Menuju konten utama

Fesyen Normcore: Gaya Sederhana yang Tak Lekang Waktu

Dalam konteks sosial, normcore muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya mode yang berlebihan, serba cepat, dan haus pengakuan.

Fesyen Normcore: Gaya Sederhana yang Tak Lekang Waktu
Header Diajeng Fesyen Normcore. tirto.id/Quita

tirto.id - Di tengah derasnya arus tren mode yang silih berganti, muncul satu gaya yang justru menolak untuk mengikuti arus: normal hardcore atau normcore.

Gaya berbusana ini memuliakan kesederhanaan kaus polos, rok polos, jins, sneakers berwana netral, suatu simbol keaslian diri.

Bagi banyak perempuan, normcore bukan sekadar pilihan busana, melainkan bentuk pernyataan bahwa kenyamanan dan kepercayaan diri tak mesti selalu tampil mencolok.

Di balik tampilannya yang “biasa”, ada keberanian untuk tidak larut dalam tekanan untuk terlihat sempurna, melainkan jujur terhadap diri sendiri.

Normcore juga menjadi cerminan cara berpikir baru tentang mode dan konsumsi.

Perempuan yang mengadopsi gaya ini acap kali memilih berbelanja dengan lebih cerdas: membeli lebih sedikit, tetapi dengan kualitas yang tahan lama.

Kesederhanaan yang ditawarkan normcore bisa jadi sejalan dengan prinsip sustainability:setiap potongan pakaian dipilih karena fungsinya, alih-alih mengikuti tren sesaat.

Dalam konteks ini, gaya berpadu dengan kesadaran, sebuah bentuk perlawanan halus terhadap budaya cepat konsumsi dan fesyen instan.

Lebih dari sekadar estetika, normcore adalah filosofi hidup, dengan menampilkan perempuan yang mau menerima diri apa adanya, menghargai keseharian, dan menolak hiruk-pikuk ekspektasi sosial tentang “tampilan ideal”.

Pada kehidupan perempuan modern, gaya ini menghadirkan kebebasan untuk menjadi versi paling autentik dari diri mereka tanpa harus kehilangan rasa anggun atau kuat.

Normcore bukan tentang berusaha tampak berbeda, melainkan tentang merasa cukup, nyaman, dan percaya diri dalam kesederhanaan yang justru paling memikat.

Perempuan dan Kecantikan yang Tak Diusahakan

Bagi Ayun (30), seorang karyawan swasta di Yogyakarta, berbusana bukan tentang mengejar tren, melainkan tentang menemukan kenyamanan dan keseimbangan dalam kesederhanaan.

Ia menyebut dirinya telah “berdamai” dengan gaya normcore, sebuah pilihan yang menurutnya paling realistis untuk menjalani rutinitas tanpa perlu repot menyesuaikan diri dengan arus mode yang terus berubah.

“Saya biasa memilih model yang polos, seperti gamis,” ujarnya santai.

“Tapi intinya, saya enggak mau ikut-ikutan model busana yang sedang hits. Saya merasa tidak perlu termakan zaman dengan fesyen yang terus berganti,” ujar Ayun.

Ayun percaya, gaya normcore tak akan lekang oleh waktu.

Bagi dirinya, kesederhanaan justru memberikan keleluasaan untuk berkreasi tanpa harus menambah isi lemari.

“Busana normcore juga bikin saya lebih hemat,” katanya sambil tersenyum.

“Saya enggak perlu memaksa beli baju baru, karena yang sudah ada pun cukup. Tinggal saya padupadankan dengan model yang ada. Jadi, enggak pusing lagi mau pilih baju untuk kerja, pergi, atau sekadar jalan-jalan ke mal bareng keluarga.”

Dalam kesehariannya, Ayun memiliki beberapa potong busana andalan: blouse, rok polos, celana longgar, gamis, kemeja, bergo, dan jilbab segi empat, semuanya bernuansa polos dengan warna netral.

“Saya punya jilbab bermotif, tapi cuma dua, dan itu pun jarang dipakai. Kecuali kalau enggak ada pilihan lain,” tambahnya sambil tertawa kecil.

Apa yang dipraktikkan Ayun sejatinya menggambarkan esensi normcore.

Normcore Mengutamakan Busana Sederhana dan Fungsional

Dikutip dari laman Masari Shop,normcore merupakan reaksi terhadap dunia fesyen yang mungkin selama ini dianggap terlalu fokus mencari keunikan dan kebaruan.

Gaya ini mengutamakan kesederhanaan dan fungsionalitas busana yang nyaman, tidak mencoba terlihat lebih berkelas atau sok penting, serta tidak perlu mengikuti tren musiman yang cepat berganti.

Dengan tampil “apa adanya”, para penggemar gaya ini justru menegaskan individualitas yang tak bergantung pada merek atau label desainer.

Normcore menantang norma mode konvensional dengan merengkuh hal-hal yang dianggap lumrah atau “biasa”, seperti kaus polos, celana jins, dan sepatu kets, yang ternyata bisa tampil begitu elegan dalam kesederhanaannya.

Di dunia yang serba cepat, normcore mengajarkan kita satu hal: bahwa menjadi diri sendiri, dengan cara paling sederhana sekalipun, bisa jadi adalah bentuk kebebasan yang paling menawan.

Dari Sindiran hingga Filosofi Gaya Hidup

Dikutip EBSCO, istilah normcore pertama kali mencuat dari sebuah agensi peramal tren mode asal New York bernama K-Hole.

Agensi yang dikenal karena pendekatannya yang nyeleneh, menggunakan sarkasme dan parodi untuk membaca perilaku konsumen muda.

Pada tahun 2013, mereka merilis laporan bertajuk Youth Mode: A Report on Freedom. Dari situlah istilah normcore muncul secara luas untuk pertama kalinya.

Dalam laporan tersebut, mereka menulis dengan nada yang agak ironis, bahwa “normal” sesungguhnya adalah bentuk keunikan baru.

Di tengah dunia yang sibuk mengejar eksklusivitas dan keistimewaan, justru menjadi “biasa” adalah cara lain untuk menonjol.

Jauh sebelum itu, istilah normcore pernah muncul pada 2008 di komik web berjudul Templar AZ karya kartunis Ryan Estrada.

Dalam komiknya, Estrada menggambarkan kehidupan masyarakat di sebuah kota fiktif yang mengenakan pakaian polos, celana jeans, dan kaus biasa. Menariknya, gaya busana mereka sudah ketinggalan zaman, tiga tahun setelah masa tren, tetapi dianggap sebagai ciri khas gaya yang begitu mereka banggakan.

Ironisnya, istilah itu kemudian dihidupkan kembali oleh K-Hole tanpa mereka sadari memiliki akar dari sana.

Setelah laporan K-Hole viral, Estrada bahkan sempat menulis artikel berjudul “I’m Sorry, I Accidentally Invented Normcore" (Maaf, Aku Tak Sengaja Menciptakan Normcore). Isinya tak lebih dari tanggapan ringan yang justru menegaskan bahwa normcore sejak awal lahir dari kejujuran yang tidak disengaja.

Sejak saat itu, istilah normcore merambah dunia mode dan menjadi semacam filosofi antitren.

Orang-orang mulai menemukan "keindahan" dan kepuasan dalam hal-hal yang dulu dianggap membosankan: kaus putih, jeans biru, sweater abu-abu, sepatu kets sederhana.

Dalam konteks sosial, normcore muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya mode yang berlebihan, cepat silih berganti, dan haus pengakuan.

Ia mengajak kita untuk merefleksikan ulang berbusana: untuk diri sendiri, atau untuk dilihat orang lain?

Normcore juga dipandang turut berkontribusi memopulerkan estetika baru seperti “turis chic” dan “gaya ayah”, dua gaya yang sama-sama menekankan fungsi dan kenyamanan di atas segala hal.

Bagi banyak perempuan seperti Ayun, normcore bukan sekadar tren, melainkan ruang untuk bernapas, tempat untuk merasa cukup dengan diri sendiri, tanpa harus menambahkan apa-apa lagi.

Normcore mengajarkan satu hal simpel, bahwa gaya paling otentik mungkin bisa didapat ketika kita berhenti berusaha terlalu keras untuk tampil berbeda.

Karena di balik setiap kesederhanaan, selalu ada keindahan yang tidak perlu dijelaskan. Hanya cukup dirasakan.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Diajeng
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Sekar Kinasih