Menuju konten utama

Fasilitas Mewah Anggota DPR: Rumah, Pensiun, sampai Kredit Mobil

Anggota dewan mendapat banyak fasilitas selain gaji dan tunjangan, termasuk rumah dinas dan bantuan kredit mobil.

Fasilitas Mewah Anggota DPR: Rumah, Pensiun, sampai Kredit Mobil
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan berfoto bersama usai pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (1/10/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.

tirto.id - Gaji dan tunjangan anggota DPR RI periode 2019-2024 banyak dibahas media massa, terutama setelah mereka resmi dilantik, Selasa (1/10/2019) kemarin.

Berdasarkan Surat Edaran Sekjen DPR RI bernomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, gaji dan tunjangan mereka bisa mencapai sekitar Rp50 juta--nyaris 13 kali lipat dari upah minimum DKI Jakarta.

Seorang anggota biasa mendapat gaji pokok sebesar Rp4,2 juta per bulan, tunjangan istri Rp420 ribu, tunjangan anak Rp168 ribu, uang sidang/paket Rp2 juta, tunjangan jabatan Rp9,7 juta, tunjangan beras Rp198 ribu dan tunjangan PPh pasal 21 sebesar Rp1.729.608.

Gaji dan tunjangan untuk Ketua dan Wakil Ketua DPR lebih banyak. Tunjangan jabatan Ketua DPR--yang saat ini dikuasai politikus PDIP Puan Maharani--misalnya, mencapai Rp18,9 juta, sementara Wakil Ketua DPR--yang jumlahnya empat orang--Rp15,6juta.

Anggota DPR juga mendapat fasilitas rumah dinas. Rumah dinas anggota DPR terletak di Ulujami dan Kalibata, Jakarta Selatan. Mengutip Jawapos, luas rata-rata rumah dinas mereka 250 meter persegi yang harganya, pada 2017 lalu, di atas Rp7 miliar.

Meski terhitung mewah, tidak semua anggota dewan menempatinya.

Detail gaji dan tunjangan anggota DPR bisa dilihat di tautan berikut.

Sekjen DPR RI Indra Iskandar mengatakan saat ini mereka tengah menyiapkan 15 unit baru. Hal ini disebabkan karena jumlah anggota dewan periode sekarang bertambah, dari 560 menjadi 575.

"Di Kalibata itu, kan, ada celah (tanah) yang kosong, kami bangun rumah dinas dan pas tempatnya," ujarnya seperti dilansir Antara.

Dianggarkan pula Rp70 juta bagi semua anggota dewan yang membeli mobil pribadi.

Fasilitas tidak hanya mereka rasakan saat menjabat. Mereka akan mendapat Tabungan Hari Tua (THT) dan uang pensiun setelah purna.

Anggota dewan periode 2014-2019 mendapat THT Rp15 juta yang dibayar satu kali, dan uang pensiun 3,2 juta untuk yang bekerja satu periode, serta Rp3,8 juta untuk yang menjabat dua periode.

Mengacu pada pasal 17 UU Nomor 12 Tahun 1980, uang pensiun itu bisa diterima oleh istri atau suami sah dengan jumlah setengahnya (Rp1,6 juta atau Rp1,9 juta) jika anggota dewan sudah meninggal. Uang pensiunan anggota DPR akan dihentikan apabila yang bersangkutan menjadi anggota lembaga tinggi lain.

Dengan semua fasilitas itu, mereka tidak bekerja sendiri. Kerja-kerja legislasi mereka dibantu asisten pribadi dan tenaga ahli.

Mengutip laman resmi DPR, jumlah tenaga ahli paling sedikit 10 orang, dan semuanya dibayar negara via APBN. Artinya, mereka tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk itu.

Asisten pribadi mengurusi hal-hal terkait administrasi anggota dewan. Sementara tenaga ahli bertugas mendampingi dalam rapat komisi dan menyusun telaah, kajian, dan analisis terkait dengan fungsi DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Dianggap Tidak Sebanding

Merujuk pada kinerja anggota dewan periode 2014-2019, segala fasilitas yang mereka dapatkan nampak berlebihan. Sebab, fasilitas tidak berbanding lurus dengan kinerja.

Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan (Puskon-PP) Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, alat ukur sederhananya adalah produk hukum yang dihasilkan. Sebagai lembaga legislatif, DPR baru bisa punya rapor bagus jika kuantitas produk legislasinya sesuai dengan target dan secara kualitas menjawab kebutuhan masyarakat.

Total Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan selama periode sebelumnya hanya 84, jauh lebih rendah dibanding periode 2010-2014 yang mencapai 125 RUU

Dari jumlah 84 RUU yang disahkan, hanya 35 RUU yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas dan sisanya merupakan RUU kumulatif terbuka. Dari 35 RUU prolegnas prioritas yang disahkan itu, beberapa di antaranya merupakan revisi berulang dari undang-undang yang sama.

Beberapa di antaranya adalah revisi UU MD3 yang diubah sampai tiga kali, serta revisi UU tentang Pilkada dan revisi UU Pemerintahan Daerah yang yang masing-masing telah mengalami pengubahan sebanyak dua kali.

"Kebiasaan mengulang-ulangi revisi pada periode yang sama membuktikan lemahnya kualitas legislasi DPR," ujarnya kepada reporter Tirto.

Di samping itu pembahasan beberapa RUU di penghujung periode yang terkesan dikebut dinilai cenderung mengakomodasi keinginan elite, bukan kebutuhan rakyat. Buktinya, demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota sejak September lalu.

Fungsi pengawasan DPR juga masih dianggap tumpul. Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan, hanya enam dari sembilan tim pengawas yang sudah menyampaikan laporan kinerjanya hingga 18 September lalu.

DPR juga dianggap lemah dalam memberikan kesimpulan/rekomendasi kepada kementerian dan atau lembaga yang menjadi mitra kerjanya di masing-masing komisi.

Fungsi pengawasan terhambat karena mereka bergerak atas arahan pimpinan partai, kata Lucius.

"Pimpinan partai di sini berarti, kan, termasuk koalisi. Dan akan sulit melakukan pengawasan. Apalagi ada pimpinan partai yang jadi menteri. Bagaimana dia mengawasi atasannya sendiri?" kata Lucius saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/10/2019).

Itu sebabnya, kata Lucius, hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat bila tidak puas dengan penjelasan kementerian/lembaga mitra kerjanya tak pernah dimanfaatkan.

"Jadi kepentingannya hanya menjaga program-program pemerintah," tegasnya.

Formappi juga menilai kinerja DPR diperparah oleh citra kelembagaan yang identik dengan persepsi penyimpangan anggaran, pelanggaran kode etik, dan kemalasan. Ringkasnya: citra negatif.

Atas dasar itu, Lucius menilai segala fasilitas yang diberikan untuk anggota dewan terlalu besar. Toh, selama ini, kehadiran mereka di dalam rapat-rapat komisi amat minim.

Jika pun bekerja, para anggota dewan tak perlu harus benar-benar mengerti masalah karena dibantu staf ahli.

"Jadi mau bagaimana lagi? Masyarakat, kan, mengharapkan tingginya pendapatan mereka beriringan dengan kinerja. Tapi kalau kondisi dan sistemnya seperti ini, ya sulit juga," Lucius memungkasi

Baca juga artikel terkait DPR atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Politik
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana