tirto.id - Kita berada pada zaman yang mengagungkan kehidupan luar biasa (extraordinary).
Padahal, ukuran luar biasa bisa berbeda bagi setiap orang. Bisa saja, yang menurut kamu biasa saja, buat seseorang hal tersebut sudah merupakan berkah yang luar biasa bagi kehidupannya.
Rainesford Stauffer, penulis buku An Ordinary Age: Finding Your Way in a World that Expects Exceptional (2021) mengatakan ada tekanan terus menerus dari budaya, media dan bahkan orang-orang terdekat – terutama terhadap kelompok dewasa muda—untuk menggapai standar luar biasa dalam setiap aspek kehidupan.
Kita didorong untuk menjadi juara kelas, mengejar karir yang sukses, traveling ke berbagai negara, lalu menikah dengan pasangan yang ideal, membeli rumah dan punya anak. Semua tekanan ini membuat kita tak ingin jadi orang biasa.
Kita ingin jadi luar biasa, unik, spesial. Well, tentu tak ada yang salah dengan keinginan menjadi extraordinary.
Bahkan, sebenarnya baik, karena dapat meningkatkan motivasi berprestasi seseorang.
Namun keinginan yang tak terkendali dan tanpa disertai kapasitas memadai berisiko membebani diri sendiri, merasa inferior, dan tak menghargai apa yang sudah diraih.
Penyebab Munculnya Tekanan
Ada banyak faktor yang melahirkan tekanan untuk menjadi extraordinary.
Menurut Dr. Miwa Patnani, M.Si., Psikolog, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI, hasrat untuk menjadi extraordinary didorong oleh keinginan untuk lebih dari orang lain.
“Kecenderungan ini tumbuh subur terutama dalam masyarakat kolektif, seperti Indonesia, di mana segala sesuatu diukur berdasarkan perbandingan dengan lingkungan sekitar. Misalnya, sistem peringkat di sekolah, yang membandingkan anak dengan teman-teman sekelasnya. Siswa peringkat atas dianggap lebih baik dari siswa peringkat bawah. Ini tentu mendorong munculnya keinginan menjadi extraordinary.
Apalagi jika orang tua dalam pengasuhan sehari-hari menanamkan keinginan berkompetisi dan menjadi extraordinary,” tambah Miwa.
Kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain semakin berkembang di era informasi saat ini.
Penulis Mark Manson yakin bahwa faktor utama yang meningkatkan desakan untuk menjadi extraordinary adalah banjir informasi dari berbagai media. Kehadiran internet dan ratusan saluran TV tentu luar biasa. Namun rentang perhatian kita terbatas.
Hanya informasi terunik atau luar biasa yang tertangkap oleh kita. Sepanjang waktu, kita terpapar oleh segala yang terbaik atau terburuk. Prestasi terbaik, bencana terparah, penemuan tercanggih, golongan terkaya atau termiskin. Media menyajikan segala hal dari ekstrem terbaik dan terburuk karena itulah yang paling menarik perhatian dan laku dijual. Padahal, mayoritas kehidupan justru terjadi di antara dua ekstrem itu.
Sementara, filsuf modern Alain de Botton dalam bukunya Status Anxiety (2004), menyatakan bahwa obsesi menjadi extraordinary dipacu oleh meritokrasi, yaitu sistem sosial yang mengutamakan kemampuan/kecakapan individu untuk menempati posisi tertentu.
Ratusan tahun lalu, dalam sistem masyarakat feodal, setiap individu langsung tahu di mana posisinya dalam tatanan sosial. Jika ia terlahir dari keluarga petani, maka ia adalah petani. Bila ia terlahir dari keluarga bangsawan, ia adalah bangsawan. Dalam sistem feodal, tak ada pergeseran status atau kesempatan.
Namun di sisi lain, juga tak ada tekanan untuk maju dan berkembang. Manusia tak punya kuasa dan tak bertanggung jawab atas status sosialnya. Ia cukup menerima takdirnya lalu menjalani hidup.
Sebaliknya, dalam sistem meritokrasi seperti sekarang, jika seseorang miskin, bangkrut atau gagal, itu bukan sekadar takdir. Itu kesalahan dan tanggung jawabnya sendiri.
Ia adalah pecundang. Akibatnya, manusia selalu merasa takut akan kekurangan. Bagaimana pun, semakin besar kesempatan yang ada, kita semakin cemas kalau kesempatan itu luput dari tangan. Karena itulah, kita stres.
Kita merasa perlu meraih nilai ujian lebih tinggi, pekerjaan lebih baik, penghasilan lebih besar, hobi lebih asyik, juga followers, viewers, dan likes lebih banyak.
Dari Obsesi Menjadi Beban Diri
Terobsesi menjadi extraordinary tanpa memahami kapasitas diri sendiri tentu akan berdampak negatif, antara lain membebani diri serta memacu stres yang berpengaruh buruk pada kondisi kesehatan mental.
Satu hal lagi yang dipicu oleh obsesi menjadi luar biasa adalah hustle culture. Pada dasarnya, hustle culture adalah gaya hidup yang menjadikan karier sebagai prioritas paling utama dalam hidup, bahkan mengorbankan aspek-aspek manusiawi lainnya seperti kesehatan atau waktu berkualitas bersama keluarga.
Dalam hustle culture, ada keyakinan bahwa mereka yang bekerja lebih lama berarti lebih bernilai. Lebih sibuk berarti lebih baik, karena akan membawa kita pada lebih banyak uang, prestise, kebahagiaan, dan kepercayaan diri.
Di sisi lain, hustle culture juga menciptakan lingkungan yang toksik, memicu rasa bersalah, takut dan malu. Ini terjadi jika kita tidak bekerja sebanyak atau secepat rekan-rekan lain.
Menurut penelitian oleh Erin Reid dari McMaster University’s DeGroote School of Business, Canada, terdapat beberapa pegawai yang berpura-pura bekerja 80 jam per minggu, demi penghargaan dari manajemen.
Biasa Bukan Berarti Tak Bermakna
Menerima kondisi diri sendiri yang biasa saja bukan berarti kita bermalas-malasan, tak punya impian atau visi hidup.
Apalagi, karena akses dan privilese tiap orang berbeda, proses dan hasil akhirnya pasti berbeda. Lalu bagaimana cara mengejar impian tanpa terjebak dalam “balapan’”menjadi luar biasa?
Menurut psikolog Miwa Patnani, kita harus memahami bahwa kapasitas setiap individu berbeda. Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan. Optimalkan apa yang kita miliki agar mencapai hasil terbaik. Gunakan diri sendiri sebagai standar pencapaian, bukan membandingkan dengan orang lain.
Yang terpenting adalah mencapai hasil yang lebih baik dari apa yang telah kita capai sebelumnya. Selain itu, tetapkan tujuan yang tidak terlalu jauh dari kapasitas diri kita.
Ada yang konsisten memperbaiki diri justru karena merasa medioker dan biasa saja. Inilah ironi tentang ambisi: Jika kita terobsesi menjadi lebih hebat dari orang lain, kita malah akan selalu merasa seperti pecundang.
Lagipula, bukankah dunia berputar karena orang-orang biasa setia melakukan hal-hal yang dianggap biasa?
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Lilin Rosa Santi