tirto.id - Di Paris Fashion Week Maret lalu, merek fesyen asal Jepang, Anrealage, berhasil menciptakan keajaiban pada peluncuran koleksi musim dingin. Saat itu, penonton berdecak kagum melihat warna pakaian yang dapat berubah seketika karena terpapar sinar ultra violet.
Para model keluar dari panggung berwarna hitam menuju catwalk secara berpasang-pasangan. Mereka mengenakan coat, blazer, dress, dan celana berwarna putih bersih. Kemudian, saat model berpose di ujung panggung, ada semacam alat pindai yang diturunkan dari langit-langit panggung.
Alat tersebut memancarkan sinar ultra violet (UV) yang dipaparkan ke pakaian. Seketika, warna pakaian berubah menjadi merah jambu, biru toska, abu-abu, lengkap dengan menampilkan detail motif yang cemerlang dari kain. Penonton yang memenuhi Theatre de la Madeleine tersebut bertepuk tangan, menyambut meriah pertunjukan fesyen itu.
Efek perubahan warna dapat terjadi karena label pakaian Anrealage menggunakan bahan photochromic, yang berubah warna saat terkena sinar matahari dan sinar ultraviolet. Karena intensitas sinar matahari alami selalu berubah, warnanya terus berubah. Pakaian ini kembali ke warna aslinya dalam waktu sekitar tiga menit saat tidak lagi terpapar sinar ultraviolet.
Sebenarnya, photochromic bukan hal yang baru di dunia fesyen. Bahan yang memanfaatkan rekasi kimia ini sudah ada sejak tahun 1966 yang digunakan pada lensa kacamata.
Lensa kacamata photochromic awalnya terbuat dari lapisan perak klorida dan perak halida. Kedua senyawa ini bakal mengalami perubahan kimia ketika terpapar gelombang sinar UV.
Warnanya akan menjadi lebih gelap saat terkena sinar UV. Semakin terang tempat di mana Anda berada, maka kacamata tersebut akan semakin gelap. Sedangkan ketika tidak ada sinar, maka warna lensa kacamata akan kembali terang. Kacamata ini dapat melindungi mata dari paparan sinar matahari.
Terlepas dari efek yang luar biasa, pewarna photochromic ini masih belum sukses secara komersial, jika diaplikasikan pada pakaian. Sifat bahan yang tidak larut dalam air membuatnya tidak mungkin untuk diaplikasikan pada wol atau kapas.
Pewarna ini hanya larut dalam pelarut yang kompatibel dengan tekstil sintetis. Selain itu, pewarna ini tidak memiliki kemampuan untuk menahan panas. Oleh karena itu, akan rusak dan kehilangan sifatnya ketika proses pencelupan kain dilakukan pada suhu tinggi.
Teknologi Serat Cair
Selama lebih dari satu dekade, Kunihiko Morinaga, pendiri Anrealage, terus melakukan eksperimen dengan teknologi yaitu bahan photochromic yang dimasukkan ke dalam desaian pakaiannya. Desainer Kunihiko Morinaga mendirikan Anrealage pada tahun 2003.
Awalnya, ia mulai membuat pakaian sejak di Vantan Design Academy pada saat itu ia juga masih kuliah di Waseda Univeristy. Nama Anrealage merupakan kombinasi dari real, unreal, dan age. Ada tiga elemen kunci dalam produknya yaitu, kerja kerajinan tangan, membentuk konseptual, dan teknologi.
Pada tahun 2015, Kunihiko juga pernah membuat koleksi pakaian musim semi-panas yang dipamerkan di Tokyo. Pakaian putih koleksinya dapat terlihat bermotif dan berwarna ketika dilihat melalui flash, fitur dalam kamera fotografi. Penonton pun bisa melihat perubahan warna pakaian tersebut melalui kamera ponsel mereka.
Tak hanya Kunihiko dengan Anrealage-nya, merek pakaian ready to wear asal Paris, Coperni, juga memadukan seni dengan teknologi dalam peragaan busana Paris Fashion Week, September 2022 lalu. Coperni didirikan tahun 2013 oleh Sebastian Meyer dan Arnaud Vaillant, yang menekankan simplicity dan teknologi pada desain pakaiannya.
Saat acara penutupan Paris Fashion Week tersebut, Coperni menghadirkan gaun serat cair yang disemprotkan ke tubuh model, Bella Hadid. Pertunjukan tersebut sukses menuai pujian dan tepuk tangan dari penonton. Pria di belakang kesuksesan Coperni adalah Manel Torres, seorang desainer Spanyol yang beralih menjadi ilmuwan.
Manel Torres dikenal sebagai The Chemist Tailor berkat penemuannya, Fabrican, yaitu kain dari serat cair revolusioner yang terdiri dari polimer, aditif, dan serat. Manel Torres telah mengembangkan serat cair tersebut sejak tahun 2000-an. Serat itu diikat dengan polimer alami dan sintetis kemudian dicampur pelarut cair yang segera menguap begitu aerosol mengenai kulit atau permukaan lain.
Menurut Coperni, “Fabrican dapat digunakan untuk membuat pakaian baru yang dapat dicuci, digunakan kembali, dan bahkan menggabungkan gadget diagnostik yang dapat melacak kesehatan pemakainya.”
Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa tekstur kain dapat dimodifikasi tergantung pada serat alami dan sintetis: seperti katun, linen, poliester, atau nilon, serta daur ulang. Tak hanya itu, Fabrican juga mengklaim tidak menggunakan senyawa yang merusak ozon.
Teknologi Fabrican saat ini memiliki berbagai aplikasi dalam industri fesyen, mulai dari perbaikan dan daur ulang tekstil untuk memperpanjang usia pakaian serta penambahan hiasan seperti saku dan perlindungan UV.
AI dan Masa Depan Fesyen
Penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam industri fesyen saat ini semakin berkembang pesat. Selain pada jam tangan, kacamata, tekstil, dan sekarang teknologi AI berada di lengan baju.
Kini, peritel fesyen telah mengintegrasikan AI dan machine learning ke dalam pengalaman pelanggan. Dari bot yang menyediakan rekomendasi belanja personal hingga algoritma yang dapat memprediksi tren. AI dalam fesyen terutama juga berkembang di area desain dan teknik garmen.
Baru-baru ini, merek pakaian, Eddie Bauer meluncurkan Guide Pro Smart Heated Lite Gloves, sarung tangan berpemanas dengan terintegrasi AI. Produk ini merupakan yang pertama untuk pasar Amerika Utara.
Sarung tangan ini menggunakan teknologi pemanasan cerdas, clim8®, yang mencakup aplikasi, konektivitas Bluetooth, dan pengaturan suhu yang dapat disesuaikan oleh pengguna.
AI dapat mengumpulkan data dan merespons cuaca dan suhu tubuh penggunanya untuk membuat mereka tetap hangat. Pengguna dapat mengatur suhu melalui aplikasi, sementara sarung tangan akan terus menyesuaikan dengan lingkungan dan preferensi pengguna.
Selain sarung tangan, merek pakaian Levi's bekerja sama dengan Google, di bawah bendera teknologi Project Jacquard, membuat jaket Trucker pertama yang terintegrasi AI.
Jaket yang didesain untuk para pengendara ini menggunakan benang konduktif di manset kiri untuk mengaktifkan interaktivitas sentuhan.
Pengguna dapat mengetuk, menggesek, atau menahan sensor di lengan baju untuk mengubah musik, menjawab panggilan, atau mengakses petunjuk arah yang disampaikan melalui suara.
Hal yang membuat jaket ini begitu menarik adalah tampilannya yang klasik nan stylish, khas dari jaket denim Levi’s. Project Jacquard juga memproduksi berbagai pakaian dan aksesori berkemampuan AI lainnya , bekerja sama dengan merek-merek fesyen lain seperti Samsonite, Adidas, dan Saint Laurent.
Untuk fesyen olahraga, AI juga sudah menjamah pasar legging yoga. Salah satunya, Nadi X yang diproduksi oleh perusahaan Wearable X. Celana pintar ini menggunakan AI untuk memandu pemakainya selama melakukan sesi yoga.
Celana yoga, yang terlihat seperti stylishlegging, memanfaatkan sensor integrasi dan sensor haptic (interaksi manusia dengan komputer, misalnya getaran) yang dapat meningkatkan latihan yoga pemakainya.
Celana ini terhubung dengan aplikasi yang memandu penggunanya saat latihan yoga. Dalam website Wearable X, menjelaskan, “Instruksi audio yang dipasangkan dengan getaran lembut dapat memberi petunjuk bagi pengguna bagian mana dia harus fokus. Nilai akselerometer yang diproses oleh smartphone dan instruksi audio akan memberi tahu pengguna jika ia telah berhasil berpose di akhir setiap pose.”
Bagian terbaiknya, celana yoga ini dapat dibersihkan dengan pencucian lembut, sehingga penggunanya dapat berlatih yoga setiap hari.
Tidak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi telah menembus batas-batas inovasi yang selama ini belum terbayangkan. Berpadunya teknologi dengan fesyen memberikan dobrakan sekaligus harapan pada masa depan dunia fesyen. Perpaduannya diharapkan dapat memudahkan kerja manusia sekaligus lebih ramah lingkungan.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi