tirto.id - Film De Oost merupakan produksi bersama antara Belanda dan Indonesia. Berkisah tentang Johan, serdadu Depot Speciale Troepen pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Johan mulanya bangga dan kagum pada komandannya. Namun hal itu berubah menjadi muak setelah lama menjalani peperangan dan pembantaian.
Westerling dan Depot Speciale Troepen yang dipimpinnya merupakan pelaku pembantaian di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 hingga Februari 1947. Dalam Chellenge To Terror (1952:112), Westerling mengaku jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang dibunuh hanya sekitar 600 orang. Namun versi Indonesia menyebut korban kampanye pasifikasi ala Westerling berjumlah 40 ribu orang. Angka ini berasal dari Kahar Muzakkar.
Westerling lahir di Turki, 31 Agustus 1919, dan meninggal pada 26 November 1987 di Pumerend, Belanda. Ketika film De Oost dirilis, Palmyra Westerling (putri Westerling) mengutarakan isi hatinya.
"Belanda memiliki masa lalu kolonial yang kompleks," ujarnya.
Dalam sebuah surat terbuka, Palmyra menulis bahwa perang apa pun yang telah menyertai masa lalu tidak ada pemenangnya, tetapi hanya pecundang. Palmyra juga menyinggung Masa Bersiap yang begitu mengerikan antara 1945-1946. Masa itu adalah masa penuh teror sebagai aksi balas dendam kaum Bumiputra kepada orang-orang Belanda dan orang-orang yang terkait dengan Belanda.
Teror pada Masa Bersiap juga telah mengurangi dukungan terhadap Republik dari para korbannya. Contohnya Nono Tanasale yang mulanya mendukung Proklamasi Indonesia, namun karena kecewa atas perundungan dan pembunuhan kepada orang-orang Ambon, dia berbalik mendukung Belanda.
Bagi Palmyra, film De Oost yang mengambarkan Kapten Westerling sebagai komandan algojo adalah sesuatu yang sensasional. Jim Taihuttu, sutradara De Oost, dinilainya menggambarkan tentara Belanda seperti penjahat perang Nazi. Namun, setuju atau tidak dengan film tersebut, faktanya tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1949 memang banyak melakukan pembantaian terhadap rakyat.
Westerling memberlakukan pengadilan lapangan, yang tentunya jauh dari apa yang disebut praduga tak berbersalah sebelum hakim memvonis. Di pengadilan lapangan, seperti tergambar dalam film De Oost, Westerling beserta pasukannya adalah jaksa, hakim, sekaligus eksekutor.
Dalam buku Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya (2018) yang ditulis Maarten Hidskes, disebutkan terdapat anak buah Westerling yang tidak tahan mengikuti perjalanan pasukan Westerling di Sulawesi Selatan. Beberapa pemuda menghilang dari kesatuan Depot Speciale Troepen dengan alasan tertentu, salah satunya adalah prajurit komando bernama Pinky yang kurus dan pendiam. Mereka yang mundur itu tidak dipersalahkan kawan-kawannya di Depot Speciale Troepen. Johan dalam film De Oost dan Pinky adalah para prajurit yang lelah akan aksi militer Westerling.
Ayah Maarten, Piet Hidskes, adalah anak buah Kapten Westerling di Depot Speciale Troepen yang ikut beroperasi di Sulawesi Selatan. Dalam buku Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya (2018), Maarten menelanjangi masa lalu ayah dan para koleganya sebagai penjahat perang.
Sementara Palmyra Westerling menuding Jim Taihuttu dan Maarten Hidskes sebagai dua pria yang rela memalsukan sejarah demi keuntungan diri sendiri. Palmyra menyebut film tersebut tampaknya telah dibiayai oleh orang-orang Indonesia.
Tuduhan Palmyra kepada Jim Taihuttu dan Maarten Hidskes berlebihan. Bagimana pun, De Oost adalah kisah yang berlatar sejarah faktual di Indonesia. Johan si prajurit komando mungkin hanya tokoh fiksi, namun Westerling sang algojo adalah nyata. Detail pembantaian di Sulawesi Selatan mungkin tidak begitu persis seperti dalam film De Oost, tetapi pembantaian tanpa pengadilan yang dilakukan Westerling memang terjadi.
Palmyra Westerling adalah seorang nasionalis garis keras yang akan mati-matian membela bangsanya dari tuduhan hina macam penjahat perang. Tipe orang yang di setiap negara selalu ada. Mereka diam ketika tentara dari negaranya menduduki sebuah wilayah (baik wilayah dalam negerinya maupun negeri orang) dengan kejam. Tetapi ketika tentara dari bangsanya itu dituduh sebagai penjahat perang, mereka akan bereaksi dan menyebut tuduhan itu sebagai fitnah atau pemalsuan sejarah.
Editor: Irfan Teguh