tirto.id - Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 menandai sejarah baru di Papua bagian barat (West Papua). Referendum dilakukan untuk menentukan apakah Irian Barat bersedia bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Papua Barat akhirnya memang menjadi bagian dari NKRI kendati proses dan validitas hasil Pepera masih menjadi teka-teki.
Penentuan status Papua Barat antara Indonesia dan Belanda sudah menjadi problema sejak lama, tepatnya setelah putusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, dan terus berlarut-larut bahkan hingga terjadi pergantian rezim di tanah air.
Ketika Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Sukarno dan menjabat sebagai Presiden RI ke-2 sejak 12 Maret 1967, ia langsung dihadapkan dengan persoalan ekonomi Indonesia yang merosot. Tak seperti Bung Karno yang cenderung anti modal asing, Pak Harto lebih pragmatis.
Berkebalikan dengan sang proklamator, Soeharto justru memandang modal asing adalah jalan keluar untuk mengurai carut-marutnya perekonomian Indonesia kala itu. Salah satu peluang yang paling terbuka adalah Papua yang sudah dilirik oleh Freeport.
Demi Jalan Freeport
Saat masih menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera atau sebelum resmi menjadi presiden, Soeharto sudah menerbitkan Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967.
Salah satu kebijakan awal Soeharto yang berdampak panjang, termasuk menyangkut nasib rakyat Papua, adalah kontrak karya kepada Freeport. Dikutip dari Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future (2009) yang disusun Muridan Satrio Widjojo, Soeharto meneken kontrak karya pada 7 April 1967.
Untuk mengamankan investasi itu, Soeharto harus menjamin Papua tetap menjadi bagian Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah RI harus mengamankan suara warga Papua dalam melalui Pepera. Sesuai klausul Perjanjian New York yang diawasi oleh PBB, Pepera mesti digelar pada 1969. Opsi Pepera cukup pelik: tetap ikut Indonesia atau merdeka.
Soeharto lalu mengutus Letjen Ali Moertopo mengamankan suara rakyat Papua yang sudah sejak 1964 ditunjuk sebagai Komandan Operasi Khusus (Opsus) untuk Irian Barat. Ali Moertopo ikut membantu Roeslan Abdulgani, Duta Besar RI untuk PBB kala itu, dalam mengawal masalah-masalah Irian Barat.
Tod Jones dalam Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia (2015) mengungkapkan, Ali Moertopo adalah penasihat pribadi Soeharto selama tahun 1966-1974 dan terlibat banyak operasi rahasia, termasuk Pepera di Irian Jaya (Papua) pada 1969.
Untuk menarik hati rakyat Papua, Ali Moertopo menggunakan langkah persuasif. Salah satunya dengan mengirimkan sejumlah besar pasokan barang kebutuhan pokok dan hadiah-hadiah menarik untuk kepala-kepala suku dan masyarakat tanah Papua.
Teka-Teki Pelaksanaan Pepera
Jusuf Wanandi yang kala itu menjadi asisten Ali Moertopo, dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998 (2012), mengungkapkan, barang-barang yang dikirim ke Papua itu termasuk tembakau merek Van Nelle de Weduwe dan bir yang memang menjadi kesukaan warga setempat sejak zaman Belanda.
Mei 1967, Jusuf ke Papua untuk mendalami persiapan Pepera yang rencana awalnya digelar pada 1968. Dari pengamatannya, Jusuf kemudian mengusulkan agar Pepera ditunda hingga 1969. Jika Pepera tetap diadakan pada 1968, sebut Jusuf, Indonesia pasti kalah dan harus angkat kaki Papua.
Selain itu, pemerintah Indonesia memutuskan Pepera akan dilaksanakan dengan sistem musyawarah, bukan voting (pemungutan suara) alias one man one vote sebagaimana yang diamanatkan oleh PBB.
“Indonesia menganggap one man one vote tidak cocok untuk Papua. Orang Papua dianggap masih terbelakang, belum siap buat referendum, Indonesia ingin pakai sistem musyawarah,” sebut Filep Karma, aktivis Papua, dalam Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014).
Pendekatan persuasif yang sebelumnya diterapkan pun mulai dibarengi dengan tekanan. Orang-orang Papua yang akan memberikan suara dalam Pepera 1969 itu juga ditentukan oleh pejabat Indonesia. Pelaksanaannya pun dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia.
Laporan resmi PBB, Annex1 Paragraf 189-200, menyebutkan:
“Pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu, kelompok besar tentara Indonesia hadir.”
Majalah Tempo edisi khusus (14-20 Oktober 2013) melaporkan, para wakil warga Papua yang hadir di Pepera adalah mereka yang kerap menerima bantuan. Ali Moertopo bertugas memastikan agar pemungutan suara dihadiri oleh orang Irian yang pro-integrasi.
“Hasilnya sudah diduga. Pada Agustus tahun itu, hasil Pepera menunjukkan Irian ingin bergabung dengan Indonesia,” tulis Tempo.
Editor: Iswara N Raditya