipil. Sebelum laporan Australian Council itu dipublikasikan, ada beberapa catatan yang merangkum perlawanan masyarakat dan kekerasan yang mereka hadapi.

Ia bermula pada tahun 1967, setelah Freeport mengantongi kontrak karya. Perusahaan tambang asal Amerika itu, bersama kontraktornya mulai menggusur tanaman rakyat. Mereka membangun helipad dan basecamp di Lembah Waa dan Banti, kawasan Gunung Nemangkawi.

Penduduk yang tinggal di lembah itu tak terima. Mereka kemudian melakukan protes. Tuarek Nartkime, seorang tokoh adat suku Amungme—salah satu suku pemilik lahan konsesi Freeport—memimpin protes itu. Tak ada catatan korban jiwa pada protes yang pertama.

Lima tahun kemudian, Tuarek Nartkime kembali memimpin protes di Lembah Tsinga. Menghadapi aksi ini, Freeport dan Pemerintah Indonesia mengirimkan TNI angkatan darat ke Tsinga demi mengamankan aktivitas eksploitasi. Menurut Markus Haluk dalam bukunya berjudul Menggugat Freeport, ada 60 orang suku Amungme yang menjadi korban dalam insiden ini.

Setakat satu tahun, Freeport menggusur masyarakat suku Amungme untuk membangun Kota Tembagapura. Kota itu akan dijadikan daerah pemukiman pekerja tambang. Protes besar-besaran terjadi. Patok-patok silang dipasang warga di lokasi yang akan dijadikan kota. Protes pada tahun 1973 itu menghasilkan sebuah kesepakatan bernama January Agreement 1974 antara Freeport McMoran, Pemerintah Indonesia, dan masyarakat suku Amungme.

Tetapi kemudian, Freeport dianggap tidak menjalankan seluruh kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian itu. Empat tahun setelah perjanjian ditandatangani, warga suku Amungme melakukan protes di Agimuka. Mereka memprotes kehadiran Freeport yang telah merampas tanah-tanah suku Amungme.

Menurut catatan Markus Haluk, tentara menghadapi protes itu dengan aksi kekerasan, melakukan penembakan dan pengeboman. Keeseokan harinya, bersama dengan OPM, warga suku Ammungme menyerang Freeport. Mereka merusak instalasi milik Freeport, termasuk jalur pipa yang membawa konsentrat emas dan tembaga dari area pertambangan ke kapal.

Di waktu bersamaan, masyarakat di Agimuka diserang tentara. Kampung Waa dan Kwamki hancur total. Banyak penduduk yang ketakutan dan melarikan diri ke hutan. Sepanjang 1977 sampai 1990, protes terus dilakukan warga suku Amungme. Kekerasan dari tentara juga terus mereka hadapi.

Pada 25 Desember 1994, masyarakat dari lembah Bela, Jila, Owea, Tsinga, dan Waa menggelar protes terhadap Freeport atas tindakan intimidasi, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan tanpa proses hukum, dan pembunuhan yang menimpa orang-orang Amungme dan Kamoro.

Ada sekitar 300 orang terlibat dalam aksi yang kemudian dibubarkan tentara Indonesia. Mereka dituduh OPM dan ditembak tanpa peringatan lebih dahulu. Dua orang Amungme tewas, lima orang hilang, 35 orang ditahan dan disiksa, semuanya dilakukan tanpa proses hukum.

Mei 1995, satu regu militer Indonesia yang sedang melakukan operasi di Kampung Hoea menembak brutal warga yang sedang berdoa bersama dan mengadakan pertemuan untuk menyepakati proses kembalinya sejumlah warga yang selama ini lari ke hutan. 11 orang termasuk dua anak-anak, dua remaja, dan satu orang pendeta tewas dalam serangan ini.

Australian Council bahkan sempat merilis nama-nama warga Papua yang menjadi korban. Tetapi hanya korban-korban pada tragedi 1994 sampai 1995. (Lihat infografik)

Infografik Membunuh Demi Freeport

Menanggapi kebenaran nama-nama korban tersebut, Kapuspen TNI Mayjen TNI Wuryanto belum bisa mengungkapkan kebenaran dokumen tersebut. "Masih saya cek dulu ya. Kemarin saya sudah ke Asintel. Belum ada data. Masih dicari," ujar Wuryanto kepada via telepon, Selasa (7/3) pagi.

Wuryanto mengatakan akan memberi jawaban pada sore hari. Namun, saat kembali dimintai keterangan, ia tak bisa dihubungi. Pesan singkat yang dikirim pun hanya dibaca.

Ada satu kutipan dari Tuarek Nartkime—seorang tokoh suku Amungme—yang berulang kali dikutip oleh laporan-laporan soal Freeport. “Saya selalu bertanya pada Tuhan, mengapa Ia meletakkan gunung yang indah itu di sini, karena orang-orang Amungme tak mendapatkan apa-apa dari Freeport kecuali masalah-masalah.”

Baca juga artikel terkait FREEPORT atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti